Kamis, 31 Desember 2009

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DI PENGADILAN AGAMA BAGI KEADILAN MASYARAKAT (Kajian Sosiologi Hukum)

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH
DI PENGADILAN AGAMA BAGI KEADILAN MASYARAKAT
(Kajian Sosiologi Hukum)
Oleh: SUTIKNO, Mhs UID Kelas Palu

I. Pendahukuan
Pertumbuhan system ekonomi syari’ah semakin hari semakin dirasakan kehadirannya baik dikalangan pelaku bisnis maupun dikalangan ummat yang ingin menjadi muslim secara kaaffah. Selain dunia perbankan dan lembaga keuangan syari’ah/lembaga pembiayaan syari’ah, ada asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadian syari’ah, hotel syari’ah, lembaga penjamin syar’ah, dll. Disatu sisi banyak yang bergembira dan menyambut senang dengan pertumbuhan system ekonomi syari’ah khususnya perbankan syari’ah tadi namun pada sisi berikutnya masih banyak juga yang enggan atau sikap mendua dalam/untuk menerapkannya secara konsisten.
Dengan dalil/dalih keterlanjuran, sudah biasa menggunakan rekening maupun jasa bank konvensional, dll sehingga enggan untuk berhijrah ke bank syari’ah. Demikian juga untuk asuransi maupun yang lainnya. Akan tetapi ada juga yang menggunakan kedua-duanya, untuk bisnis besar dengan rekening bank konvensional sedang untuk hal-hal tertentu (sosial keagamaan) menggunakan rekening bank syari’ah. Fenomena yang demikian masih kita jumpai dalam praktek/kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat. Nampaknya kesemuanya itu memang harus bertahap.
Namun demikian telah banyak diakui pula oleh para pebisnis maupun pengamat ekonomi bahwa pertumbuhan system ekonomi syari’ah dalam dasawarsa terakhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan.
Di luar negeri, system ekonomi syari’ah (perbankan syari’ah khususnya) sudah banyak diminati oleh orang-orang non muslim. Sudah barang tentu bagi mereka lebih pada orientasi ekonomis semata-mata dan bukan karena dibarengi dengan pendekatan pada konsistensi keimanan . Seandainya pun dengan menggunakan pendekatan ekonomi semata bahwa ternyata system ekonomi syari’ah lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik karena lebih imun dalam menghadapi ancaman wabah resesi ekonomi - hal demikian berarti telah membuktikan bahwa system ekonomi syari’ah itu bersifat rahmatan lil ‘alamien yakni lebih berorientasi kepada kemaslahatan bagi ummat manusia dan bahkan rahmat bagi alam semesta.
Berangkat dari diskripsi di atas, maka ruang lingkup kajian dalam makalah ini akan difokuskan tentang berbagai masalah yang mungkin timbul di dalam masyarakat, diantaranya tentang pelaku bisnis ekonomi syari’ah yang notabene orang non muslim dan berbagai cara/metode penyelesaian sengketa tentang ekonomi syari’ah.
II. Permasalahan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan adanya kemungkinan beberapa permasalahan yang timbul, diantaranya :
1. Bagaimana peran pemerintah dalam system perbankan syari’ah?
2. Bagaimana peran masyarakat dalam perkembangan perbankan syariah?
3. Bagaimana Penyelesaian masalah hukum perbankan syari’ah bila terjadi sengketa?
III. Pembahasan
1. Peran Pemerintah Terhadap Perbankan Syari’ah
Peran pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia berperan sangat strategis dalam pengembangan bank, termasuk perbankan syari’ah. Dalam pasal 29 ayat (1) disebutkan : “Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia”, bukan hanya sebagai Pembina dan pengawas saja peran bank Indonesia tapi juga sebagai pemeriksa terhadap bank, termasuk bank syari’ah. Dalam pasal 31 ayat (1) dijelaskna bahwa “ Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan”.
Bank Indonesia telah menetapkan visi dan misi perbankan syari’ah dan mencanangkan strategi untuk mencapai sasaran pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan yang dapat diterapkan secara konsisten, yaitu (a) market driven, pertumbuhan berdasarkan kebutuhan pasar, (b) fair treatment, membangun persaingan industry yang sehat berdasarkan karakteristik perbankan syari’ah dan bukan memberikan perlakuan khusus berdasarkan argument infan industry, (c) Gradual and sustainable approach, prioritas dan focus pengembangan berdasarkan situasi dan kondisi serta dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, (d) comply to sharia principle, pengaturan industry dan pengembangan infrastruktur yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Pelaksanaan pengembangan secara obyektif paradigm kebijakan dimaksud, pada dasarnya dibagi ke dalam 4 (empat) focus area pengembangan yang berdasarkan kerangka waktu dalam tiga tahapan periode pencapaian. Empat focus utama dimaksud, mencakup kepatuhan pada prinsip syari’ah, prinsip kehati-hatian dalam beroperasi, efesiensi operasional dan daya saing serta kestabilan system perbankan. Tujuan dari proses pentahapan dimaksud, agar perkembangan system perbankan syari’ah dapat dilakukan dengan mantap berkesinambungan dan sesuai dengan permintaan riil.
2. Peran Masyarakat Terhadap Pengembangan Perbankan Syari’ah
Pentingnya peran masyarakat dalam perekonomian adalah sama dengan sector lainnya, yaitu pasar dan pemerintah.beberapa dasar pemikiran peranan masyarakat ini, yaitu sebagai berikut :
a. Konsekuensi fardhu kifayah
Fardhu kifayah merupakan suatu kewajiban yang diajukan kepada masyarakat di mana jika kewajiban itu dilanggar, maka seluruh masyarakat akan menanggung dosa, sementara jika telah dilaksanakan (bahkan hanya oleh satu orang), maka seluruh masyarakat akan terbebas dari kewajiban tersebut. Meskipun pemerintah terkadang dapat berperan lebih efektif dibandingkan masyarakat secara langsung, tetapi masyarakat tidak dapat terlepas dari tanggung jawab ini. Pada dasarnya konsep fardhu kifayah adalah mengacu pada tanggung jawab masyarakat. Jika pemerintah benar-benar mampu melaksanakan tugas fardhu kifayah ini, maka masyarakat dapat terbebas dari tanggung jawab.
b. Adanya hak milik public
Peranan masyarakat juga muncul karena adanya konsep hak milik public dalam ekonomi Islam, seperti waqf, kekayaan waqf adalah kekayaan masyarakat secara keseluruhan dan berlaku sepanjang masa, karenanya waqf merupakan hak milik masyarakat yang tidak tergantung kepada pemerintah yang berkuasa. Pemerintah dapat berganti dari waktu ke waktu, sementara masyarakat terikat dalam kewajiban social jangka panjang. Oleh karena itu berbagai kekayaan waqf akan tetap dikelola oleh masyarakat sendiri.
c. Kegagalan pasar
Kegagalan pasar tidak cukup hanya diselesaikan dengan peran pemerintah, sebab pemerintah juga memiliki kegagalan. Pasar bekerja dengan mekanisme permintaan dan penawaran di mana mensyaratkan suatu komoditas yang dapat diperdagangkan (tradeable). Komoditas seperti ini harus memiliki suatu harga (priceable), sedangkan untuk memiliki harga komoditasseperti ini otomatis harus bisa diukur (measurable). Dalam kenyataan terdapat banyak kebutuhan masyarakat yang unmeasurable, karenanya juga unpriceable dan untreadible, sehingga tidak dapat disediakan oleh pasar. Komoditas seperti dapat disediakan secara efektif dan efisien oleh masyarakat .
d. Kegagalan pemerintah
Meskipun peran pemerintah sangat berguna termsuk dalam menjalankan fardhu kifayah, tetapi terdapat beberapa kelemaha-kelemahan. Hal ini selanjutnya dapat menganggu efisiensi peranan pemerintah sehingga diperluka peran masyarakat secara langsung. Beberapa kelemahan tersebut antara lain :
1). Pemerintah sering kalitidak berhasil mengidentifikasi dengan tepat kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya, sehingga formulasi kebijakannya juga tidak tepat.
2). Pemerintah sering kali juga memiliki banyak masalah structural yang dapat menghambatefektifitas dan efisiensi kebijakan, misalnya masalah birokrasi dan politik.
3). Keterlibatan pemerintah sering kali menimbulkan pengaturan yang berlebihan terhadap aktifitas perekonomian, sehingga justru menghambat mekanisme pasar dan peran masyarakat secara langsung.
Peranan masyarakat dalam perekonomian memiliki lingkup yang luas. Praktek pada masyarakat muslim era masa klasik dapat menjadi acuan yang baik bagi peran masyarakat modern saat ini. Peranan masyarakat dalam perekonomian mencakup hal-hal berikut :
a. Menjaga kebutuhan ekonomi keluarga
Keluarga memiliki peranan yang amat penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat, di luar system ekonomi pertukaran dalam pasar maupun pemerintah. Sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga telah memberikan kontribusi yang bernilai ekonomis sangat tinggi terhadap perekonomian. Kontribusi ini dalam bentuk penyediaan barang atau jasa yang jika disediakan oleh pasar atau pemerintah adalah mustahil atau kemungkinan akan berbiaya sangat mahal. Banyak kontribusi keluarga ini, misalnya kasih saying dan kenyamanan.
Ajaran Islam mewajibkan kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas nafkah seluruh keluarga serta mengatur hak dan kewajiban seluruh anggota keluarga, sehingga tercipta keluarga yang harmonis (sakinah mawaddah wa rahmah). Kleuarga juga memiliki kewajiban untuk turut menjaga kesejahteraan family dan tetangga di lingkungannya.
b. Mengelola ZIS
Zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) memiliki peranan penting dalam penyediaan barang dan jasa baik barang public maupun barang privat. Adanya ZIS telah menyediakan dana yang murah bagi pembiayaan berbagai kegiatan ekonomi dalam masyarakat. Islam telah mengatur kewajiban zakat dan sasaran pemanfaatannyasecara pasti, karena zakat memiliki damapk ekonomi yang lebih pasti pula. Sementara itu tidak terdapat pengaturan yang detail tentang infaq dan shadaqah, sehingga lebih fleksibel dalam pengelolaannya. Dalam realitas, banyak kegiatan dan fasilitas ekonomi yang disediakan dengan menggunakan pembiayaan dari infaq dan shadaqah ini. Penyediaan fasilitas public, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan masyarakat banyak dibiayai dari dana ini.
c. Menyediakan pelayanan sosial
Penyediaan layanan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti pendidikan umum dan keagamaan, advokasi dan perlindungan lingkungan hidup, pelayanan kesehatan, peningkatan keahlian dan ketrampilan, dan berbagai bentuk pelayanan jasa lainnya, banyak dilakukan oleh masyarakat sendiri.
d. Pengelolaan waqf
Waqf merupakan salah satu sumber daya ekonomi yang telah terbukti berperan besar dalam perekonomian. Waqf adalah salah satu bentuk kekayaan yang secara hukum diberikan kepada public, meskipun pengelolaannya kemungkinan dapat dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat sendiri. Dalam realitas sejak masa Islam klasik hingga saat ini kekayaan waqf telah banyak digunakan untuk penyediaan sekolah, pelayanan kesehatan, pelayanan keagamaan serta pemberdayaan ekonomi, tak terkecuali ekonomi Islam.
Dalam hal ini peran sosiologi hokum untuk memahami bekerjanya hokum dalam masyarakat juga sangat penting. Untuk memahami bekerjanya hokum, dapat dilihat fungsi hokum itu dalam masyarakat. Funsi hokum dimaksud dapat diamati dari bebagai sudut pandang, yaitu : 1). Fungsi hokum sebagai social control di dalam masyarakat, 2) fungsi hokum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, 3). Fungsi hokum sebagai simbul pengetahuan, 4) fungsi hokum sebagai instrument politik, 5) fungsi hokum sebagai alat integrasi.
3. Beberapa Solusi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Bagi Masyarakat Pencari Keadilan.
Lahirnya Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama (PA) dalam bidang ekonomi syariah. Berdasarkan pasal 49 huruf (!) UU No 3 Tahun 2006 ditegaskan bahwa, PA memiliki kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara termasuk “ekonomi syariah”.
Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah, maka peran dari PA akan bertambah luas.Karena ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin ilmu ekonomi, sehingga para hakim di PA harus menguasai tentang ilmu ekonomi syariah disamping ilmu hukum formil yang dimiliki selama ini. Hal tersebut sangat rasional sebab ketika diimplementasikan UU tersebut dalam lingkungan PA masih ada para Hakim yang belum memahami dan mengetahui hukum ekonomi syariah. Selain itu implikasinya adalah dalam klausal akad-akad pembiayaan bank syariah harus dilakukan ratifikasi. Sehingga Bank Syariah tidak lagi menyebutkan Pengadilan Negeri (PN) sebagai tempat penselesaian perkara sengketa dalam bisnis syariah.Dalam hal ini Bank Syariah agar mengubah klausal akad-akad pembiayaan yang dilakukan oleh bank syariah selama ini.Sehingga mengenai ketentuan perkara dalam ekonomi syariah bisa diselesaikan melalui PA bukan PN sebagai eksekusinya.
Tetapi dengan adanya UU tersebut menjadikan polemik tentang keberadaan Basyarnas (Badan Abritase Syariah Nasional) yang selama ini bertugas dalam menyelesaikan perkara-perkara tentang ekonomi syaraiah. Apakah lembaga tersebut tetap eksis atau dibubarkan. Fenomena Abritase dengan keberadaan UU tersebut hingga kini masih dalam perdebatan yang sangat panjang.Bagi mereka yang sepakat tetap eksisnya Basyarnas mengusulkan sebuah mekanisme yang harus dibicarakan secara langsung kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai lembaga yang mendirikan Basyarnas. Dalam hal ini dapat dicontohkan seperti di negara Singapura yang masih dipertahankan meskipun dalam regulasi hukum telah ada peran PA di Singapura. Tetapi apakah hal itu bisa dalam implementasi UU No 3. Dalam kerangka itulah tulisan ini mencoba mendiskusikan siapakah yang paling berkompeten atas sengketa ekonomi syari’ah antara Pengadilan Agama atau Badan Arbitrase Syari’ah?
Kemudian dikemukakan pula, pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menjadi UU No. 3 Tahun 2006, dapat dimaknai sebagi politik hukum ekonomi syari’ah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam hal ini Peradilan Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak hanya memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi meliputi pula lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah, dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiuan lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah. Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana peran dari suatu lembaga peradilan untuk mewujudkan pelaksanaan ekonomi syari’ah yang nanti dalam puncaknya melaui peranan Mahkamah Agung dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syari’ah dalam perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya penyiapan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan proses legislasi UU tentang perbankan syari’ah. Selain itu eksistensi ekonomi syari’ah menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan sampai menuju tatanan system hukum nasional.Hal ini dibuktikan dengan disyahkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syari’ah pada tanggal 16 Juli 2008.
Hal menarik untuk mendapat perhatian masyarakat pencari keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syari’ah yang dicantumkan dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa perbankan syari’ah. Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 menyatakan :
(1) Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah.
Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan pasal 49 huruf I UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk perbankan syari’ah. Adanya ketentuan ayat (2) adalah merupakan penyimpangan dari prinsip tersebut. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan : yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad” adanya upaya sebagai berikut :
a.Musyawarah;
b.Mediasi perbankan;
c.Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan adalah suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut sebagai penyelesaian sesuai dengan syari’ah dari berbagai sengketa berbagai kasus ekonomi syari’ah. Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase lain membuka peluang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui lembaga non syari’ah, walaupun dalam ayat (3) uu No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak boleh bertentnagn dengan prinsip syari’ah.
Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah melauipengadilan dalam lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri membuka dualism system peradilan dalam penyelesaian persoalan yang berada dalam ranah syari’ah ke dalam lingkup non syari’ah yang masih perlu dipersoalkan ketepatannya, mengingat persoalan perbankan syari’ah sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip syari’ah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim dilingkungan peradilan agama. Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik hukm nasional berkenaan dengan perbankan seyari’ah atau belum digariskannya suatu politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia.
Dari beberapa paparan di atas, maka masyrakat dalam hal ini sebagai pencari keadilan semakin dibuat bingung, ke mana mereka harus menyelesaikan masalah hukumnya ketika terjadi sengketa ekonomi syari’ah, apakah di Pengadilan Agama, Arbitrase atau arbitrase syari’ah, atau Pengadilan Negeri. Bagaimana pula menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah yang klausulanya dibuat sebelum dikeluarkannya UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dari sisi sosiologi masyarakat sedikit banya dirugikan akibat Undang-undang yang tidak tegas yang kemungkinan masih menimbulkan multi tafsir.

IV. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa determinasi konsep ekonomi dan kegiatan usaha eberdasarkan hukum Islam dengan menggunakan istilah “ekonomi syari’ah” dalam hal ini sejalan dengan pendekatan yuridis formal di mana praktek perbankan di Indonesia menggunakan istilah “ perbankan syari’ah”. Maka dari sinilah peran pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia maupun masyarakat sangat penting menigingat bagaimanapun juga apapun yang diharapkan dari berbagai Undang-undang harus sejalan dengan kehidupan dan demi keadilan masyarakat pencari keadilan, begitu juga dengan penyelesaian sengketanya agar masyarakat tidak dibuat bingung dengan adanya multi tafsir kewenangan mengenai lembaga mana yang berwenang mengadili jika terjadi sengketa ekonomi syari’ah.
Penulis mewakili masyarakat Indonesia, masyarakat pencari keadilan berharap kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang agar dalam membuat Undang-undang harus mencerminkan kepastian hukum tanpa adanya kemungkinan timbulnya multi tafsir dari para pakar hukum yang nantinya membingungkan masyarakat pencari keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, H. Dr, SH,MH, Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam Perspektif Plitik Hukum Nasional, (artikel), Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, PPHIMM, 2009

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, PT. Raja Grafindo Persana, Jakarta, 2008

Zainuddin Ali.H. Prof. Dr, MA, Hukum Perbankan Syari’ah, SinarGrafika, Jakarta, 2008

-----------, Sosiologi Hukum, Cet. Ke 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2008

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Oleh: Dyah Yulianti, NPM : 7109179, Angkatan : XI, Mhs Program Magister Hukum UID Kls Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatutan. Derajat kepatutan masyarakat hukum merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatutannya juga rendah. Pernyataan ini berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektifitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya ia dapat benar-benar merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia akan tetapi juga dari segi batiniah.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berkaitan dengan rukun Islam yang dapat menentramkan batin bagi yang melaksanakannya dan dapat membantu memenuhi kebutuhan mendesak bagi yang menerimanya. Oleh karena itu perlu diungkapkan bahwa status hukum Zakat merupakan ibadah wajib yang termasuk Rukun Islam yang ketiga. Perintah Zakat yang terdapat dalam Alqur’an sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali perintah itu bergandengan dengan perintah Shalat. ( A.M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,(Jakarta, Rajawali,1987) halaman 113.
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban Zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan Ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat dalam Zakat, ialah :
1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan hidup serta penderitaan.
2. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para Gharimin, Ibnu Sabil dan Mustahik lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesame Ummat Islam dan Manusia pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemilik harta.
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan social) dalam arti orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab social pada diri seseorang terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan.
8. Mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
9. Sarana pemerataan pendapatan (rejeki) untuk mewujudkan keadilan social. (Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat, Wakaf (Jakarta, UI Press, 1988) halaman 40.
Berdasarkan fungsi Zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah wajib kepada Tuhan maupun fungsinya dalam masyarakat dapat diketahui bahwa ditetapkannya zakat sebagai rukun Islam mengandung hikmah bagi pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah bagi pemberi dan penerima dan hikmah bagi harta itu sendiri.

B. Permasalahan
Dari rumusan masalah tersebut di atas dapat ditentukan permasalahan sebagai berikurt: Aspek hukum apa saja yang melingkupi bidang Zakat ditinjau dari segi Sosiologi Hukum?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas mata Kuliah Sosiologi Hukum peserta Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta , Angkatan ke XI Tahun 2009.












BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Warga Masyarakat dalam Konteks Penegakan Hukum dibidang Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Zakat adalah ibadah Maliyah Ijtima’iyah (Ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan), dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam Syariat Islam. Zakat mempunyai dua fungsi, pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah, kedua zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan social guna mengurangi kemiskinan.
Untuk memberikan zakat yang bersifat konsumtif harus melalui syarat yang mana mampu melaksanakan pembinaan dan pendampingan pada mustahiq agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat ke-Imanan dan k e-Islamannya.
Zakat bisa menjadi sumber dana tetap yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, terutama golongan fakir miskin, sehingga mereka bisa hidup layak secara mandiri tanpa menggantungkan nasipnya atas belas kasihan orang lain. Hal ini sejalan dengan hikmah diwajibkannya Zakat sebagai Umat Islam yang mampu, yang antara lain adalah sebagai berikut :
a. Untuk membersihkan/menyucikan jiwa si Muzakki (orang yang yang mengeluarkan Zakat) dari sifat-sifat tercela seperti kikir, mementingkan diri sendiri (individualism) dan sebagainya.
b. Untuk membersihkan harta bendanya dari kemungkinan bercampur dengan harta benda yang tidak 100 % halal, misalnya “Syuhat” atau diperoleh kurang wajar.
c. Untuk mencegah berputarnya harta kekayaan berada di tangan orang kaya saja, demi mewujudkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
d. Untuk memenuhi kepentingan umum, sepoerti jembatan dan untuk kepentingan agar seperti Masjid/Musholla dan lain sebagainya.
e. Untuk meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan manusia.
Menurut Dawam Raharjo, dkk dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan” mengatakan, dalam gugatan strategi yang baru, yang disebut Basic Strategy timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut pengalihan konsumtif” (transfer of consumption), Pengalihan Pendapatan (transfer of income), Pengalihan Kekayaan (transfer of wealt), Pengalihan Investasi (transfer of invest) ataupun pembagian kembali kekuasaan (redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh golongan yang paling miskin dan paling lemah.
Imam Nawawi berkata dalam Kitab Al’Mauri : “Masalah kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan Khuratan telah berkata : Apa yang diberikan kepada orang fakir dan miskin hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah kemiskinan kepada taraf hidup yang layak. Ini berarti ia mesti menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi semua kebutuhannya.
Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain. Untuk itu perlunya penggunaan Zakat produktif tradisional dan Zakat produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan Zakat ada 4 katagori, selain Zakat Produktif tradisional dan kreatif ada juga konsumtif tradisional dan kreatif. Akan tetapi zakat konsumtif tradisional sifatnya dalam katagori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti Zakat Fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau Zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam katagori kedua adalah Zakat konsumtif kreatif, maksudnya adalah Zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti misalnya diwujudkan dalam bentuk alat sekolah, beasiswa dan lain-lain. Katagori ke tiga Zakat produktif tradisional adalah Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif misalnya kambing, sapi, mesin jahit, dan lain-lain. Pemberian Zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin. Selanjutnya yaitu katagori terakhir, Zakat Produktif kreatif ke dalam bentuk ini dimaksudkan semua pendayagunaan Zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan untuk membangun suatu proyek social maupun untuk mambantu atau menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Penggunaan katagori ketiga dan keempat ini perlu dikembangkan karena pendayagunaan Zakat yang demikian mendekati hakekat Zakat, baik yang terkandung dalam fungsinya sebagai ibadah dalam kedudukannya sebagai dana masyarakat. Akan tetapi disyaratkan bahwa yang memberikan Zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq Zakat dalam kegiatan usahanya juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas ke-Imanan dan k e- Islamannya.
Bahtsul Masail Diniyah Mandlutiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam Mukatamar ke-28 Nahkdatul Ulama memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan kehidupan ekonomi para Mutahiq Zakat. Namun ada persyaratan penting bahwa harta Zakat yang seandainya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau atau didayagunakan dan mereka member ijin atas penyaluran Zakat dengan cara seperti itu.
Adapun langkah-langkah pendistribusian Zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut :
a. Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b. Pengelompokan peserta ke dalam kelompok kecil, homogeny baik dari sisi gender, pendidik, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c. Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam perlatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, managemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggungjawab.
d. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakanpun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
B. Dasar Hukum tentang Pengelolaan Zakat
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, maka Pemerintah atas persetujuan DPR membuat Undang-Undang tentang pengelolaan zakat yaitu No. 38 Tahun 1999 yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah SWT, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
B. Saran
Dengan dibentuknya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fuady Munir, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
2. _______________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
3. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1999

Rabu, 30 Desember 2009

Budaya Hukum Dalam Masyarakat di Indonesia

Budaya Hukum Dalam Masyarakat di Indonesia
Oleh : Abdul Haris, NPM 7109115, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta, Angkatan III Kelas Khusus Palu

1. Latar Belakang
Salah satu topik yang menjadi materi bahasan sosiologi hukum adalah pandangan bahwa hukum itu tidak otonom seperti yang sering dikemukakan oleh pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo, hukum itu tidak jatuh begitu saja dari langit, melainkan tumbuh dan berkembang bersama pertumbuhan masyarakatnya.
Hukum senantiasa harus dikaitkan dengan masyarakat dimanapun hukum itu bekerja. Bidang pengetahuan hukum pada umumnya memusatkan perhatian pada atura-aturan yang dianggap oleh Pemerintah dan masyarakat sebagai aturan-aturan yang sah berlaku dan oleh sebab itu harus ditaati, dan pengetahuan sosiologi sebagai keseluruhan yang memusatkan perhatian pada tindakan-tindakan yang dalam kenyataan diwujudkan oleh anggota dalam hubungan mereka satu sama lain, maka untuk pengembangan hukum dan pengetahuan hukum dalam kehidupan masyarakat agar tidak terpisah satu sama lain harus memperhatikan hukum dan kenyataan-kenyataan masyarakat.
Kenyataan ini sering memberi kesan bahwa pengetahuan hukum sekarang ini jauh dari pengetahuan sosiologi, malah tak jarang dianggap ahli hukum tidak perlu pengetahuan sosiologi akan tetapi kesan ini tidak sesua dengan kenyataan karena pengetahuan hukum apabila dicermati akan dijumpai banyak unsur-unsur yang menghubungkan aturan-aturan oleh individu-individu tertentu dalam hubungan mereka satu sama lain yang menjadi kenyataan-kenyataan sebagai anggota masyarakat.
Untuk memperhatikan pengetahuan sosiologi, maka peran tokoh-tokoh ilmu pengetahuan yang meletakkan dasar bagi perkembangan pengetahuan sosiologi seperti ibnu khaldum, August Comte, karl max, Henry Maine, Emile Durkheim, max weber dan vilfred paret, memberi tempat penting bagi aturan-aturan hukum dalam teori sosiologi masing-masing. Mereka tidak bisa membayangkan masyarakat tanpa hukum sehingga dengan sendirinya, teori sosiologi mereka kembangkan untuk dapat menanggapi, mempelajari, menganalisa dan menjelaskan kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh kehidupan sosial para anggota suatu masyarakat untuk mentaati hukum yang berlaku.
Tentu saja amat penting bagi seseorang yang hendak mempelajari hubungan antara hukum dan kenyataan yang diwujudkan oleh kehidupan sosial anggota – anggota masyarakat tertentu, untuk mengetahui dimana letak tempat aturan-aturan hukum didalam kerangka teori sosial tertentu, memperlihatkan bagaimana pencipta atau pengembang teori yang bersangkutan menanggapi hubungan antara aturan hukum, yang dalam hal ini juga dianggap merupakan kenyataan sosial, dengan kenyataan sosial lainnya, seperti agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik peranata-pranata, kesatuan sosial atau kelemahan teori ini dalam usaha tersebut.
Teori sosiologi yang dimaksud disini adalah teori yang menyeluruh sifatnya sebagai suatu kerangka pemikitan yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan yang sangat khusus seperti menulis surat kepada seseorang relasi sampai perwujudan tindakan yang dilakukan oleh orang banyak secara serentak, seperti revolusi dan perang, tentu pada tarif perkembangan pengetahuan sosiologi sekarang ini tidak ada teori sosiologi yang dapat menanggapi dan menjelaskan setiap tindakan sosial yang terjadi setiap kenyataan sosial.
Sosiologi seperti ilmu ekonomi dan ilmu politik merupakan suatu bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial, suatu lapangan pengetahuan mengenai kehidupan sosial manusia yang mempunyai kepercayaan pengetahuan, ide-ide perasaan sebagainya, yang menjadikan tindakan manusia sangat kompleks ruwet untuk dipelajari dan dijelaskan karena sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan ideologi dan sebagainya yang merupakan bagian dari kepribadiannya.
Karl Marx misalnya mengembangkan suatu teori yang menanggapi aturan-aturan hukum yang berlaku disuatu masyarakat tertentu sebagai suatu akibat dari bentuk sistem hubungan produksi pada tahap perkembangan tertentu yang menempatkan sejumlah orang tertentu sebagai suatu klas penguasa yang menggunakan organisasi negara untuk melindungi kepentingan mereka bersama sebagai pemilik alat produksi, kerangka teori ini merupakan satu-satunya teori yang dibenarkan dinegara-negara komunis.
Suatu kerangka teori yang digambarkan oleh telcott persont bahwa suatu sistem tercipta untuk memenuhi kebutuhan tertentu masing-masing unsur yang merupakan bagian dari suatu sistem tertentu yang mempunyai fungsi berhubungan dengan kebutuhan sistem yang bersangkutan untuk mempertahankan keseimbangan bilamana suatu sistem tidak dapat dipertahankan keseimbangan maka sistem yang bersangkutan bisa lenyap atau hilang.
Menurut parsons, setiap sistem menghadapi 4 (empat ) masalah dasar yaitu (1) masalah adaptasi atau pengusahaan fasilitas yang diperlukan untuk memungkinkan kelangsung sistem yang bersangkutan (2) masalah tujuan atau penentuan tujuan yang hendak di capai; (3) masalah mempertahankan pola-pola atau usaha untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang disebabkan oleh tekanan-tekanan dari dalam maupun dari luar dan (4) masalah integrasi atau koordinasi unsur-unsur yang berbeda tapi merupakan bagian dari sistem yang bersangkutan dalam usaha mempelajari kenyataan-kenyataan sosial maka perlu dibedakan dan dievaluasi mengenai gejala sosial yang diwujudkan dari 4 (empat) sistem secara herarki pengaturan yaitu sistim budaya, sistem sosial dan sistem kepribadian.

2. Pembahasan

Budaya Hukum Dalam Masyarakat Indonesia

Mengapa perlu membudayakan hukum dalam masyarakat ? bukankah hukum merupakan bagian dari kebudayaan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu timbul oleh karena kebudayaan mencakup ruang lingkup yang sangat luas dan demikian pula halnya dengan hukum.
Masalah pembudayaan hukum dalam masyarakat bukan saja menjadi persoalan bagi kalangan yang membedakan atau mempertentangkan hukum dan masyarakat, akan tetapi juga kalangan yang membedakan kaidah dengan fakta. Problematikanya sebenarnya berkisar pada bagaimana membudayakan suatu sistem hukum yang diimport dari masyarakat lain atau bagaimana cara melembagakan system hukum yang di Introdukser oleh golongan yang berkuasa problem tersebut harus diatasi apabila yang menjadi tujuan adalah mengefektifkan hukum.
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut opini public para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum (Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2)
Sehubungan dengan catatan tersebut diatas maka untuk pembahasan pembudayaan hukum hanya akan dibatasi pada bagaimana membudayakan hukum yang dibuat dan diterapkan oleh Pemerintah, inipun sifatnya teoritis.
Untuk memperoleh dasar pembicaraan maka perlu ditegaskan terlebih dahulu apa yang dinamakan hukum diperbagai bidang kehidupan masyarakat yang telah melembaga. Mengutip pendapat Van Kant, Apeldoorn pernah menyatakan bahwa hingga kini para yuris masih mencari definisi hukum tanpa hasil yang memuaskan, akan tetapi supaya pembicaraan tidak simpang siur, perlu adanya pegangan sementara oleh karena itu, maka dibawah ini akan diberikan beberapa arti hukum sebagaimana diberikan oleh masyarakat .
Apabila ditelaah arti-arti yang berikan oleh masyarakat pada hukum maka dapat diidentifisir anggapan-anggapan sebagai berikut :
a. Hukum sebagai suatu disiplin yaitu system ajaran – ajaran tentang hukum sebagai suatu kenyataan.
b. Hukum sebagai ilmu yang mencakup ilmu kaedah dan ilmu pengetahuan
c. Hukum sebagai kaidah yaitu suatu pedoman mengenai priketuhanan yang sepantasnya atau yang diterapkan.
d. Hukum sebagai perilaku yaitu tingkah laku yang diwujudkan secara teratur.
e. Hukum sebagai pejabat atau penguasa
f. Hukum sebagai keputusan-keputusan pejabat atau penguasa.
g. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai atau konsep-kosep mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
h. Hukum sebagai tata hukum yaitu struktur hukum beserta unsur-unsurnya.

Sebagai suatu ilustrasi dapat dikemukakan apa yang digambarkan didalam repelita II Bab 27 sebagai fungsi hukum yaitu :
” Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah kadernisasi menuju tempat kemajuan pembagunan disegala bidang sehngga tercapai ketertiban dan kepastian hukum untuk mewujudkan pembinaan kesatuan bangsa dibidang tata hukum.
Konsep pemberdayaan oleh M. Hers Kovets di artikan sebagai proses belajar baik melalui imitasi, sugesti, identifikasi, maupun simpati melalui ide-ide menyeber dari sumbernya sampai ide-ide tersebut diadapsi oleh warga-warga masyarakat kepada siapa ide-ide tadi ditujukan.
Apabila ditinjau dari sudut fungsinya maka hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengadakan pembaharuan dan juga sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial. Mana yang diutamakan senantiasa tergantung pada bidang kehidupan yang dipermasalahkan sehingga sering kali ke 3 fungsi tersebut berkaitan dengan eratnya.
Apabila perhatian dicurahkan pada fungsi hukum untuk memperlancar proses interaksi sosial maka hal itu berkaitan erat dengan masalah apakah orientasi pembentukan hukum tertuju pada pribadi atau tertuju pada perbuatannya. Perbedaan tersebut menerangkan bersifat akademis, akan tetapi dapat mempermudah mengadakan analisa terhadap masa pemberdayaan hukum dalam masyarakat. Pada hukum yang tekanannya diletakkan pada orientasi pribadi, timbullah masalah-masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana sikap dan perikelakuan seseorang
b. Apakah kemampuan-kemampuannya dan dimanakah batas-batas kemampuan tersebut
c. Bagaimanakah pandangan hidupnya dan pandangannya tentang pola-pola interaksi sosial.

Pada pembentukan hukum yang orientasinya tertuju pada perbuatan, maka fokus utamannya adalah apakah yang terjadi didalam kenyataan, menurut Arnold M. Rose, pola-pola interaksi sosial didalam masyarakat dapat digolongkan ke dalam :
1. Pola tradisional yang terjadi apabila warga masyarakat diperikelakuan terhadap warga-warga lainnya atas dasar norma dan kaidah dan nilai sama sebagaimana diajarkan oleh warga masyarakat.
2. Pola Audience yaitu interaksi yang didasarkan pada pengertian yang sama yang diajarkan oleh suatu sumber secara individual.
3. Pola publik yang merupakan interaksi yang didasarkan pada pengertian-pengertian sama yang diperoleh melalui komunikasi langsung.
4. Pola Crowd yakni interaksi yang didasarkan pada perasaan yang sama dan keadaan-keadaan fisiologis yang sama.

Hukum akan memperlancar proses interaksi pada masyarakatnya dengan pola traditional integrated group, apabila hukum yang berlaku buka merupakan hal yang baru, akan tetapi sudah merupakan unsur yang melembaga dalam masyarakat. Kalau dinterduser suatu sistem hukum baru, maka biasanya masyarakat mempunyai pola interaksi Audience atau publik, oleh karena itu sangatlah penting kedudukan dari para pelopor pembudayaan hukum dalam menggunakan cara-cara dan alat-alat komunikasi keadaan ini akan lebih sulit apabila hukum baru yang di introduser dimaksudkan untuk merubah nilai-nilai yang berlaku.
Warga-warga masyarakat pada umumnya cenderung untuk bertingkah laku menurut suatu kerangka atau pola perilakuan yang sudah membudaya dan apabila timbul perbuatan yang melanggar hukum biasanya warga masyarakat berperilaku menurut sistem normatif yang dipelajarinya didalam kerangka sosial dan budaya.
Pemberdayaan hukum dalam masyarakat dapat mengalami hambatan-hambatan yang antara lain disebabkan karena kenyataan-kenyataan sebagai berikut :
a. Tata cara atau prosedur hukum sangat lamban
b. Seringkali hukum dipergunakan untuk memecahkan kasus-kasus yang bersifat seketika.
c. Adanya asumsi yang kuat dikalangan hukum, bahwa hukum yang sesuai dengan sendirinya berlaku
d. Kewibawaan hukum sering kalah oleh kewibawaan bidang-bidang kehidupan lainnya.
e. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pembudayaan hukum.
f. Adanya kalangan-kalangan tertentu yang merasa dirinya tidak terikat pada hukum yang telah dibentuknya.

Dari beberapa hambatan-hambatan tersebut diatas, akan dapat mengurangi efektifitas pembudayaan hukum dalam masyarakat, apabila masyarakat majemuk yang mempunyai keanekaragaman secara politik ekonomis, sosial maupun kulturil oleh karena itu perlu adanya kesadaran masalah-masalah tersebut oleh karena itu tanpa adanya kesadaran dalam penerapan hukum didalam masyarakat, mungkin pada suatu saat hukum menjadi sarana yang sama sekali kehilangan kewibawaan maupun fungsinya.

3. Kesimpulan
Dari apa yang telah dijelaskan secara garis besar tentang proses pemberdayaan hukum dalam masyarakat secara teoritis maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Berhasil tidaknya pembudayaan hukum dalam masyarakat, senantiasa tergantung pada struktur masyarakat secara keseluruhan, terkait nilai-nilai hukum yang dianutnya, bidang-bidang kehidupan sasaran budaya hukum, alat-alat dan cara komunikasi huku, kwalitas pemimpin.
2.Terdapat suatu asumsi bahwa setiap warga masyarakat dianggap mengetahui hukum yang berlaku masalahnya apa benar demikian.
3. Masyarakat mematuhi hukum biasanya karena takut pada sanksi negatifnya untuk memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan warga masyarakat lainnya.
4. Saran-Saran
1.Pemberdayaan hukum seyogyanya diarahkan pada kesesuaian antara hukum dengan nilai-nilai yang dianut warga masyarakat, sebab ada nilai-nilai yang dengan tegas menunjang budaya hukum.
2.Selama para warga masyarakat masih berpaling pada pemimpin-peminpinnya maka berhasil tidaknya pembudayaan hukum senantiasa dikaitkan dengan pembenaran teladan oleh pemimpin-pemimpinnya.

5.DAFTAR PUSTAKA

Ali Zainuddin, Sosiologi Hukum, Palu ; Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2003.
Rahardjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung, Alumni, 1979.
------------, Ilmu Hukum Bandung, Alumni, 1982
Soekanto Soerjono, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Jakarta, Kurnia Esa, 1981.
------------, dan Mustafa Abdullah Sosiologi Hukum, dalam Masyarakat, Jakarta, CV. Radjawali Press, 1982.
------------, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum, Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Bandung, Alumni, 1982.

Senin, 28 Desember 2009

PERANAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM KEGIATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh: Lukman, Mhs Program Magister UID Kls Palu

A.Latar belakang
Sejalan dengan tuntutan reformasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah ,memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional ,serta memperkuat negara kesatuan Republik indonesia. Maka dalam rangka pembaharuan konstitusi ,MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik indonesia (DPD RI) ini di lakukan melalui perubahan ketiga Undang undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada bulan November Tahun 2001.
Keinginan yang kuat untuk mengakomodir aspirasio Daerah sekaligus memberikan peran yang lebih besar kepada Daerah dalam proses pengambilan keputusan politik tingkat Nasional .Keberadaan unsur utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI sebelum perubahan UUD 1945,di anggap tidak memadai untuk menjawab tantangan tersebut.Fenomena yang menarik dalam dunia pemberantasan tindak pidana Korupsi ,ketika DPR RI memberikan sambitan hangat terhadap lahirnya Komisi pemberantasan di Republik dengan di sahkannya UU No.30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan Tindak pidana Korupsi menjadi angin segar terhadap pemberantasan kejahatan kejahatan yang berhubungan langsung dengan kuangan Negara/masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ,Transparancy Tnternational ,yang mengungkapkan DPR sebagai Lembaga yang terkorup di mata Publik ,Stigma ini semakin Heboh ,Perihal lirik Lagu ,Grup Band Slank :Gosip Jalanan, yang cenderung menyentil prilaku anggota DPR .Berbagai kasus korupsi besar justru terungkap oleh publik .Prediksi pemerhati korupsi Dunia Jarred Diemen dalam Bukunya ,Collaps 2005 lalu,memprediksi bahawa indonesia sebagai 14 Negara terkorup di dunia ,menjadi salah satu contoh negeri yang akan gagal seperti halnya kegagalan Romawi,Turki,Mojo Pahit yang runtuh karena persoalan korupsi yang tidak tertangani dengan serius. Berdasarkan hasil survey PERC(Political end Economic Risk Consultancy )tahun 2008 yang bermarkas di Hongkong di lakukan pada bulan januari sampai pebruari tahun 2008 atas 1400 warga negara asing pelaku Bisnis telah memposisikan indonesia telah membaik di bandingkan skor PERC tahun 2007 lalu 8,03 kini Negara kita menjadi 7,98 dengan terbongkarnya berbagai kasus korupsi .Semoga prediksi ini menjadi sebagai sebagai media intropeksi.
Pemaparan di atas menunjukkan betapa ironisnya bangsa ini yang tumbuh dan berkembang di tengah tengah kasus korupsi yang di lakukan oleh panglima penegak Hukum seperti yang terjadi antara polri vs KPK dengan istilah Cicak Buaya dalam rangka membongkar kasus Bank Century yang telah merugikan Negara 6,7 Trilyun sampai saat ini belum di ketahui kemana aliran dana tersebut .Hal ini menjadi suatu tantangan berat ,bukan hanya tugas lembaga pemberantasan korupsi melainkan menjadi tugas kita bersama bangsa ini.

B.Rumusan Masalah.
1 Pengertian dan peranan DPD RI
2. Kerawanan dan Potensi korupsi
3. Mengapa Korupsi terjadi
4. Korupsi perlu di berantas.
5. Tinjauan Korupsi di indonesia
a.Sejarah Korupsi di indonesia
6.Tugas pemberantasan Korupsi tugas kita bersama.
1. PENGERTIAN DAN PERANAN DPD RII
DPD RI adalah merupakan lembaga perwakilan baru dalam sistim ketatanegaraan indonesia yang di bentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945.DPD RI di bentuk dalam rangka mengakomodasi kepentingan Daerah melalui perumusan kebijakan di tingkat nasional.Dewan perwakilan Daerah didirikan berdasarkan Undang undang No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis permusyarawatan Rakyat,DPR,DPD dan DPRD .Tugas pokok DPD RI adalah menyerap ,menghimpun ,menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat dan daerah di samping itu mempunyai kewenangan antara lain berupa pengawasan yang yang berkaitan dengan pelaksanaan undang undang mengenai otonomi Daearah dan anggara pendapatan belanja negara (APBN) Keuangan Negara dan pajak.
Secara garis besar fungsi DPD RI.
1. Fungsi legislasi adalah ikut dalam pembahasan pembuatan Undang undang dan usul inisiatif Undang undang yang terkai 5 bidang kedaerahan yaitu otonomi Daearah ,Hubungan pusat dan daerah , Pembentukan pemekaran serta penggabungan Daerah ,pengelolaaan sumber Daya dan Sumber daya ekonomi terkait dengan perimbangan pusat dan Daerah.
2. Fungsi Konsultasi adalah memberikan pertimbangan baik soal anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) pajak ,pendidikan dan agama dan memberi pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK
3. Saluran formasi Aspirasi Daerah.



Dari ketiga fungsi strategis DPD tersebut dapat di kembangkan dalam kegiatan riil pemberantasan korupsi misalnya menerima pengaduan masyarakat tentang korupsi ,mendistribusikan formulir laporan Gratifikasi ,mendistribusikan formulir LHKPN, melakukan pemantauan penanganan kasus kasus tindak pidana korupsi di daerah,memberikan pertimbangan terhadap arah dan kebijakan maupun distribusi dan alokasi anggaran yang terkait dengan otonomi daerah ,hubungan pusat dan Daerah,pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi daerah
Laporan tindak pidana korupsi yang telah di sampaikan DPD RI kepada KPK Tahap 1 tanggal 28 maret tahun 2008 . Prov Bengkulu(dana perimbangan khusus PBB) Rp.21,32 M
-Kab waropen papua APBD TA 2004-2006 Rp. 11,13 M
-Kab waropen papua OTSUS TA 2004 Rp. 8,5 M
-Kab yapen waropen, Papua( OTSUS)TA 2004 Rp. 8,3 M
-Kab tolikara ,papua ( NON DIK) tak tersangka RP. 28,39 M
- Prov SUMUT PNBP Univ Sumut Rp. 93,21 M
- Kab Bombana SULTRA APBD TA. 2005-2007 RP. 36,60 M
-Kab Tanah Toraja sul sel APBD TA 2004-2006 Rp. 10,40 M

Laporan tahap 11 (kedua) tanggal 4 juli tahun 2008.
-Kab Gorontalo pembuatan sinetron sejarah Gorontalo Rp. 3,5 M.
-Kota Gorontalo ( Bantuan kepada persatuan sepak bola) Rp. 2,6 M
Gorontalo TA 2006-2007
Kab. Tangerang APBD TA 2003/2007 pembangunan jalan
Lingkar selatan RP. 28,7 M
- Kabupaten Tangerang (Raskin Tahun 2007 ) Rp. 10,7 M
- Prov Maluku( konflik Maluku ) Rp. 1,4 M
- Prov Jawa Timur ( Proyek Outsourcing Customer) Management Rp 152,6 M

Systim PT PLN Persero)
Laporan tahap ke 111 . .Sebanyak 4 Laporan dugaan korupsi telah di sampaikan ke KPK tgl 6 Pebruari 2009
-. Kab Rokan Hulu ,Riau. Pengadaan Genset dan perlengkapannya Pada tahun anggaran 2005-2006 dengan indikasi kerugian negara senilai Rp.11,192 M
-. Prov Papua APBD tahun Anggara 2006,Belanja bantuan keuangan pada APBD Indikasi kerugian Negara di perkirakan sebesar Rp.5,2 M
-. PT.ASDP Pengadaan Kapal Bekas Korea dan Bantuan tsunami Aceh pada PT ASDP,Angkutan sungai Danau dan penyeberanganIndonesia Fery tahun 2003 sampai 2007 indikasi korups kerugian Negara di perkirakanRp.12,3 M dan US$ 660 ribu.
-. Borang Sumatera Selatan Pengadaan mesin pembangkit Listrik truck mourted 2500 pada PT PLN Persero . Di Borang Sumatera Selatan dengan indikasi kerugian Negara senilai US$ 6,53 juta.
Sebagai salah satu badan legislatif dengan fungsi kewenangan penuh untuk mengajukan usul membahas pertimbangan dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terutama yang menyangkut kepentingan Daerah,Untuk memperkuat sistim checks balance melalui amandement UUD 1945 dan mengembangkan pola hubungan kerja sama yang sinergis dan strategis dengan pemangku kepentingan utama di daerah dan pusat. Penegakan hukum(Law enforcement) harus jelas dan tegas dan tidak pernah kompromi lagi Menurut Prof Dr Satjipto Rahardjo,SH,bahwa penegakan Hukum Progresif,kepentingan dan kebutuhan bangsa lebih di perhatikan dari pada bermain main dengan pasal,dokrin,dan prosedur.
Hilangkan pertimbangan pertimbangan politis sesaat dengan motif pelanggenan kekuasaan ,sudah saatnya kita harus memiliki pemimpin seperti perdana menteri China Zhu Rongi yang pada pelantikannya tahun 1998,di kenal dengan perkataannya,untuk melenyapkan korupsi saya menyiapkan 100 peti mati,99 untuk para koruptor dan 1 satu saya bila saya berbuat yang sama. Ungkapan ini yang belum pernah di ucapakan oleh pemimpin negeri ini.

2. KERAWANAN DAN POTENSI KORUPSI
Kerawanan Korupsi terjadi di mulai dari lemahnya sistim administrasi ,adanya disparitas pendapatan yang tinggi dan sering terjadi di area penyusunan anggaran ,pemasok anggaran dan kegiatan kegiatan di antaranya pada pengadaan barang ,perijinan ,pelayanan publik dll. Lebih dalam sendiri potensi potensi korupsi perlu terus di antisipasi dan di cari solusinya di antaranya sisi negativ pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa ,kesejahteraan ,nilai nilai sosial kemasyarakatan merupakan potensi dan kerawanan korupsi.
3. MENGAPA KORUPSI TERJADI ?
Perilaku Korupsi secara sederhana bisah di contohkan dengan menyebutkan tindakan penggelapan ,penyalagunaan jabatan penerimaan suap penyalagunaan wewenang dll. Prof Robert Klitgaard merumuskan terjadinya korupsi di jabarkan melalui sebuah persamaan yang terkenal yaitu:C=M+D-A.
C= Coruption
M=Monopoly (monopoli kekuasaan)
D=Discretionary Power (kebebasan memilih atau menentukan Penjabat)
A=Acountability(Akuntabilitas)
Secara matematis terjadinya korupsi merupakan fungsi dan penjumlahan monopoli kekuasaan di tambah di tambah dengan kewenangan di kurangi Akuntabilitas .Semakin M dan D akan memperbesar korupsi sebaliknya kalau sekmakin besar akan mengurangi kemungkinan korupsi
Good governance merupakan syarat mutlak mewujudkan pemerintahan yang bersi dan berwibawa ,namun skort kita masih memprihatinkan kita.
Good Governance di Asia Tenggara Tahun 1999.
Negara Indeks Efesiensi peradilan Indeks Korupsi Indeks Good
Governance Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 9,00 7,38 7,72 Good Governance
Singapura 10,00 8,22 8,93 Good Governance
Thailand 3,25 5,18 4,89 Fair Governance
Filipina 4,75 7,92 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,50 2,15 2,88 Poor Governance
Sumber Booz Allen & Hamilton seperti di kutip Irwan (2000)dan Hutherand shah(2000)

Yang menarik data tabel di atas terlihat hubungan yang positif antara indeks korupsi ,efesiensi peradilan dan indeks Good Governance.
4. MENGAPA KORUPSI PERLU DIBERANTAS?
Menurutn PBB/UNCAC korupsi telah menghancurkan Demokrasi ,tatanan Hukum Pembangunan kesinambungan ,pasar kualitas hidup ,keamanan masyarakat ,bahkan indonesia sendiri telah menyatakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary Crime) yang ongkos sosial dan korupsi justru diderita oleh rakyat diantaranya:
a. Kegagalan fungsi peraturan ,Misal orang di biarkan merusak lingkungan karena sudah memberi suap kepada pengawas lingkungan /tambang mengakibatkan daya dukung lingkungan rusak yang menyebabkan banjir ,dan kekeringan sehingga masyarakat kehilangan mata pencaharian..
b. Kesalahan pengalokasian proyect/anggaran.
c. Terbuangnya waktu untuk pengurusan perijinan resmi misalnya industri dan perdagangan , pengurusan SIM yang lebih lama di banding jalur tidak resmi mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik.
d. Kelambatan /kurangnya sumber daya pendapatan pajak /bea cukai yang tidak terkumpul seperti seharusnya.
e. Kualitas pekerjaan yang rendah ,nilai suap /korupsi yang sampai 30 % dari nilai kontrak barang /jasa akan menurunkan kualitas barang/jasa.
f. Penghindaran oleh Birokrasai ,hanya mau melayani pada rakyat yang membayar suap besar.

5. TINJAUAN KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi di indonesia secara umum terjadi karena kan beberapa sebab di antaranya sikap permisif di masyarakat ,peraturan perundang undangan yang tidak memadai ,lemahnya penegakan hukum ,kurangnya keteladanan dan kepemimpinan juga sistim penyelenggaraan negara ,pengelolaan dunia usaha yang tidak mengindahkan prinsip prinsip Good Governance ,bahkan sebagian masyarakat dalam memahami ajaran budaya dan agama sering di belokkan pemahamannya contoh Riilnya ;Rejeki yang kita terima terkandung juga rejeki orang lain: Orang lain di sini tidak di pahami sebagai orang yang memerlukan bantuan misalnya panti sosial ,orang miskin ,orang tyerlantar justru di artikan adalah orang orang yang telah berjasa terhadap rejeki yang di dapatnya misalnya kalau dapat project dari pemerintah akan melakukan penyuapan ke manejer project,kalau undang undang di golkan karena menguntungkan usahanya akan menyuap DPR dll
Sejarah Korupsi di Indonesia.
Sejarah pemberantasan korupsi di indonesia sendiri sudah cukup panjang bahkan lebih dulu seperti yang di lakukan Malaysia dengan berdirinya Badan Pencegah Rasuah tahun 1967,atau Brunei dengan Badan Mencegah Rasuah tahun 1968 ,Hongkong dengan ICAC (Indepent Commisian on anti Coruption) tahun 1974 yang prestasinya fenomenal .
Faktor faktor yang mendasari suksesnya pemberantasan korupsi di negara lain di antaranya.:
a. Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak Hukum dalam pemberantasan Korupsi
b. Langkah langkah koprehensif antara penindakan dan pencegahan untuk mencegah prilaku korupsi tidak menyebar dan menular. Korupsi di indonesia sudah ada sejak zaman VOC (Veerenigde Oost Indishe Copagnie) yang bangkrut kemudian hancur perang dan korupsi yang merajalela di dalam tubuhnya sendiri ,dan di teruskan di pemerintahan kolonial Inggris,Belanda dan Jepang .Pada awal tahun kemerdekaan istilah korupsi secara yuridis belum di kenal ,definisi korupsi yang di kaitkan keuangan negara belum muncul ,walaupun ada beberapa tindakan tidak jujur atau upaya memperkaya diri sendiri yang di lakukan oleh beberapa elit kekuasaan .Istilah maling ,Rampok ,tukang catut lebih di pahami untuk menggambarkan prilaku seseorang yang korup
Beberapa organisasi yang pernah di bentuk untuk memberantas korupsi:
a. Peraturan penguasa militer Angkatan darat dan laut RI No PRT/PM/06/1957,sebagian besar dan militer di anggap mampu untuk itu kalangan waktu itu berpendapat bahwa pemberantasan korupsi harus di lakukan secara efektif dan efisien dan militer di anggap mampu untuk itu.Untuk memperkuat peraturan ini ,di keluarkan lagi peraturan penguasa militer No. PRT/PM/08/1957. Yang mengatur tentang kepemilikan harta benda dan pertatura dan perampasan harta benda .Dalam perjalanannya peraturan tersebut di mamfaatkan oleh militer untuk mengambil asset asset perusahaan besar yang mayoritas di kuasai oleh Belanda .Tahun 1958 peraturan tersebut di tingkatkan menjadi peraturan nasional oleh KASAD selaku penguasa perang menjadi PRT/Peperlu/013/1958.Kewenangan baru di berikan yaitu kewenangan mengusut ,menuntut dan melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi serta kepemilikan harta Benda .Namun perkembangan selanjutnya justru bermasalah dan di sorot publik , karena dianggap bahwa militer tidak hanya mulai memasuki dunia Bisnis tetapi juga mengakibatkan banyaknya pejabat militer yang memperkaya diri sendiri secara tidak sah, yang akhirnya karena di anggap tidak terkendali oleh KASAD waktu itu Jenderal AH nasution mencabut UU No. 74 tahun 1957 tentang keadaan bahaya yang mendasari terbitnya peraturan peraturan militer itu.Dan dengan alasan yang mendasar pemerintah mengeluarkan perpu no. 24 tahun 1060 sebagai pengganti UU No .1 tahun 1961 sebagai payung pemberantasan korupsi,oleh karena politik yang memenas UU tersebut mati suri.
b. Tahun 1967 pemerintah menerbitkan Keppres no 28 tahun 1967 tentang pembentukan Tim pemberantasan Korupsi berdasarkan tuntutan masyarakat dan mahasiswa.Tahun 1968 soekarno meletakkan jabatan di depan umum MPRS,setelah itu korupsi makin merajalela seolah olah mendapat dukungan dari penguasa tahun 1970 dengan pertimbangan agar segala usaha pemberantasan korupsi berjalan denga efektif dan efesien.Keppres ini sebagai jawaban atas protes mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya ,yang mengatur pembentukan Komisi empat yang di ketuai Wilopo,Selain itu melalui Keppres no 13 Tahun 1970 presiden mengangkat M Hatta sebagai penasehat nTim pemberantasan Korupsi ,Selanjutnya keluar UU No 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana Korupsi
c. Tahun 1977 pemerintah membentuk operasi Tertib (opstib) untuk memberantas korupsi ,manipulasi dan pungutan liar
d. Tahun 1987 melalui surat menkeu No.S-1234/MK 04/87 menteri mengeluarkan kebenaran restitusi pajak.
e. Selanjutnya Tahun 1997/1998 terjadi krisis moneter serta tumbangnya pemerintahan soeharto karena desakan mahasiswa dan masyarakat seluruh indonesia .Peritiwa ini merupakan puncak protes atas begitu merajalelahnya praktek korupsi era pemerintahan Soeharto.
f. Tahun 1999 pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid membentuk Badan Negara untukk mendukung pemberantasan Korupsi di antaranya Tim gabungan penanggulangan Ttindak pidana Korupsi (TGP-TKP),Komisi Ombudsman Nasional,Komisi kekayaan pejabat Negara (KPKPN),selanjutnya UU No m28 Tahun 1999 di terbitkan yang mengatur tentang pemerintahan yang bersi dan bebasbdari KKN dan UU No .31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1973 tentang Tindak pidana Korusi.
g. Tahun 2001 di bawa pemerintahan megawati Keluarlah UU No .20 tahun 2002 tentang perubahan atas UU RI No .31 tahun 1999 tentang pemberantsan tindak pidana korupsi bersamaan dengan itu pemerintah membubarkan Komisi pemeriksa Kekayaaan pejabat Negara,
h. Tahun 2005 di era pemerintahan SBY di bentuk TIMTAS TIPIKOR berdasarkan Inpres sebuah Tim koordinasi antara Kejaksaan Agung,Kepolisian dan BPKP yang beberapa lama kemudian bubar.
Beberapa hal menarik kenapa oranisasi organisasi tersebut gagal.
1. Tidak memadai pada komponen pencegahan ,walaupun mandat yang di berikan mencakup pencegahan
2. Bagus hanya beberapa tahun pertama ,setelah itu malah ikut akorupsi.
3. Diarahkan hanya untuk penghukuman ,tidak cukup perhatian pada upaya pelacakan asset (hasil korupsinya)
4. Sering di persepsikan sebagai di gunakan untuk kepentingan tertentu.
5. Sistim manajemwn SDM tidak di arahkan untuk mendukung Kinerja.
6. Sistim manajemen keuangan tidak di arahkan untuk mendukung kinerja.

6. TUGAS PEMBERANTASAN KORUPSI ADALAH TUGAS KITA BERSAMA.
Pemberantasan korupsi bisa di ibaratkan sebagai perang suci yang tidak bisa di prediksikan kapan selesainya,siapa yang memenangkan peperangan negara atau Koruptor ,tetapi yang perlu di yakini kegiatan pemberantasan korupsi ini perlu terus menerus di lakukan dan menjadi tanggung jawab seluruh warga negara ,beberapa hal yang dapat di jadikan faktor faktor keberhasilan kegiatan ini antara lain:
- Keinginan yang kuat dan bersungguh sungguh lembaga Eksekutif,Legislatif, maupun Yudikatif. Namun kenyataannya dari lembaga lembaga tersebut kesungguhan dalam pemberantsan korupsi di rasa masi kurang ,bahkan anggota lembaga tersebut justru terlibat dalam tindak pidana korupsi .Selain itu fungsi badan badan pengawasan yang belum efektif, peraturan perundang undangan yang kurang mendukung ,serta belum di terapkannya prinsip prinsip Good Governance di seluruh bidang.
- Keberanian dan terrebosan dari penegak hukum,kegiatan kegiatan ini bisa di ukur dengan jumlah yurisprudensi yang di hasilkan oleh putusan putusan pengadilan ,asset asset yang banyak di kembalikan dari tersangka/terdakwa ,Keberhasilan menangani korupsi yang bersifat sindikat, korupsi lintas negara dll.
- Keterlibatan masyarakat sipil tidak hanya LSM tetapi lembaga lembaga Keagamaan ,pendidikan bahkan pengusaha harus berperan aktif untuk mendorong terciptanya transparansi pengelolaan keuangan ,melalui kegiatan pendidikan anti korupsi baik di pendidikan formal maupun keagmaan ,mengkampanyekan Bisnis tanpa Suab
- Hukuman berat bagi pelaku kejahatan korupsi ,para penegak hukum perlu menyadari bahwa korupsi telah menimbulkan kerusakan yang hebat bagi bangsa dan negara oleh karena itu tidak perlu ragu menghukum seberat beratnya juga merampas aset yang di hasilkan melalui kejahatan korupsi.
- Melakukan reformasi birokrasi ,Instansi pemerintah, penegak hukum,dan instrumen negara lainnya perlu mencanangkan segera mengimplementasikan reformasi birokrasi .Dapat di mulai melalui sistim rekruitmen yang baik /independen .perencanaan jalur karir yang jelas ,sisti reward /punistment ,hubungan antar pegawai yang harmonis serta penataan ulang siistim rekruitmen.
- Penambahan kekayaan para pejabat perlu di laporkan,di umumkan di monitor secara terus menerus.
- Pendidikan anti korupsi perlu di lakukan secara massive di mulai dari usia dini hingga dewasa ,menjadi nilai nilai keluarga dan sosial
- Penguatan terhadap lembaga pengawas ,fungsi lembaga pengawas di perkut baik baik melalui pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.-.Penertiban aparat penegak hukum.
- Nasional integrity pemerintah perlu segera panduan terkait Integritas nasional, baik yang mengatur aparatur negara ,para pelayan publik,maupun pengusaha sehingga jelas ,dapat di pahami dan di implementasikan oleh masyarakat mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,serta membuat ukuran ukuran pelayanan publik yang harus di lakukan.
1. Pola pemberantasan korupsi yang ada kurang memberi efek jerah kepada para koruptor,lemahnya sistim admnistrasi kepegawaian kita ,sisi negative pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa sangat kurang.
2. Faktor tekanan sosial dalam masyarakat menurut Robert merton yang terkenal dengan Teorinya means ends scheme ,bahwa korupsi merupakan prilaku manusia yang di akibatkan tekanan sosial ,sehingga menyebabkan pelanggaran norma norma ini menjadi tantangan budaya kita yang cenderung menghargai orang yang lebih kaya dari pada orang miskin.
3. Tidak adanya tauladan yang memberi contah prilaku bebas korupsi .
4. Di dalam dunia politik ,korupsi mempersulit Demokrasi tata pemerintahan yang baik (Good Governance Korupsi yang mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai Demokrasi.
5. Di bidang ekonomi ,Korupsi yang mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidak efesienan yang tinggi
6. Peranan Dewam Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)masi sekedar memberi laporan adanya indikasi korupsi yang merugikan keuangan negara ke KPK
7. Semua lembaga lembaga yang di bentuk untuk memberantas korupsi belum mampu menyelesaikan dan menghilangkan korupsi di negeri ini
8. Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masi ragu ragu,serta langka langkah konprehensip antara penindakan dan pencegahan prilaku korupsi tidak menyebar dan menular).

PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI SIKLUS

Oleh Burhan (Mhs S2 Hukum UID Kls Palu)
Dosen; Prof Dr H Zainuddin Ali, MA

Latar Belakang.
Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu
Perubahan sosial selalu terjadi disetiap masyarakat. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia itu saendiri. Manusia selalu berubah dan menginginkan perubahan dalam hidupnya. Manusia adalah makhluk yang selalu berubah, aktif, kreatif, inovatif, agresif, selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi disekitar lingkungan sosial mereka. Di dalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan sudah tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dan diganti dengan nilai-nili baru. Kemudian, nilai-nilai itu diperbaharui lagi dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih baru lagi. Nilai tradisional diganti dengan nilai modern, nilai modern diganti dan diperbaharui lagi dengan yang lebih baru lagi, yaitu post modern, dan seterusnya. Sejalan dengan perubahan nilai sosial itu, berubah pula pikiran dan perilaku anggota masyarakatnya. Di dalam masyarakat berkembang perilaku sosial dan pemikiran yang baru.
Perubahan dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks.
B. Tujuan
Segala sesuatu yang dikerjakan pasti mempunyai suatu tujuan, begitu pula dalam penulisan makalah ini diharapkan memperoleh suatu tujuan dan manfaat, baik untuk kepentingan ilmiah maupun non ilmiah. Sejalan dengan itu, ada suatu hal yang urgensi dalam penulisan makalah ini, yakni ingin mengungkap nilai-nilai perubahan sosial masyarakat ditinjau dari aspek penerapan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara di dalam masyarakat
C. Manfaat/Kegunaan
Sekecil dan segampang apapun yang kita kerjakan dalam hidup dan kehidupan ini, tentu kita berharap apa yang dikerjakan itu dapat bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, masyarakat, bangsa bahkan negara. Jangan pernah anda bertanya apa yang negara berikan kepadamu, akan tetapi tanyalah kepada diri anda sendiri, apa yang anda sumbangkan kepada bangsa dan negaramu (baca : John F Kennedi) Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini, penulis ingin memberikan suatu kontribusi ilmiah dengan formulasi hukum dan perubahan nilai-nilai sosial dalam perspektif interaksi antara hukum dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
D. Permasalahan
1.Apakah hukum dan perubahan itu ?
2.Bagaimana perubahan sosial itu ?
3.Bagaimana interaksi antara hukum dan masyarakat ?
4.Kegunaan apa yang dapat diperoleh dengan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara ?

PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ”bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.
B. Konflik dan Perubahan Hukum
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.
Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.
Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya, sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan sistem hubungan sosial yang khusus.
Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu adalah senantiasa produk konflik.
C. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat
Hukum sebagai sarana rekayasa (social engineering by law) atau biasa juga disebut sebagai alat oleh ” agent of change.” Yang dimaksud “ agent of change” di sini adalah seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur dan terencana (social engineering atau social planning) dan perubahan tersebut selalu dalam pengawasan agent of change.
Sebagai bukti suatu keputusan hukum secara langsung dan atau tidak langsung mengubah masyarakat dapat kita lihat lahirnya undang-undang No.22 Tahun 1961 mengubah dari 14 buah Univesitas Negeri dengan 65.000 Mahasiswanya setelah keluarnya peraturan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Soekanto:
Sebelum Undang-undag No.22/1961 ditetapkan, terdapat 14 buah Universitas Negeri degan Mahasiswa 65.000 orang. Terlepas dari segi baik buruknya, sejak Undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah Universitas Negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan 158.000 Mahasiswa.
Contoh lain yang mudah kita ingat yaitu sejak lahirnya UUD 1945 bulan Agustus 1945 yang sebelumnya didahului konflik baik tertutup maupun terbuka, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat dengan segala tata aturan yang ditetapkan oleh pelopor kemerdekaan pada saat itu. Kalau dibandingkan setelah lahirnya UUD 45 maka sebelum lahirnya Undang-Undang dasar 1945 atau sebelum diproklamasikannya kemerdekaan 1945 bangsa indonesia adalah bangsa terjajah dan hak-hak kemerdekaannya dirampas para penjajah antara lain bangsa Belanda dan Jepang.
Dari sedikit contoh diatas, paling tidak ada sedikit gambaran mengenai peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan atau masyarakat mengubah hukum. Secara umum paling tidak ada tiga peranan atau fungsi hukum sehingga mewarnai proses perubahan masyarakat yaitu, pemberi bentuk (Pedoman perilaku dan pengendali sosial,serta sebagai landasan proses integrasi), hukum juga sebagai penentu prosedur dari tujuan masyarakat (Contoh kelahiran GBHN di Indonesia), kemudian respektif pembangunan tidak lepas dari rekayasa dan hukum juga sebagai alat atu sarana rekayasa masyarakat (Social engineering by law).
Hukum yang efektif sebagai alat mengubah masyarakat, hendaklah dalam proses pembuatannya memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga betul-betul masyarakat tersebut merasakan keterlibatannya secara baik. Adapun syarat-syarat peraturan perundangan, paling tidak memenuhi apa yang sering dikemukakan para ahli sosiolagi hukum yaitu : Fisiologis atau Ideologi, yuridis, dan sosiolagis.
Di samping hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, tetapi hukum juga bisa tertinggal jauh kebelakang dari perubahan–perubahan sosial dalam masyarakat apabila ternyata hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Selain hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat, hukum juga diketahui masyarakat. Bagaimana mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hukum itu diketahuinya serta mengalami proses pelembagaan (Institutionalization) dalam diri warga atau bahkan tatanan jiwa masyarakat ( internalized ).
Hukum sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat, maka jangan mengurangi asas-asas keadilan. Adil secara sederhana bisa saja kita artikan bahwa menempatkan sesuatu pada tempatnya, namun harus juga mengutamakan asas-asas keadilan yang kongkrit antara lain; asas kesamaratan, asas kesebandingan, asas kualifikasi, asas objektif (misalkan melihat sudut prestasi seseorang), dan asas subjektif.
Aristoteles (384 SM-332 SM) dalam Beny Bosu, membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan Vindikatif dan keadilan Absolut. Keadilan Vindikatif adalah keadilan hukum, menjatuhkan hukum kepada seseorang menurut prosedur hukum serta alasan yang mendasar. Sedangkan keadilan Absolut adalah menjatuhkan hukuman pembalasan kepada seseorang yang bersalah seimbang dengan kejahatannya serta ada praktik main hakim sendiri.
D. Interaksi dan Arti Hukum Negara dalam Sosiologi
Pengertian hukum Negara menurut Van Apeldoorn dalam Kusnardi dan Ibrahim (1998) adalah Hukum Negara dalam arti sempit menunjukan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya. Apeldoorn juga memakai istilah Hukum Negara dalam arti sempit sama artinya dengan istilah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, kecuali Hukum Tata Negara dalam arti luas adalah termasuk dalam Hukum Negara yang hanya Apeldroon maksudkan ialah tentang tugas, hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan negara, dia tidak menyinggung tentang kewarganegaraan dan hak asasi manusia.
Hukum sebenarnya adalah bagian keajekan pergaulan hidup, namun terdapat dua personal pokok, yaitu apakah perilaku ( behavior ) yang ajek atau hanya berupa kebiasaan sekali saja sudah merupakan hukum dan bagaimanapula kita membedakan keduanya sebagaimana dikatakan Hoebel dalam Purnadi Purbacaraka dan Soekanto(1982). ” law is obvionsly a complex of human behavior.
Hal ini oleh L.J. van Apeldoorn (1966) dalam Purnadi Purwacaraka & Soekanto (1983)26 menyatakan: ” Zo zijn er dus voor het onstaan van gewoontercht twee vereisten; een van materiele aard; een constant gebruik: een van psychologischen (niet individueel maar grouppsycho-logischen) aard; de overtuiging van rechtsplicht (opinio necessitatis)”.
Menurut Apeldoorn tersebut terdapat dua syarat bagi timbulnya hukum kebiasaan, yaitu: bersifat materiil; kebiasaan yang ajek, dan yang bersifat spikologis sosial (bukan psikologis individual): kesadaran akan adanya suatu kewajiban menurut hukum. Jadi sikap tindak (social action) atau perilaku yang ajek dan keyakinan ataupun kesadaran akan kewajiban hukum adalah unsur dari hukum. Sedangkan hukum itu sendiri adalah proses untuk keteraturan dan aturan kedamaian sebagaimana pandangan Apeldoorn bahwa ” Het rech Wil den Vrede” (tujuan hukum adalah kedamaian).
Hubungan hukum dengan negara, kaitannya dengan kajian sosiologis, berangkat dari pemikiran bahwa sosiologi hukum bukanlah hanya hukum sebuah cita-cita atau suatu keharusan belaka (law in book), tetapi lebih kepada proses hukum yang senyatanya hidup berkembang di masyarakat (law in action). Begitu pula halnya hukum dan negara dalam tinjauan sosiologis.
Pandangan sosiologis, negara adalah bagian dari kelompok politik. Samidjo (1986)27 membagi atas ”politik teoritis” dan ”politik praktis” (thearictical and apllied politics) sehingga kalau dirinci:
1. Politik Teoritis; mengenai keseluruhan dari asas-asas dan ciri-ciri yang khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
2. Politik Praktis; mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu, yaitu negara sebagai lembaga yang dinamis.
Negara adalah juga bagian dari politik dan berarti pula tentang masyarakat, kalau berbicara hukum dan negara secara sosiologis, maka berkaitan erat dengan proses pembuatan hukum dalam suatu negara. F.C.von Savigny berkebangsaan Jerman (1779-1881) bukunya ” Gewohn Heitsrecht” dalam Samidjo (1986)28 mengemukakan ” Das Recht Wird nicht gemacht, ober es ist und wird mit dem valke.” Inti dari pendapat tersebut bahwa hukum tidak dapat dibuat, kecuali terjadi atau diproses bersama-sama dengan masyarakat. P.J. Bouman (1950) dalam bukunya ” Sociologie” menegaskan bahwa:
...( de siciologische beschouwingswijre vat de star (in ruisme zin)als politicke groep op d.w.z.als een levensgemeenschap van een groat oantal personen die door een zeer speciaal saamhorighlid sgefoed zyin verbonden. (terjemahan bebasnya....pandangan sosiologis menganggap negara dalam arti luas sebagai kelompok politik, artinya sebagai kebersamaan hidup dari sejumlah besar pribadi yang terkait oleh perasaan kebersamaan yang sangat khusus).29
Ahli pikir pertama tentang negara dan hukum dari dari Prancis Charles Secondet, baron de labrede et de Montesquien yang bisa disebut Montesquien (1688-1755) dalam Samidjo30 menyatakan dalam ajarannya yang bersifat ”empiris realistis” bahwa di dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan tersebut kalau dirinci lagi:
a. Kekuasaan Legislatif; dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlement);
b. Kekuasaan Eksekutif; dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet);
c. Kekuasaan Yudikatif; dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
Adapun isi ajaran Monesquien ini adalah tentang pemisahan kekuasaan negara (thesepration of powers) yang terkenal dengan istilah ”Trias Politika” istilah tersebut berasal dari Immanuel Kant31. ditambahkan samidjo bahwa ajaran tersebut berkeinginann agar proses menjalankan kekuasaan oleh para raja atau para pimpinan suatu negara terhindar dari sikap sewenang-wenang terhadap masyarakatnya. Sehingga mampu menentang feodalisme, yang mana pada saat itu (sampai abad XVIII) pemegang kekuasaan dalam negara adalah seorang raja, yang mana membuat sendiri undang-undang, menjalankannya sendiri, termasuk menerapkan sanksinya ditentukan sendiri oleh sang raja. Sebagai gambaran bagaimana fakta sejarah tentang kesewenangan sistem hukum pada zaman kerajaan di Indonesia. Soepomo menyatakan:
Pada zaman perbudakan para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya di tangan orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan, pada tahun 1877 pada waktu meninggalnya seorang raja di Sumbawa, seratus orang budak rela dibunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan dan pekerja lainnya.32
Jadi dari berbagai pendapat atau pemikiran tersebut di atas sangat jelas bahwa sosiologis adalah harus adanya keseimbangan dan kualitas proses dalam membuat, sosialisasi, dan penerapan suatu peraturan perundang-undangan serta perlunya pemikiran ”Trias Politika” sehingga tejadinya hak-hak dasar dalam sikap tindakan masyarakat senyatanya merupakan hukum yang hidup (law in action).
E. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok.
Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorang pun yang hidup penyendiri, terpisah terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanya untuk sementara waktu.
Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin terjadi pada alam khayal belaka, namun kenyataan hal itu tak mungkin terjadi. seperti tarsan, Robinson cruso dan sebagainya. Sejak manusia itu ada sudah terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok yaitu hasrat untuk bermasyarakat ( baca Aristoteles )
F. Golongan golongan dalam masyarakat
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan misalnya kelompok-kelompok Pelajar, mahasiswa diwaktu istirahat di sekolah, kampus, kelompok-kelompok yang timbul itu disebabkan :
a. Merasa tertarik terhadap orang lain
b. Merasa mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain
c. Merasa memerlukan bantuan orang lain
d. Mempunyai hubungan daerah dengan orang lain
e. Mempunyai hubungan kerja dengan orang lain

G. Hukum dan Stratifikasi Sosial
Jika dalam suatu negara adanya pengakuan persamaan derajat para warganegaranya di depan hukum dan pemerintahan, maka suatu hari mungkin kita bertanya jika terjadi diskriminasi dalam proses penerapan hukum. Jika hukum yang dimaksud berlaku untuk semua orang, apakah pernah terjadi seorang yang mempunyai kedudukan ” kuat ” dalam masyarakat ?.
Dewasa ini di indonesia perlu diadakan suatu pemikiran untuk mendapatkan suatu kejelasan mengenai hubungan timbalbalik antara hukum dan masyarakat. Negara indonesia adalah warga-warga masyarakat yang terorganisir untuk hukum di dalam suatu wilayah tertentu.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu.
2. Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
3. Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
4. Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ” bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.

B. Saran-Saran
1. Sosiologi Hukum adalah merupakan mata kuliah yang mengajarkan kepada Mahasiswa terutama Mahasiswa Program Pasca Sarjana untuk memiliki pengetahuan tentang hukum. Oleh karena itu, sebagai Mahasiswa yang pengetahuan sosiologi hukumnya masih kurang agar dapat mengembangkan dengan cara autodidak ataupun dengan pendekatan metode ”sosial kultural Law ”.
2. Perkuliahan Sosiologi Hukum akan mencapai tujuan maksimal bagi Mahasiswanya apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan sehingga menimbulkan semangat dan kecintaan terhadap mata kuliah sosiologi hukum. Oleh karena itu, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta dapat mendidik Mahasiswa Pasca Sarjananya untuk membekali dan mengembangkan budaya cinta akan kesadaran hukum di masyarakat

Daftar Pustaka
Chambliss, William, J.& Seidmam, Robert B., law oeder and Pawer, reding,mass: Addison, Mass : Addison-Wesly.1971
Doyle Paul Jhonson, di indonesiakan oleh Robert MZ. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Moderen (2), Gramedia Jakarta, 1986.
Durkheim, emile., De la division du travail Social : Etudesur I ’ oraganisation des societes superi eureures, De Can, paris, 1983.
Durkheim, emile., The rules The rules of sociological Method. by Sarah A Solovay and Jhon A. Mueleer and Edited by George E. G. latin, Free Press, New York 1964
Fridman, Lawrence M The legal System, A Socience Pers ective Russelsage Foundation, New York,1975
Fridman woltgang, legal teory, Steven & Sons, london, 1953
Gillin, Jhon Lewis – Gillin, Jhon Philip, Cultural sociology, the mac Millian Compony, New York,1954
Gurvitch, Georges, terjemahan Soematrik Mertodipuro dan Moh. Radjab, Sosiologi Hukum, Bharatara, jakarta, 1962.
Koentjoroiningrat, Rintangan-rintangn Mental Dalam Pembangun ekonomi di Indinesia, Bharatra, Djakarta, 1962
L. Leyendecker., Tata Perubahan Dan Ketimbangan, PT. Gramedia, Jakarta, 1983
O’ dhea, tomas, F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, CV. Rajawali, Jakarta, 1985.
Peters, A.A.G dan Koesriani Siswaosoebroto, Hukum dan Perkembangan Social, Buku teks sosiologi hukum Buku I, sinarharapan, Jakarta, 1988
Podgorecki, Adam dan Christopher J. Whelan (ed), terjemahan Rnc. Widyanningsih, SH., dan G. Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina aksara, Jakarta,1987.
Ronny hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni. Bandung,1986
http/www.gogle
Schur, Edwin. M., Law and Society, A sociological View, Random Haouse, New York, 1968.
Small, Albion, W dan George E Vincent, Introduction to The Study of society, American Book co, New York, 1984.
Soebekti, Kumpulan-kumpulan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, Alumni, Bandung,1980.
Soerjono soekanto, Emile Durkheim, Aturan-aturan Methode Sosiologis (seri pengenalan Sosiologi 2), Rajawali Press, Jakarta. 1985.
Timasheff, N, SH., What is”sociology of Law?” dalam, American journal of sociology, Vol 43. September 1937.
Young, Kimball., Social Psychology, Alfred A knopt, New York.

SEKILAS RIWAYAT HIDUP PROF DR HA MATTULADA

November 07, 2007
Prof Dr Mattulada
Nyaris Jadi Korban Westerling
SEANDAINYA Kepala Polisi Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada -- seorang pemikir dari Ujungpandang. Dan seandainya "kebetulan" tadi tak terjadi, mungkin nama Mattuladadan ikut tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban pembantaian Westerling -- tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada (65) akhir pekan lalu di kediamannya, Kampus Baru Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas ini, satu persatu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan tidak kembali lagi.
"Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa," kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak menelorkan pejuang termasuk Robert Wolter Monginsidi-- memanggul senjata lagi melawan Belanda. Rekannya se- SMP Nasional, Wolter Monginsidi, dihukum mati Belanda dalam proses peradilan cepat.
Mengurut kembali sejarah, Mattulada mengatakan, siapapun yang menjadi pejuang waktu itu pasti ridho merelakan nyawanya bagi Ibu Pertiwi. Ia mengakui, yang memompa semangatnya dan memberi inspirasi sikap kejuangan banyak orang tak pelak lagi adalah Bung Karno, dengan pidatonya yang berapi-api di lapangan Hasanuddin tahun 1944. Pemimpin besar itu kala itu berkeliling Indonesia, dan selalu menyemangati para pejuang agar pantang menyerah dan menggantungkan cita-cita setinggi langit.
* * *
SEMANGAT, inovatif dan jiwa kejuangan ditopang kecerdasan, merupakan ciri khas Mattulada. Sesudah gemuruh perjuangan melawan Belanda reda, ia bersekolah lagi sambil aktif di dinas sekuriti (PAM) Kepolisian RI. Tahun 1956 setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Tahu bahwa Mattulada berlatar belakang sebagai tentara pelajar dan TNI, maka kepala sekolah waktu itu, Pangkerego, menugaskan Mattulada "mengamankan" anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamang-amangkan senjata selagi guru sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Sambil sibuk membenahi SMA III, ia juga ikut memperjuangkan berdirinya Universitas Hasanuddin. Dialah yang termasuk dibawa Oom No (Arnold Mononutu) menghadap Presiden RI mendesakkan berdirinya sebuah PTN di Makassar. Namun karena waktu itu Bung Karno sedang ke Sumatera, maka ia hanya bisa bertemu Mohammad Hatta (Wakil Presiden waktu itu). Hatta pun mengatakan pemerintah telah memikirkan mendirikan sebuah PTN di Makassar, ia menuturkan kepada Gubernur Sulsel (waktu itu) Andi Pangerang Petta Rani bahwa Hatta telah menyalakan lampu hijau.
Maka di awal tahun 1956 (Mattulada lupa persis waktunya), tatkala Mendikbud (waktu itu) Bahder Djohan berkunjung ke Makassar, Mattulada dan kawan-kawannya melakukan aksi. Mobil "dem-dem"an yang ditumpangi Bahder dan beberapa tokoh pendidikan Sulsel, "dihentikan" Mattulada dan kawan-kawan di Tamalanrea (kini menjadi kampus baru Unhas). "Supaya mobil itu berhenti, kami bergerombol sambil melambai-lambaikan tangan di jalan sempit itu, sehingga mobil Bahder berhenti," tutur Mattulada sambil tertawa geli.
Bahder Djohan yang tahu Sulsel masih dirusuhi gerombolan --mengira ada sesuatu yang luar biasa terjadi. Tapi, yang muncul adalah Mattulada dan kawan-kawannya, dan keperluannya, "hanya" mendesak Mendikbud agar menyetujui pendirian Unhas. Bahder tak bisa lain kecuali mengangguk-angguk setuju dan meminta para pemuda bersabar sebab pemerintah pasti membuka PTN baru di Makassar.
Tak puas hanya ucapan lisan, Mattulada dan kawan-kawan menyodorkan kertas putih sambil meminta Bahder Djohan membuat surat tanda persetujuan pendirian universitas baru dan menandatanganinya. Setelah semua ini dilakukan, barulah Mattulada dan kawan-kawannya "melepas" Bahder dan rombongannya masuk kota Makassar.
Beberapa waktu kemudian, datang Presiden Soekarno ke Makassar. Di Gubernuran Bung Karno dalam pengumuman selama 10 menit langsung menyatakan pendirian PTN itu, dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Pada tahun 1959, Mattulada dan teman-teman merintis pendirianFakultas Sastra di Unhas. Ketika fakultas itu jadi dibuka, dialah mahasiswa pertamanya, dan lulus 1964. Dua tahun kemudian ia menjabat Dekan Fakultas Sastra 1966-1970. Ketika terjadi G-30s-PKI, Mattulada membentuk dua kompi pasukan semacam resimen pelajar serba guna SMA Negeri 1 yang ia pimpin tampil sebagai salah satu pelopor pengganyangan komunis di situ.
Seorang rekannya, Haji Muhammad Fahmy Daeng Myala menuturkan, semasa menjabat Dekan Fakultas Sastra, talenta Mattulada sebagai antropolog mulai tampak. Bakat antropolog tadi, katanya, lebih terasah tatkala Mattulada tugas belajar di Rijks Universiteit Leiden 1970-1972.
Ucapan Myala tampaknya tidak berlebihan. Disertasi Mattulada untuk meraih doktor di Universitas Indonesia (1975): Latoa, Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, disebut- sebut sebagai salah satu karya besar yang dihasilkan putra Sulsel setelah kemerdekaan. Karya-karya ilmiah Mattulada yang lain, di antaranya, The Spread of the Buginese in Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang -- 1981), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di Sulawesi Tengah (1991), Human Ecology (1993).
* * *
DI tengah keasyikannya mengajar dan melakukan penelitian, Mattulada juga mengembangkan minatnya yang lain, kesenian. Bagi dia antropolgi berkaitan sangat erat dengan prilaku manusia, bertaut lekat dengan kesenian yang sangat mengedepankan sisi humanistis, nurani dan kata hati.
Dialah, yang kemudian dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada masa dia menjadi Ketua DKM itulah, di Makassar muncul nama-nama seperti Rahman Arge (kini anggora DPR-RI), Aspar Paturusi, Husni Djamaluddin (kini anggota DPRD Sulsel), Arsal Alhabsyi, Drs Ishak Ngeljaratan MS, dan DR Sutiono Sinansari ecip (kini Redpel Harian Republika), Andi Rio Daeng Riolo (alm).
Mattulada menampik anggapan bahwa di masanyalah DKM mencapai "masa keemasan" -- dalam melahirkan karya. Bagi dia, tampilnya angkatan Arge dan kawan-kawan erat kaitannya dengan masa perjuangan waktu itu, 60-an hingga awal 70-an. Era itu, karya sastra dan kesenian tumbuh subur karena situasi, dan para pejabat di Sulsel sangat mendukung.
"Waktu itu, Gubernur Sulsel adalah Achmad Lamo, Sekwildanya Andi Patarai, dan Walikota Makassar Patompo. Mereka semua kawan dekat yang saya kenal baik di masa perjuangan dulu," kata Mattulada.
* * *
PUNCAK karir Mattulada sebagai pengajar terjadi tatkala ia ditunjuk Mendikbud (waktu itu) Dr Daoed Yoesoef untuk menjadi Rektor Universitas Tadulako.
Prosesnya sederhana saja. Sepulang dari tugas sebagai Guru Besar Tamu pada Kyoto University, Jepang, 1979-1980, ia bersua Prof Dr Achmad Amiruddin Pabittei (Rektor Unhas 1973-1982, kini Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI). Prof Amir memberitahu Mattulada bahwa Mendikbud Daoed Yoesoef ingin bertemu dia. Daoed tampaknya mempercayakan Mattulada sebagai Rektor Tadulako, Palu.
Mattulada sebenarnya agak terkejut. Ia baru saja beberapa pekan pulang dari Jepang, dan baru berkumpul dengan keluarga. Maka ia utarakan kepada Prof Amir bahwa ia membutuhkan konsultasi dengan keluarga, di samping ia menegaskan bahwa ia tidak suka main-main dan senang pada sikap tegas dan "lurus", tidak "belok-belok". Prof Amir, menurut Mattulada menjamin hal tersebut.
Ia pun dilantik sebagai rektor pertama Universitas Tadulako di Palu, tanggal 18 Agustus 1981. Dua kali dipercayakan menjabat rektor hingga 1990, Mattulada kembali ke kampung halaman. Di Unhas ia dipercayakan menjabat Ketua Senat Guru Besar Unhas, 1990 hingga pensiun baru-baru ini. Tetapi meski sudah pensiun, ia tetap diminta Rektor Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA menjadi pengajar di program Pasca Sarjana Unhas.
Di masa pensiun ini, Mattulada --yang artinya Penyambung Adat -- lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana, telah menikah. Kecuali menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Mattulada rajin puasa Senin dan Kamis.
(Andi Suruji/Abun Sanda).
KOMPAS - Jumat, 18 Feb 1994 Halaman: 20