Minggu, 14 Maret 2010

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Sidik
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

A. Pendahuluan
Ada dua sistem hukum di dunia ini, pertama adalah sistem hukum Eropa dan Inggris yang sering disebut dengan Common Law System, yang ke dua adalah sistem hukum Romawi-Jerman yang sering disebut dengan Civil Law System. Di Indonesia cenderung menganut sistem Civil Law System karena sistem ini lebih membuka diri untuk mengadakan perubahan-perubahan agar selalu bisa menampung gerak dinamika masyarakat. Di dalam sistem Civil Law System ini yang sangat menonjol yaitu adanya perbedaan antara Hukum Publik dan Hukum Perdata.
Hukum merupakan suatu sistem kaidah, dan salah satu sumber hukum materiil adalah kaidah atau norma, kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat atau penggalan-penggalan aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan. Ketentuan mengenai larangan diperuntukan untuk mencegah perbuatan-perbuatan manusia yang apabila dilakukan akan membahayakan kehidupan bersama, sedangkan perintah-perintah diperuntukan agar dilakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberikan kebaikan bagi kehidupan bersama.
Norma-norma yang hidup dalam masyarakat ada empat, antara lain norma kesopanan, Norma Kesusilaan, Norma Agama dan Norma Hukum. Norma tersebut harus berjalan serasi agar tercipta kehidupan yang baik, tidak ada gangguan-gangguan diantara kepentingan individu satu dengan individu lain, maupun antar kelompok masyarakat. Dipandang dari sudut sosiologis, maka hukum mempunyai dua aspek yang berlainan, sekalipun keduanya berhubungan erat satu sama yang lain. Aspek yang satu, ialah sebagai sistem norma-norma dan aspek yang lain adalah sebagai sistem kontrol sosial (RS J.B.A.F. Maijor Polak Sosiologi suatu buku Pengantar Ringkas,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964),).
Soerjono Soekamto, membedakan dengan tepatnya suatu aspek ketiga, ialah sebagai Sosial engineering. Hukum, merupakan kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Itulah sifatnya sebagai suatu sistem norma-norma. Bilamana penguasa mengadakan pengkaidahan untuk menegaskan hukum telah ada, maka apa yang dilakukan adalah pengendalian sosial atau sosial kontrol, tetapi bila mana pemegang kekuasaan dan wibawa memelopori proses pengkaidahan tersebut, maka terjadilah proses sosial engineering.
Disini adalah hukum sebagai sosial kontrol. Sosial kontrol diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,SH.,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 22). Hukum bukanlah suatu sistem norma-norma yang kaku untuk selama-lamanya, melainkan pula suatu peninjauan kembali norma-norma dan penciptaan norma-norma baru yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang baru selalu berubah. Perubahan-perubahan ini yang akan menimbulkan hukum-hukum baru untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat agar tercipta kehidupan masyarakat yang stabil dan harmonis.
Hukum bersifat memaksa, dimana bagi siapa yang melanggar hukum dapat diadili di Pengadilan dan dapat dipenjarakan, dicabut hak-haknya, di kenakan denda dan sebagainya. Hal ini menjelaskan bahwa hukum suatu jenis kontrol sosial tertentu. Kejadian-kejadian tersebut akan membuat orang yang lain akan merasa takut untuk melanggar hukum. Dan tentunya akan menjadikan rasa adil bagi yang mentaati peraturan.
Erat kaitanya pengertian perilaku hukum, misal di beberapa jalan di DKI Jakarta ada aturan bahwa di jam-jam tertentu kendaraan roda empat harus berisi minimal 3 orang, misal ada sebuah kendaraan roda empat yang akan melewati jalan tersebut hanya berpenumpang satu dan sopir, sopir melihat ada Polisi lalu lintas, kemudian sebelum masuk di jalan tersebut di pengedara mobil mengambil joki dipinggir jalan untuk masuk di mobil sehingga mobil berisi 3 orang. Hal itu adalah contoh bentuk perilaku hukum, ada hukum yang berlaku dan ditaati bila ada penjaganya ( - Polisi).
B. Permasalahan
Bagaimana peran ilmu sosiologi hukum dalam upaya meningkatkan kesadaran hukum yang positif bagi warga masyarakat secara keseluruhan?

C. Hhukum Sebagai pengubah perilaku masyarakat
Indonesia adalah negara hukum, hukum bukan identik dengan undang-undang, hukum adalah untuk keadilan. Bagaimana hukum bisa memberi rasa adil bagi warganya. Sebagaimana diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam, pertama kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum dan kedua kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum. Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, yang merupakan sebagai tolok ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sanksinya. Peraturan hukum positif yang berlaku akan memaksa orang untuk mentaati, dan apabila ini dilanggar maka ada konsekuensinya.
Hukum itu ada juga karena dari masyarakat, diambil contoh peristiwa reformasi tahun 1998, tidak secara langsung mahasiswa telah menulis konstitusi untuk menurunkan orde baru Soeharto.

1. Pengertian Sosiologi Hukum
Pengertian Sosiologi Hukum dari definisi para ahli Sosiologi Hukum, antara lain :
a. Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum adalah suatu cabang Ilmu pengetahuan yang secara analistis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik anatara hukum dengan gejalan-gejala sosial lainya.
b. Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam kontek sosial.
c. R. Otje Salaman, Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalan-gejala sosial lainnya sacara empiris analistis. (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,SH.,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 1)
d. Sedangkan Sosiologi itu sendiri menurut De Saint Simon (1760-1825) Sosiologi itu mempelajari masyarakat dalam aksi-aksinya, dalam segala usaha kolektifnya, baik spiritual maupu material, yang mangatasi aksi-aksi para peserta individuil dan saling tembus-menembus (RS J.B.A.F. Maijor Polak Sosiologi suatu buku Pengantar Ringkas,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964), hal. 2).
Ruang lingkup Sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analistis dan disiplin hukum. Disiplin analistis contohnya sosiologis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang perilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan sistem dari pada hukum dan lain-lain.
Karakteristik kajian sosiologi hukum, adalah fenomena hukum dalam masyarakat dalam mewujudkan : deskripsi, penjelasan, pengungkapan dan prediksi.
2. Prilaku Sosial dalam Masyarakat
Perubahan perilaku sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan juga faktor ekonomi pelaku. Saat ini dijaman demokrasi yang sangat bebas, menimbulkan perubahan-perubahan besar, misal, setiap warga negara bebas untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan berbagai cara, di era sebelum reformasi, dimana demokrasi yang saat itu dibungkam dengan kekuatan kekuasaan, maka tidak dapat dengan bebas untuk melakukan penyampaian pendapat. Perubahan perilaku tersebut terwujud atas dorongan dari interaksi masyarakat yang sangat kuat untuk menginginkan adanya perubahan. Interaksi yang sangat kuat antar masyarakat dan lembaga-lembaga sosial pada waktu itu mencapai puncaknya dan melahirkan demokrasi yang sampai saat ini ada.
Perilaku individu dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dan melakukan saling berhubungan, kadang kala bekerjasama kadang juga saling bertentangan, pola perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang dan tidak dapat diramalkan. Hubungan tersebut pada saatnya menelorkan hukum, peraturan yang akan mengatur hubungan. Jadi hubungan atau interaksi yang dilakukan secara berulang-ulang yang tidak dapat diramalkan sebelumnya akan melahirkan peraturan.
Di DKI Jakarta mengenai peraturan lalu lintas misalnya, kemacetan kendaraan yang tiap hari terjadi di Jakarta, yang berdampak besar, misal, muncul kriminalitas, mudah emosi dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan lahirnya peraturan lalu lintas di tempat atau jalan-jalan tertentu yaitu kendaraan roda empat wajib perpenumpang lebih dari tiga orang.
Peraturan untuk mengatur perilaku masyarakat akan selalu lahir searah atau sejajar dengan pola perkembangan perilaku masyarakat itu sendiri. Di Jakarta penggunaaan kenadaraan roda empat (mobil pribadi) sangat tinggi, orang cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding menggunakan angkutan umum (masal). Hal ini dapat disebabkan banyak alasan, misal, Jarak rumah terlalu jauh dengan akses angkutan umum, alasan keamanan, alasan gaya hidup, alasan praktis, karena penerimtah menyediakan infrastruktur jalan dan lain sebagainya. Mungkin ini akan lain kejadianya apabila pemerintah tidak menyediakan infrastruktur jalan umum atau tol, misal pemerintah lebih menfokuskan penyediaan rel kereta, sehingga semua akses menggunakan kereta api, secara otomatis masyarakat kehilangan peluang untuk membeli mobil dan menggunakan angkutan kereta.
Banyaknya peraturan yang dibuat pemerintah dengan top down, mengakibatkan tidak berjalannya dengan baik peraturan tersebut, seharusnya peraturan dibuat secara batton up, apa yang terjadi dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di tuangkan dalam peraturan, hal ini akan lebih efektif. Salah satu contoh peraturan untuk menyalakan lampu di siang hari bagi kendaraan bermotor di Jakarta, peraturan ini tidak efektif berjalan, dan masih banyak peraturan yang dibuat pemerintah namun tidak berajalan dengan baik.

3.Kesadaran Hukum
Timbulnya hukum, hukum sebagai peraturan bagi hidup bersama sudah ditemukan pada bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purbakala, entah berdasarkan suatu perjanjian bersama entah berdasarkan kehendak seseorang yang berwibawa. Hukum itu kemudian disebut hukum rakyat, hukum kebiasaan atau hukum adat. Manusia adalah subyek hukum, bukan sebab ia berpautan dengan sekelompok orang lain berkat keturunan, warna kulit, agama dan sebagainya, melainkan hanya sebab ia manusia.
Praktek kehakiman oleh rakyat seringkali dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkara-perkara kongkrit secara rasional belaka, pandangan ini disebut Legalisme atau legisme, dalam pandangan legalisme itu undang-undang dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah itu sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena bersifaf rasional. (DR. Theo Uijbers, Filsafat Hukum, Cet. Ke-II, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 119).
Bagi “Ewick dan Silbey”, kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan ‘Hukum sebagai perilaku”, bukan “hukum sebagai aturan, norma, atau asas” (Prof.DR.Achamad Ali,SH.,M.H Menguak Teori Hukum dan Tepri Peradilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hal. 298). Kesadaran hukum erat kaitannya dengan ketaatan hukum dan efektivitas hukum, ketinganya unsur yang saling berhubungan. Kesadaran hukum berbeda dengan ketaatan hukum, kesadaran hukum adalah kesadaran yang lair secara alamiah, ada aturan maupun tidak baginya perilaku yang di anggap tidak baik makan tidak akan dilakukan. Menurut Krabble kesadarn hukum sebenarnya merupakan kesadaran nilai yang terdapat didalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat, belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan mentaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan. Kesadaran bahwa mencuri itu salah atau jahat, belum tentu menyebabkan orang itu tidak melakukan pencurian, jika pada saat dimana ada tuntutan mendesak, misalnya, kalau dia tidak mencuri, maka anak satu-satunya yang sedang sakin keras akan meninggal, karena tida ada biaya pengobatan. Contoh lain yang lebih dijelas adalah apa yang telah saya paparkan diatas, dimana pengendara mobil hanya akan menaati bila ada polisi. Ini sangatlah jelas untuk menjelaskan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum. Bahwa kesadaran hukum dan ketaatan hukum akan sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan didalam masyarakat.
Kesadaran hukum tidak selalu baik, kesadaran hukum yang buruk juga ada, kesadaran hukum yang buruk adalah jika seseorang yang semakin memiliki pengetahuan hukum mengetahui kemungkinan menggunakan proses banding dan kasasi, meskipun ia sebenarnya sudah tahu bawah dirinya berada dipihak yang salah. Kesadaran hukum yang buruk ini, menjadikan salah satu penyebab semakin menumpuknya perkara di Mahakamah Agung Republik Indonesia. Dalam kesadaran hukum, gagasan dan tindakan menginformasikan satu sama lain dengan suatu kedekatan yang mengalahkan setiap upaya untuk memisahkan keduanya. Dan kesadaran itu bukanya hanya merupakan milik para “lawyer”, tetapi juga milik warga negara yang menghadap institusi-institusi hukum dan peroses-proses hukum.

4.Hukum dan Perubahan Sosial
Hukum adalah perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dubuat oleh pemerintah, melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagi peraturan tertulis seperti berturut-turut : Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu), Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah (Perda). Peraturan perundang-undangan adalah produk politik, kadang peraturan yang bersifat pelaksana dari undang-undang lahir karena dipaksakan, hal ini terjadi misal beberapa kali program 100 hari presiden, yang beberapa departemen menargetkan kerja 100 hari adalah pembuatan Kepres maupun Peraturan Pemerintah.
Peraturan-peraturan hukum beserta akibat-akibatnya bagi manusia dalam masyarakat, adalah menjadi pokok peninjauan dalam mempelajari hukum. Hukum yang terjadi didalam masyarakat manusia, mengatur perhubungan-perhubungan yang tak terbilang jumlahnya yakni perhubungan-perhubungan anatara manusia-manusia didalam pergaulan hidup mereka. Perhubungan-perhubungan ini ada yang muncul dari keturunan, kekeluargaan, perkawinan, tempat kediaman, kebangsaan, ada pula yang timbul sebagai akibat dari pergaulan hidup antara orang-orang bila terjadi jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Perhubungan antara manusia didalam masyarakat, sekedar yang diatur oleh hukum, dinamakan hubungan hukum (Mudjiono,SH, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-2 (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal. 12).
Menurut Max Weber, Ia mengatakan bahwa “perkembangan hukum materil dan hukum acara, mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan dibidang hukum”. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional. ( diakses pada tanggal 1 Pebruari 2010).
Menurut Emile Durkheim, pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukum merupakan refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks. ( diakses pada tanggal 1 Pebruari 2010).
Hukum tidak dapat diciptakan atas dasar kehendak pribadi atau golongan etile atau penguasa, jika hukum tersebut hendak diterapkan secara konsekuen dan efektif. Hukum lazimnya di ciptakan atas dasar pemikiraan-pemikiran kearah mana suatu masyarakat berkembang. Perlu diketahui bahwa kecenderungan perubahan hukum senantiasa menantikan dan tergantung pada perubahan yang terjadi pada tubuh masyarakat; lagi pula masyarakat tidak ubahnya seperti sistem yang dinamik yang secara terus menerus mengalami perubahan-perubahan. Sementara itu hukum dibentuk atau diciptakan sebagai alat pengendali yang relatif statis, inilah sebabnya maka perkembangan hukum selalu nampak tertinggal dari perubahan masyarakat, jika tidak keberadaan hukum yang dibuat atas dasar kehendak penguasa tadi tidak akan bermanfaat, bahkan dapat meresahkan masyarakat.
Perubahan sosial juga terjadi karena pertumbuhan penduduk, di Indonesia laju pertumbuhan penduduk sangat cepat, dan pemerataannya pun tidak berimbang. Pulau Jawa menjadi pulau terpadat, sedangkan lahan untuk peluang ekonomi sangat terbatas. Perubahan sosial juga terjadi karena faktor luar. Perdagangan bebas Asean dan Cina yang dimulai tahun 2010 akan menimbulkan perubahan-perubahan sosial.

D. Penutup
Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analistis dan impiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya. Peraturan perundang-undangan di undangkan dan setelah di tulis dalam lembaran negara, setiap warga negara di anggap tahu. Yang pada selanjutnya, sangat rendah departemen dan kementerian terkait terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dalam mensosialisasikan adanya peraturan baru tersebut. Hal ini yang menimbulkan ketidaktahuan masyarakat terhadap adanya aturan hukum tersebut. Warga masyarakat dirugikan. Ini adalah bentuk-bentuk proses yang bersifat top down, dan tanpa keterlibatan masyarakat peraturan tersebut akan sulit dijalankan, dan pada akhirnya peraturan tersebut hanya ada keberadaannya. Lahirnya peraturan sebaiknya muncul dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat, sehingga akan berjalan selaras dengan kemauan masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap suatu peraturan di Indonesia sangat kurang, terbukti banyak peraturan yang telah di undangkan banyak yang tidak berjalan dengan baik. Keinginan masyarakat untuk sadar terhadap hukum cukup besar, namun hal ini terganjal dengan kurang adanya perhatian dari pemerintah untuk mengakomodir. Sampai sekarang semua peraturan yang ada sangat ideal dan semua baik. Adanya peraturan juga kadang karena tekanan dan paksaan dari asing. Hal ini bisa dari hasil-hasil kesepakatan international. Contohnya adalah undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual, lingkungan hidup, investasi dan seterusnya. Undang-undang ini kurang berjalan dengan baik, dikarenakan adanya undang-undang ini karena dipaksakan dan tidak sesuai dengan status dan struktur serta budaya masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cet Ke 4, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Polak, Maijor. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964.
Uijbers, Theo. Filsafat Hukum. Cet. Ke-II. Yogyakarta: Kanisius,2005.
Mudjiono. Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet. Ke-II. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Ali, Achamad. Menguak Teori Hukum dan Tepri Peradilan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.

2. Internet

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Sidiq, 7109180
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

A. Pendahuluan
Perubahan perilaku sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan juga faktor ekonomi pelaku. Saat ini dijaman demokrasi yang sangat gencar, menimbulkan perubahan-perubahan besar, misal, setiap warga negara bebas untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan berbagai cara, di era sebelum reformasi, dimana demokrasi yang saat itu dibungkam dengan kekuatan kekuasaan, maka tidak dapat dengan bebas untuk melakukan penyampaian pendapat. Perubahan perilaku tersebut terwujud atas dorongan dari interaksi masyarakat yang sangat kuat untuk menginginkan adanya perubahan. Interaksi yang sangat kuat antar masyarakat dan lembaga-lembaga sosial pada waktu itu mencapai puncaknya dan melahirkan demokrasi yang sampai saat ini ada.
Perilaku individu dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai kepantingan-kepentingan yang berbeda-beda dan melakukan saling berhubungan, kadang kala bekerjasama kadang juga saling bertentangan, pola perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang dan tidak dapat diramalkan. Hubungan tersebut pada saatnya menelorkan hukum, peraturan yang akan mengatur hubungan. Jadi hubungan atau interaksi yang dilakukan secara berulang-ulang yang tidak dapat diramalkan sebelumnya akan melahirkan peraturan.
Di DKI Jakarta mengenai peraturan lalu lintas, kemacetan kendaraan yang tiap hari terjadi di Jakarta, yang berdampak besar, misal, muncul kriminalitas, mudah emosi dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan lahirnya peraturan lalu lintas di tempat atau jalan-jalan tertentu yaitu kendaraan roda empat wajib perpenumpang lebih dari tiga orang.
Peraturan untuk mengatur perilaku masyarakat akan selalu lahir searah atau sejajar dengan pola perkembangan perilaku masyarakat itu sendiri. Di Jakarta penggunaaan kenadaraan roda empat (mobil pribadi) sangat tinggi, orang cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding menggunakan angkutan umum (masal). Hal ini dapat disebabkan banyak alasan, misal, Jarak rumah terlalu jauh dengan akses angkutan umum, alasan keamanan, alasan gaya hidup, alasan praktis dan lain sebagainya. Sosiologi hukum menurut Soejono Soekamto adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analistis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gajala-gejala sosial lainnya.

B. Permasalahan
Permasalahan yang dirasa perlu dibahas adalah, bagaimana apabila perilaku sosial dalam masyarakat itu didorong dan dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) artinya perilaku yang terjadi adalah tidak murni, apakah ini akan menjadi pola perilaku yang menimbulkan hukum?

C. Pembahasan
Untuk mencapai ambisi kekuasaan kadang-kadang seseroang harus dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum. Misalkan menciptakan kegaduhan-kegaduhan mendorong masyarakat tidak sadar terlibat, untuk menggulingkan kekuasaan. Menciptakan konflik dalam masyarakat untuk kepentingan kekuasaan yang saat ini banyak terjadi (dalam hal ini sulit untuk dibuktikan), biasanya terjadi saat-saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Untuk membangun masyarakat yang cerdas tidaklah gampang, konflik di Sampit, Ambon, Papua dan daerah lainnya adalah bukti bahwa tingkat kecerdasan masyarakat untuk memahami hidup sangat kurang. Yang pada akhirnya dengan sedikit dorongan dari luar, mengakibatkan konflik kekerasan antar kelompok-kelompok dalam masyarakat tersebut. Walapun ini tidak terjadi secara berulang-ulang di seluruh masyarakat Indonesia, namun di daerah-daerah tertentu, penyelesaian permasalahan atar kelompok masyarakat dengan kekerasan masih menjadi tradisi.
Pola perilaku masyarakat yang demikian dapat dicegah dengan peraturan dan pengatur nya, antara hukum dan penegak hukumnya. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di kontrol oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa. Dalam masyarakat yang sadar akan adanya peraturan/hukum maka masyarakat akan sadar hak dan kewajibanya. Kesadaran hukum menjadi sangat penting di dalam masyarakat, perilaku masing-masing individu akan diatur oleh hukum yang ada.
Masyarkat cerdas adalah masyarakat yang sadar hukum, yang tahu akan hak dan kewajibanya. Tanpa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar masyarakat mampu untuk menyelesaikan permasalahan individu maupun kelompok.

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Alfiah Yuliastuti, S2 Hukum UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

A. Latar Belakang

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk memngembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara – perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alas an dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim.
Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.
Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.
3. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4. Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan diajukan dengan perumusan masalah sebagai berikut;
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara?
2. Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur rasa keadilan bagi masyarakat?
C. TUJUAN MASALAH
Bedasarkan permasalahan di atas, tujuan pembuatan makalah ini adalah;
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
D. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Luaran yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah;
1. Mampu memberikan perhatian kepada para hakim dalam mengeluarkan suatu putusan harus selalu berlandaskan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat
E. PEMBAHASAN
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsure-unsur tersebut.
Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsure yuridis (kepastian hukum) dengan unsure filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memerisa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.
D. Kesimpulan

Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kebebasan Hakim terutama di Indonesia hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara namun yang penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.

TINDAK PIDANA TERHADAP DUGAAN KORUPSI DI DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

TINDAK PIDANA TERHADAP DUGAAN KORUPSI
DI DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Priyono Anggraito

Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Penulisan
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial, mempunyai hasrat untuk senantiasa berhubungan dengan manusia lain, hasrat tersebut sebenarnya merupakan suatu naluri yang kemudian terwujud di dalam proses interaksi sosial dan merupakan satu hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia, hubungan antar kelompok dengan kelompok manusia yang lain.
Berbicara tentang hukum maka sebetulnya tersimpul pembicaraan mengenai keserasian antara kepastian dengan keadilan. Akan tetapi dalam hal membicarakan masalah kepastian hukum kadang kurang dimengerti maknanya, kepastian hukum tidaklah identik dengan kelakukan hukum. Perwujudan bukanlah dalam aturan-aturan hukum yang sama sekali tidak akan dapat dirubah walaupun masyarakat telah berkembang.
Kepastian hukum seyogyanya terwujud didalam kepastian mengenai hak-hak dan kewajiban hukum warga masyarakat dan tentunya di dalam prosedur pelaksanaannya, ini berarti suatu sinkronisasi daripada peraturan hukum yang menyangkut berbagai bidang kehidupan dan juga mengenai keputusan-keputusan. 1
Apabila berbicara mengenai hukum maka sebetulnya tersimpul pembicaraan mengenai keselarasan antara kepastian dengan keadilan, akan tetapi dalam hal ini membicarakan soal kepastian hukum yang

kadang-kadang kurang dimengerti maknanya. Kepastian hukum tidaklah identik dengan kelakukan hukum atau kepastian hukum perwujudan bukanlah dengan aturan-aturan hukum yang sama sekali tidak akan dapat dirubah walaupun masyarakat telah berkembang.
Hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-perilaku tersebut, sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakan dari aturan-aturan yang bersifat normative yaitu adanya mekanisme control yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan social, dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpan dan juga digunakan untuk menakut-nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan-aturan social yang sudah ditentukan.
Sehubungan dengan itu hukum yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum yang tidak terorganisasi dan hukum yang terorganisasi dapat dikenal tiga macam cara yang berbeda : mendahului, ad hoc, dan segera. Dalam hukum positif berdasarkan fakta-fakta normative yang menjaminny dank arena dikenal oleh tiga prosedur, dengan demikian dua segi klasifikasi bersilang dan
menuju kepada pengenalan enam macam tingkatan kedalaman didalam suatu jenis hukum yaitu :
1. Hukum terorganisasi yang ditentukan lebih dahulu,
2. Hukum terorganisasi dengan luwes,
3. Hukum intitutif yang terorganisasi,
4. Hukum yang tak terorganisasi yang ditentukan lebih dahulu,
5. Hukum tak terorganisasi yang lebih luwes dan,
6. Hukum tak terorganisasi intitutif.
Dengan menganalisis secara tersendiri kedua segi mikrososiologi yang berkenaan dengan kedalaman dan kemudia terus membandingkan yang satu dengan yang lainnya, dan keduanya dengan jenis hukum yang tadinya dibedakan berkenaan dengan bentuk kemasyarakatan.
Semua hukum yang terorganisasi selalu diletakkan diatas hukum yang ada dibawahnya, dan semua hukum yang tak terorganisasi selalu cenderung untuk menutupi dirinya dengan kulit hukum terorganisasi yang lebih mantap dank eras. Namun antara kedua lapisan kenyataan hukumini tetap ada tegangan terus menerus yang tingkat kehebatannya selalu berubah. Ketegangan ini timbul karena hukum yang terorganisasi secara keseluruhan tidak dapat menyatakan hukum yang tak terorganisasi, yang isinya lebih dinamis dan lebih kaya. Hukum yang tak terorganisasi dapat hidup tanpa kulit hukum yang terorganisasi, sedangkan sebaliknya tidak mungkin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan timbal balik antara hukum dengan dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM di lihat dari aspek Sosiologi Hukum ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakkan hukum dilihat dari aspek sosiologi hukum?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana hubungan timbal balik antara hukum dengan dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM di lihat dari aspek Sosiologi Hukum.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum dilihat dari aspek sosiologi hukum.

D. Kerangka Teori dan Konsep
Dalam penulisan ini penulis mengambil beberapa pendapat dan teori dari beberapa pakar yang berhubungan dengan masalah yang penulis kemukakan.
Menurut pendapat Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. 3
Jadi menurut pendapat tersebut di atas bahwa sosiologi hukum itu yang merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan dari ilmu-ilmu yang lainnya dan secara analitis dan empiris.
Sedangkan menurut pendapat Satjipto Rahardjo bahwa Sosiologi Hukum (Sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Tindak pidana terhadap dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum.
Tindak pidana korupsi sering dipandang sebagai penyakit sosial, mengingat bahwa akibat korupsi ini sangat merugikan masyarakat dan negara, sebagai penyakit sosial, permasalahannya sejajar pula dengan penyakit sosial lainnya, seperti perjudian, prostitusi, narkoba, serta kriminalitas.
Manusia dikenal sebagai makhluk yang bermasyarakat, dan di dalam kehidupan yang berkelompok inilah gejala sosial yang dikenal dengan nama korupsi timbul dan hidup, kadang-kadang dengan suburnya dan ada kalanya hilang dari perhatiann sehari-hari.
Sebagai gejala sosial, maka korupsi merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memiliki kaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia seperti politik, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya.
Bagi Negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya, termasuk Indonesia, digambarkan seolah-olah korupsi sebagai penyakit social yang menyebar luas berada dimana-mana, sehingga timbul berbagai anggapan telah membudaya keterpurukan Negara Indonesia dialami dari
berbagai segi sudut pandang, diantaranya rendahnya moral para aparat
penegak hukum, menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang ada untuk memperkaya diri sendiri atau golongan tertentu.
Dalam pembuatan makalah pada mata kuliah sosiologi hukum pada Universitas Islam Jakarta, penulis dalam uraian singkat ini mencoba untuk memberikan pemahaman, dan pengertian dari tindak pidana terhadap dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM di lihat dari aspek Sosiologi Hukum.
Dugaan korupsi yang terjadi di Depatemen Hukum dan HAM yang terjadi beberapa waktu yang lalu dikarenakan adanya aliran dana Sistem Administrasi Badan Hukum di Koperasi Pengayoman Departemen Hukum dan HAM, ada yang mengucur ke Jaksa, para guru besar UI, dan istri pejabat, seperti dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy, menurutnya dana dikucurkan saat meraka di undang rapat di Departemen Hukum dan HAM (Dahulu Departemen Kehakiman), misalnya untuk rapat penggodokan peraturan, mereka di kasih uang transportasi atau uang makalah.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus mengatakan, bahwa uang tersebut seharusnya diambil dari Anggaran Pandapatan dan Belanja Negara, karena itu adalah rapat resmi, kenapa uangnya diambil dari Koperasi, dana mengucur satu hingga dua kali.
Kejaksaan tengah mengusut kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kasus ini ditetapkan tiga orang sebagai tersangka, mereka adalah bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita dan Zulkarnain Yunus, serta Direktur Jenderal AHU saat ini Syamsuddin Manan Sinaga.


Kasus yang diduga merugikan Negara lebih dari Rp. 400 miliar ini bermula ketika Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum menerapkan system pelayanan permohonan pemesanan nama perusahaan, pendirian dan perubahan badan hukum dari notaris melalui situs http://www.sisminbakum.com pada 2002. Menurut Kejaksaan, dalam sebulan Direktorat bisa meraup duit Rp. 9 miliar dari system pelayanan permohonan tersebut.
Namun, uang tersebut tidak masuk ke rekening kas Negara, melainkan masuk ke rekening PT. Sarana Rekatama Dinamika, penyedia jasa aplikasi system administrasi badan hukum dan pihak Direktorat , perinciannya 90 persen mengalir ke PT Sarana, 4 persen mengalir ke rekening Koperasi Pengayoman (Koperasi di Direktorat) dan sisanya 6 persen masuk saku pejabat Direktorat.
Jampidsus memastikan uang Koperasi itu berasal dari biaya akses yang dipungut terhadap notaris sejak tahun 2001, kejaksaan tengah melacak kemungkinan adanya aliran dana dari PT Sarana ke bekas pejabat dan pejabat Kejaksaan sendiri telah memblokir rekening perusahaan, kejaksaan juga akan memanggil semua pihak yang menerima dana tersebut.
Sudah sangat banyak yang membicarakan korupsi. Dari mereka yang ahli dalam bidang hukum hingga mereka yang hanya tahu bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak terpuji. Tidak ada habisnya kita membicarakan korupsi. Tak pelak Mochtar Lubis menyebutkan dalam bukunya Bunga Rampai Korupsi, bahwa kini lahir korupsi berwajah banyak.
Gejala korupsi tentu ada di setiap waktu, bahkan tempatnya menjadi pasti ada saat definisi korupsi tidak sebatas dari mencuri hak orang lain. Dikatakan pasti ada karena di setiap waktu dan negara ada saja hal-hal yang kita anggap bukan sebagai tindakan korupsi, tetapi setelah diteliti dalam tindakan tersbut merupakan bagian dari praktik korupsi, berupa tingkah laku.
Kembali kepada ungkapan yang disampaikan oleh Mochtar Lubis bahwa kini telah merajalela korupsi dengan wajah banyak, “wajah banyak” menjunjukkan bahwa praktek korupsi tidak lagi dilakukan dengan bentuk dan cara yang sama, tetapi sudah melahirkan variasi. Kini dilemanyapun korupsi tidak lagi menjadi permainan segelintir orang yan berinteraksi dengan perputaran uang yang nilainya sangat besar. Namun telah dilakukan oleh mereka yang pada ruang lingkup yang jauh dari perputaran uang. Orang-orang ini biasanya hanyalah mereka yang mempunyai permasalahan ekonomi sehingga mereka tidak menyadari perbuatan yang dilakukannya termasuk korupsi.
Dilihat dari aspek Sosiologis, korupsi ditelurkan dari ruang lingkup kehidupan, yang paling pokok adalah masyarakat. Masyarakat adalah kesatuan hidup ,manusia yang berinteraksi menurut suatu system adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terkait oleh suatu rasa identitas bersama. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat kerumunan (masyarakat di dalam masyarakat) yang dapat dipergunakan untuk maksud-maksud dan tujuan yang positif maupun negative. Kemudian sesuatu yang diterima dari lingkungannya berada (kerumunan) melahirkan sebuah perilaku yang dianut oleh pelaku yaitu individu setiap manusia. Dari

pelaku inilah kemudian lahir sebuah perilaku. Perilaku yang terlahir dari lingkungan ltulah yang dinamakan korupsi.
Dilihat dari aspek sosiologi hukum, dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, terjadi karena perilaku yang dilakukan oleh seseorang dan kemudian berkembang menjadi banyak orang, yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah hilang sesaat lalu muncul kembali, secara syarat sebenarnya tidak usah malu-malu untuk menyebut korupsi karena masyarakat sebagai bagian dari ruang lingkup luas dalam sosiologi hukum telah menelurkan dan menetaskan korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai budaya.

B. Fungsi hukum dalam menyelesaikan dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dilihat dari aspek sosiologi hukum.
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari berberapa sudut pandang, sebagaimana disebutkan dalam mata kuliah Sosiologi Hukum pada Bab 3 basis sosial hukum serta hukum dan kekuatan-kekuatan sosial huruf E, 5 penulis berpendapat bahwa Tindak pidana terhadap dugaan korupsi di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum masuk dalam pembahasan ini,
Dari kelima sudut pandang dari fungsi hukum tersebut, penulis membatasi dengan tiga fungsi hukum yaitu :
1. Fungsi Hukum sebagai Sosial Kontrol.
Bahwa Tindak pidana terhadap dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dilihat dari fungsi hukum sebagai Sosial Kontrol, yaitu tingkah laku atau perilaku yang menyimpang dari oknum yang melanggar hukum yaitu tindakan memperkaya diri sendiri atau golongan, dengan mempergunakan keuangan yang bukan haknya adalah perbuatan yang melanggar hukum, sebagai alat pengendali sosial, hukum berfungsi untuk menetapkan tingkah laku tidak baik atau perilaku menyimpang dari hukum, dan sanksi hukum tersebut akan dijatuhkan terhadap si pelanggar hukum tersebut.
Bahwa kasus hukum dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dilihat dari fungsi hukum sebagai social control dapat terlihat saat uang korupsi yang dipungut terhadap notaries sejak tahun 2001, seharusnya uang tersebut masuk ke kas Negara, akan tetapi uang tersebut masuk ke rekening PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD), provider penyedia jasa aplikasi sistem administrasi badan hukum, dan pihak Direktorat, dengan perincian sebagai berikut : 90 persen mengalir ke PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD), 4 persen mengalir ke rekening Koperasi Pengayoman (koperasi di Direktorat), dan sisanya 6 persen masuk saku pejabat Direktorat.
Dengan kejadian tersebut maka timbul gejolak permasalahan di kemudian hari, sebagai akibat dari tidak dipatuhinya hukum, dalam hal ini hukum sebagai kontrol sosial mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu akibat tidak dipatuhinya hukum, maka mengakibatkan adanya hukuman bagi pelaku pelanggar hukum.

Dari uraian tersebut, tampak bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari kontrol sosial terhadap penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi dalam masyarakat adaalah pranata hukum berfungsi bersama pranata lainnya dalam melakukan pengendalian social. Oleh karena itu terlaksananya atau tidak terlaksananya fungsi hukum sebagai alat pengendalian social amat ditentukan oleh factor aturan hukum dan factor pelaksana hukum

2. Fungsi Hukum sebagai Simbol
Fungsi hukum sebagai simbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga masyarakat tentang hukum, sebagai contoh dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak asasi Manusia yaitu adanya seseorang yang mengambil, memiliki, untuk memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum, oleh hukum pidana disimbulkan sebagai tindak pidana korupsi, karena itu symbol korupsi, berarti orang itu berperilaku menyimpang dalam bentuk korupsi.

3. Fungsi Hukum sebagai Alat Integrasi
Dugaan korupsi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia disebabkan karena adanya kepentingan dari pengelola koperasi yang ada di dalam lingkungan tersebut. Diantara kepentingan itu ada yang sesuai dengan kepentingan lain dan ada juga yang tidak sesuai sehingga menyulut konflik dengan kepentingan lain. Oleh karena itu, hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal,
sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.
Dari uraian tersebut di atas, dapat diketahui manfaat kajian sosiologi hukum terhadap bekerjanya hukum di dalam masyarakat sehingga ditemukan fungsi-fungsi hukum dalam mengatur warga masyarakat dalam berinteraksi antara seorang / kelompok dengan orang / kelompok lain

C. Faktor-foktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam masyarakat dilihat dari aspek sosiologi hukum
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, sehingga ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan inovatisme.
Dalam penegakan hukum pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan umpamanya, perlu penyelesaian antara nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, sebab nilai ketertiban bertitik tolak pada keterkaitan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan.
Penegakkan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsure penilaian pribadi. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian.
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi apabila ada ketidak serasian antara tritunggal, yaitu nilai, kaidah dan pola perilaku gangguan terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah seperti pengertian “Law Enforcement” begitu popular selain dari itu maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut mengganggu didalam pergaulan hidup.
Menurut Prof. Dr. Zainuddin Ali M.A. yang mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat adalah :
1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri
2. Petugas atau penegak hukum
3. Sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum ; dan
4. Kesadaran masyarakat;
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto bahwa penegakkan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada lima factor sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri yaitu perundang-undangan
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum,
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau diciptakan.
5. Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan dengan erat, oleh karena itu merupakan esensi dari penegakkan hukum. Serta merupakan tolok ukur dari efektivitas.
Secara sosiologis, maka setiap penegakan hukum tersebut mempunyai kedudukan / status dan peranan kedudukan sosial merupakan posisi tertentu di dalam struktur masyarakat. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang merupakan peranan yang sangat penting. Oleh karena itu maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.
Penegakkan hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat, mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu maka golongan panutan harus dapat bermanfaat unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan masyarakat luas.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau, fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum, tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut tidak mungkin penegakkan hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan aktual khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut sebagian dianut jalan fikiran sebagai berikut : menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto yang tidak ada diadakan yang baru betul, yang yang rusak atau salah diperbaiki atau dibetulkan, yang kurang ditambah, yang macet dilancarkan, yang mundur atau dibetulkan, yang kurang ditambah, yang macet dilancarkan, yang mundur atau merosot dimajukan atau ditingkatkan baru penegak hukum itu akan berjalan dengan baik dan benar.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis dalam penulisan makalah ini dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
Dugaan korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan Hak Asazi Manusia terjadi karena perilaku seseorang yang menyimpang dari yang semestinya berjalan dengan baik menjadi berjalan tidak baik didalam komunitas sosialnya, sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak lain dalam hal ini adalah Negara. Hukum mempunyai peranan yang sangat penting, oleh karena itu hukum dapat mempengaruhi perilaku masyarakat, karena hukum merupakan aturan-aturan yang harus ditaati oleh masyarakat, yang apabila aturan-aturan itu dilanggar akan mendapatkan sangsi yang tegas dan nyata.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka penulis memberikan saran-saran yang sifatnya membangun, adapun saran-saran tersebut adalah :
1. Diharapkan hukum dapat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat sekitar, apabila hukum sudah ditaati oleh masyarakat, maka akan terwujud suatu penegakkan hukum yang baik.
2. Dalam Penegakkan hukum harus mempengaruhi kehidupan dalam masyarakat dan sekurang-kurangnya dalam penerapan penegakkan hukum terhadap masyarakat harus memenuhi beberapa faktor,


diantaranya faktor hukumnya itu sendiri, factor sarananya harus lengkap, faktor peraturannya harus baik dan yang terpenting ditaati oleh masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Palu: Sinar Grafika,2005
__________________, Sosiologi Hukum, Palu:Cetak ketiga. Yayasan Masyarakat Indonesia Baru, 2004
Soekanto, Soerjono , Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1982
________________, Mengenal Sosiologi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989
________________, Penegakan hukum dan kesadaran hukum, Makalah pada seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta: 1979.
____________, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakkan Hukum. Jakarta: Radjawali,1983.
Mertodipuro, Sumantri , Sosiologi Hukum. Jakarta : Bhratara, 1988.
Rahardjo,Satjipto , Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 1982
Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Renungan tentang Filsafat Hukum Jakarta;Radjawali, 1983

KORELASI KORUPSI POLITIK DENGAN HUKUM PEMERINTAHAN SEBAGAI TINDAK KRIMINALITAS SOSIAL

KORELASI KORUPSI POLITIK DENGAN HUKUM PEMERINTAHAN SEBAGAI TINDAK KRIMINALITAS SOSIAL
Oleh: Rais Ali Damang NPM : 71 09 195, S2 Hukum, UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Memulai pembicaraan tentang sosiologi, ada beberapa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama harus di pahami, bahwa sosiologi adalah merupakan pengetahuan ilmu ( Scientific knowledge ) yang masih muda usianya. Kedua bidang ilmu ini adalah merupakan disiplin akademis yang mandiri.
Sosiologi berusia kurang lebih dari 200 tahu. Istilah ”Sosiologi” untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Auguste Comte dan karenanya pula beliau sering dipandang sebagai bapak dari disiplin ilmu ini.
Semula Comte ingin melihat dan menemukan hukum-hukum alam yang mengatur gejala-gejala sosial. Karya utamanya yang berjudul ” The Course of Positive Philosophy” yang diterbitkan antara tahun 1830 dan tahun 1842 mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah (Doyle Paul Johnson di Indonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, 1986 : 13). Metode itu pada akhirnya diterapkan untuk menemukan dan menjelaskan hukum-hukum alam yang mengatur fenomena-fenomena sosial..
Awal mulanya orang-orang yang meninjau masyarakat hanya terpaut pada masalah-masalah yang menarik perhatian umum seperti kejahatan, perang, kekuasaan golongan yang berkuasa, keagamaan, dan lain sebagainya.dari pemikiran serta penilaian yang demikian itu orang kemudian meningkat pada (filsafat kemasyarakatan) di mana orang-orang menguraikan harapan-harapan tentang susunan serta kehidupan masyarakat yang diinginkannya. Dengan demikian timbullah perumusan kaedah-kaedah yang seharusnya ditaati oleh setiap manusia lain dalam suatu masyarakat, kaedah-kaedah mana dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan yang bahagia bagi semua manusia selama hidupnya di dunia ini ( Soerjono Soekanto 1981 : 13 )
Dengan meletakkan fakta sosial sebagai sasaran yang harus dipelajari oleh sosiologi, ini berarti sekaligus menempatkan sosiologi sebagai suatu disiplin yang bersifat emperis dan berdiri sendiri terlepas dari pengaruh filsafat.
B. MASALAH
Apa sesungguhnya yang melatar belakangi timbulnya berbagai problem di masyarakat ?
C. TUJUAN
Dalam tulisan makalah ini adalah bertujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman apa sebenarnya yang terkandung dari hakikat sosiologi hukum itu. Hal ini akan memberikan suatu analogi pemikiran rasional kepada pembaca, bahwa ilmu sosiologi hukum itu adalah merupakan suatu ilmu baru yang berkeinginan untuk dianalisis secara emperis, ontologis, epistemologis, aksioma dalam kerangka ilmu pengetahuan dan teknologi.
D. KEGUNAAN / KONTRIBUSI
Serangkaian manfaat atau kegunaan yang dikandung oleh penulisan makalah ini dapat dilihat dari dua sisi yakni manfaat internal dan eksternal.
Manfaat internal dimaksudkan sebagai manfaat langsung yang dapat dipetik oleh penulis itu sendiri. Hal ini berwujud dalam bentuk :
1. Kepuasan tersendir sebagai mahasiswa memperoleh ilmu dari Dosen pengampu matakuliah Sosiologi Hukum yang sangat penting untuk diketahui
2. Kepuasan memperoleh kesempatan menuangkan pengetahuan ilmiah.
Adapun manfaat eksternal dimaksudkan sebagai manfaat yang dituangkan secara umum yang sifatnya dapat dipetik oleh semua pihak. Dalam hal ini adalah pengungkapan fakta dalam konteks hukum sebagai suatu alat kontrol sosial masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
Seandainya kita membahas masalah-masalah sosiologi hukum diferensiasi sosial melalui sudut mikrofisika kepada sudut pandang makrofisika sebagai kenyataan hukum. Di satu bagiannya ini lah terdapat ruang lingkup tipologi hukum kelompok-kelompok khusus ( the jural typologi of particular groups ) dan pada bagian lainnya ruang lingkup keseluruhan tipologi hukum masyarakat yang menyeluruh. Tipe-tipe kenyataan hukum yang sesuai dengannya pada saat sekarang bukanlah jenis-jenis hukum ( kaids of law ) melainkan kerangka-kerangka hukum, tata tertib hukum ( bagi pengelompokkan khusus ) dan sistem-sistem hukum ( bagi masyarakat-masyarakat yang menyeluruh ) ( catatan penerjemahan, inklusif kami artikan menyeluruh ) kerangka-kerangka hukum dan sistem-sisrem hukum ini sebagaimana yang tyelah diperlijhatkannya, merupakan suatu mikrimos jenis-jenis hukum.
A. Klasifikasi Pengolompokkan Sosial
Sebagaimana sosiologi hukum sistematis mengawali dengan mengklasifikasian bentuk-bentuk masyarakat, dan sosiologi hukum diferensiasi sosial dengan mengolompokkan satuan-satuan sosial yang nyata, sebagaimana kenyataan hukum itu dipelajari nantinya berdasarkan fungsinya. Setiap kelompok adalah merupakan sintesa keseimbangan dari bentuk kemasyarakatan, kesatuan yang sementara itu yang sementara itu diintegrasikan kedalam keseluruhan yang lebih luas dari masyarakat yang menyeluruh. Apakah yang memberi corak khusus pada kelompok-kelompok hukum ialah unsur sintesis yang bersifat menyatukan, tetapi tidak bersifat total. Tenaga-tenaga sentripetal ( mengarah ke pusat ) lebih berkuasa dari tenaga-tenaga sentrifugal ( lari dari pusat ) kesatuan akal budi kelompok lebih berkuasa dari pada masyarakat majemuk (pluraliti) dari bentuk-bentuk kemasyarakatan yang diintegrasikan. Kelompok-kelompok khusus merupakan unsur-unsur pokok dari setiap masyarakat yang menyeluruh dan yang terakhir ini memberi corak kesejahtraan. Tipe-tipe kelompok adalah lebih kongkrit, lebih berpengaruh oleh perubahan-perubahan kesejahtraan dan geografis daripada bentuk-bentuk kemasyarakatan dan itulah sebabnya maka klasifikasi ini ialah lebih sukar dan lebih mustahil dari pada mengklasifikasi unsur-unsurnya.
B. Budaya Korupsi Sebagai Kelompok Sosial
Budaya baru ini yang bernama Korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama maupun hukum negara ini. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan atas sudah sama-sama maklum dan tidak keberatan jika melakukan korupsi, atau menemukan orang lain melakukan korupsi. SST : Sama-Sama Tahu adalah istilah keren untuk perbuatan yang tidak menyakiti kawan jika melakukan korupsi. Tapi naudzubillah Mindzalik, sekarang korupsi sudah juga mengikut kayak rutinitas sholat. yakni Korupsi berjemaah. Entah siapa yang memulai ini pertama kali, tapi sekarang fenomena korupsi berjemaah menjadi sangat memprihatinkan dan dilakukan hampir semua sektor dan melibatkan semua kalangan.
Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan Sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa memperdulikan bahwa dengan tindakan-tindakannya akan membuat/menimbulkan suatu akibat yang menyengsarakan berjuta-juta rakyat ini.
Tentu untuk mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat namun tidak mustahil untuk dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi, mencegah adanya suatu bentuk perlawanan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak saja dari segi aspek agama (tentu ini bukan hanya tugas para dai, mengingatkan bahwa korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama), dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan pelaku terorisme.
Dan tentu saja, semua itu lagi-lagi dimulai dari diri kita sendiri..Jangan pernah berpikir untuk korupsi, dan menganggap korupsi itu tindakan halal dan menyenangkan.
C. Persepsi Masyarakat Tentang Korupsi
1. Kelompok mahasiswa sering menanggapi masalah korupsi dengan protes-protes terbuka. Mereka sangat sensitif terhadap perbuatan korup dan yang merugikan negara dan masyarakat luas.
2. Pada umumnya, mereka masih memiliki idealisme tinggi dan berfikir jauh kedepan.
3. Kritik-kritik mahasiswa, pada umumnya karena faktor ketidak puasan dan kegelisahan psikologis (psychological insecurity). Tema-tema demonstrasi sering mengangkat permasalahan “penguasa yang korup” dan “derita rakyat”.
D. Fenomena Korupsi di Indonesia
Pada kehidupan masyarakat yang mengalami proses perubahan, selalu muncul kelompok¬kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik, namun sesungguhnya banyak diantara mereka yang tidak mampu.
Di lembaga-lembaga politik, mereka (politikus instan) sering hanya ingin memuaskan ambisi pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”. Tapi tidak jarang diantara mereka sering terjebak pada ambisi pribadi dan kepentingan kelompok tertentu.
Sebagai akibatnya, terjadilah hal-hal berikut :
• Munculnya “oknum” pemimpin yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, sehingga kesejahteraan umum mudah dikorbankan. Lembaga-lembaga politik cenderung dimanipulir oleh oknum-oknum pemimpinnya.
• Pada sebagian oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya, berlomba-lomba untuk mencapai “obyek politik” dalam bentuk keuntungan materiil, sehingga terjadi “kehampaan motivasi perjuangan”.
• Terjadilah erosi loyalitas kepada bangsa dan negara, karena lebih menonjolkan dorongan pemupukan harta kekayaan dan kekuasaan. Jadi, mulailah penampilan pola tingkah laku yang korup.
Penyebab Utama Korupsi di Indonesia
 Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum;
 Rendahnya integritas dan profesio-nalisme ;
 Adanya peluang di lingkungan kerja, karena jabatan dan lingkungan masyarakat;
 Merasa selalu kurang dalam memperoleh penghasilan (gaji PNS);
 Sikap yang tamak, lemah iman, kejujuran dan rasa malu.
Upaya Pemberantasan Korupsi
1) Upaya Pencegahan, antara lain :
2) Para pemimpin dan pejabat selalu dihimbau untuk memberikan keteladanan, dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggungjawab sosial yang tinggi.
3) Menanamkan aspirasi, semangat dan spirit nasional yang positif dengan mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan negara melalui sistem pendidikan formal, non formal dan pendidikan agama.
4) Melakukan sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement atau keterampilan teknis dan tidak lagi berdasarkan norma ascription yang dapat membuka peluang berkembangnya nepotisme.
Upaya Penindakan, antara lain :
UU No. 30/2002 merupakan amanat dari UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 43 yang mengatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Undang-Undang sehingga lahirlah …….
UU No. 30/2002 merupakan amanat dari UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 43 yang mengatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Undang-Undang sehingga lahirlah …….Strategi Penindakan Kasus Ditangani Sendiri Oleh KPK & Yang & Dilimpahkan
a. Tahap Putusan Pengadilan Tipikor dan Sekarang Kasasi
 Kasus pembelian tanah yang merugikan Keuangan Negara Rp10M lebih, atas nama Tersangka M.H. (Kabag. Keu Ditjend Hubla) dan T.W. (mantan Sekditjen Hubla, masing-masing diputuskan 8 dan 7 tahun Penjara;
 Tahap Penuntutan
 KPU (MWK)
b. Tahap Penyidikan
 Kasus PLCC Pertamina
 Kasus di KPU (Buku Panduan, Asuransi Kecelakaan)
 Penjualan aset negara (indosat)
c. Dilimpahkan ke Kepolisian dan Kejaksaan
d. Dihentikan Penyelidikannya
e. Pending
f. Tahap Penyelidikan – Pengumpulan alat bukti
Beberapa contoh penanganan kasus & penindakan yg sudah dilakukan oleh pemerintah melalui KPK :
• Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
• Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank Dunia (2004),
• Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keua-ngan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 milyar lebih. (2004),
• Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004).
Upaya Edukasi Masyarakat, antara lain :
1. Memiliki rasa tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, terkait dengan kepentingan-kepentingan publik,
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh, karena hal ini justru akan merugikan masyarakat itu sendiri,
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan, terutama yang dilaksanakan oleh pemerintahan desa, kecamatan dan seterusnya sampai tingkat pusat/nasional,
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyeleng-garaan pemerintahan negara dan aspek-aspek hukumnya,
5. Mampu memposisikan diri sebagai subyek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
Indonesia Corruption Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW memiliki komitmen untuk memberantasan korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi.
Transparency International (TI), adalah sebuah organisasi internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik. Publikasi tahunan terkenal yang diluncurkan TI adalah Laporan Korupsi Global. Survei Tahun 2005, IPK Indonesia adalah 2,2, sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak dan Uzbekistan, Menurut hasil survei ini, Islandia adalah negara paling bebas korupsi.

Konflik dan Perubahan Hukum
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.
Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.
Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya, sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan sistem hubungan sosial yang khusus.
Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis
melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan
keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional
maupun masyarakat moderen, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara
lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman
karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan
perubahan itu adalah senantiasa produk konflik

Hukum yang efektif sebagai alat mengubah masyarakat, hendaklah dalam proses pembuatannya memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga betul-betul masyarakat tersebut merasakan keterlibatannya secara baik. Adapun syarat-syarat peraturan perundangan, paling tidak memenuhi apa yang sering dikemukakan para ahli sosiolagi hukum yaitu : Fisiologis atau Ideologi, yuridis, dan sosiolagis.
Di samping hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, tetapi hukum juga bisa tertinggal jauh kebelakang dari perubahan–perubahan sosial dalam masyarakat apabila ternyata hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Selain hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat, hukum juga diketahui masyarakat. Bagaimana mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hukum itu diketahuinya serta mengalami proses pelembagaan (Institutionalization) dalam diri warga atau bahkan tatanan jiwa masyarakat ( internalized ).

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Tipe-tipe kelompok adalah lebih kongkrit, lebih berpengaruh oleh perubahan-perubahan kesejahtraan dan geografis daripada bentuk-bentuk kemasyarakatan dan itulah sebabnya maka klasifikasi ini ialah lebih sukar dan lebih mustahil dari pada mengklasifikasi unsur-unsurnya.
2. SST : Sama-Sama Tahu adalah istilah keren untuk perbuatan yang tidak menyakiti kawan jika melakukan korupsi. Tapi naudzubillah Mindzalik, sekarang korupsi sudah juga mengikut kayak rutinitas sholat. yakni Korupsi berjemaah. Entah siapa yang memulai ini pertama kali, tapi sekarang fenomena korupsi berjemaah menjadi sangat memprihatinkan dan dilakukan hampir semua sektor dan melibatkan semua kalangan.
3. Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
4. Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang didasarkan untuk memberikan pada asas-asas keseimbangan antara hak dan kewajiban yang berorientasi pada rasa keadilan. (Rule of Law).
B. SARAN
1. Dalam penulisan makalah yang ditugaskan oleh bapak dosen pengampu matakuliah sosiologi adalah merupak suatu hal yang urgensi bagi kami karena dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang ilmu sosiologi hukum
2. Sebaiknya mata kuliah ini juga menjadi wajib bagi mahasiswa Strata Satu (S1)



DAFTAR PUSTAKA
----------Uraian, Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989),
Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)hal.13. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961), hal 32.
Prof.DR.H.Zainuddi Ali,MA, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu.
Ilmu Kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu sosilogi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.
----------------Donald Black. Sociological Justice, (New York : Academic Pres, 1989)..
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Remadja Karya, 1985).
----------------Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976)
----------------Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh, Florida, 1986).
Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen. Jakaarta, 1950.

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA BAGI EFEKTIFITAS PERKEMBANGAN HUKUM

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA BAGI EFEKTIFITAS PERKEMBANGAN HUKUM
Oleh: Sofia, 7109091, S2 Hukum UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

BAB I
PENDAHULUAN

Sosiolog. Hukum merupakandisiplin yang sudahang dewasa sangat berkembang dewasa ini. Bahkan kebanyakan penelitia bahkan sekarang diindonesia dilakukan dengan mengunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum dalam sejarah tercatat bahwa istilah “ Sosiologi hukum pertama sekali digunatkan oleh seorang berkebangsaan Itali yang bernama Anzilloti pada tahun 1822 akan tetapi istilah sosiologi hukum tersebut bersama setelah munculnya tulisan-tulisan Roscoe Pound (1870 – 1964 ) Eugen Ehrlich ( 1862 – 1922 ). Max Weber ( 1864 – 1920 ). Karl Liewellyn (1893 – 1962), dan Emile Durkhim (1858 – 1917) pada prisipnya sosiologi hukum ( Sociologi of Law ) merupakan deerivatif atau cabang dari Ilmu sosiologi, bukan cabang dari dari Ilmu Hukum memang ada sgtudi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut sebagai Sociologi Jurispurdence.
Pemelahan hukum secara sosiologi menunjukan bahwa. Hukum merupakan refleksi dari kehidupanmasyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur unsur sebagai berikut;
1. Hukum merupakan refleksi,dari kebiasaan,tabiat,dan prilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi,hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Disamping itu, pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan informasi pada abat kedua puluh,dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menybapkan orang berpikir ulang tentang hukum . dengan mulai memutuskan . perhatianya terhadap Interreaksi antara sektor hukum. Dan masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan.Namun maslah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting merupakan efektitas suatu hukum yang di perlakukan dalam suatu negara.

Sering disebutkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Artinya hukum. Tersebut haruslah mengikuti kehendak dari masyarakat . Disamping itu hukum yang baik adalah hukum yang baik sesuai dengan perasaan hukum manusia [pelarangan]. Maksudnya sebenarnya sama, hanya jika kesadaran hukum di katakan dengan masyarakat , sementara perasaan hukum dikaitkan dengan manusia perorangan .sebangsa dapatlah di sebutkan bahwa kesadaran hukum sebenarnya tidak laccin merupakan generalisasi dari perasaan hukum.
Permasalahan :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas hukum dalam masyarakat.
2. Pengaruh kesadaran hukum dalam perkembangan hukum.



BAB II
PEMBAHASAN
Apabila ditilik dari proses perkembangan hukum dalam sejarah terhadap hubungan dengan eksistensi dan peranan dari kesadaran hukum masyarakat ini dalam tubuh hukum positif, terdapat suatu proses pasang surut dalam bentangan waktu yang teramat panjang. Hukum hukum masyarakat primitif,jelas merupa kan hukum yang sangat berpengaruh,bahkan secara total merupkan penjelmaan dari hukum masysarakatnya.kemudian,ketika berkembangnya paham scholastic yang di percaya. Hukum berasal dari tuhan (abad pertengahan) dan berkembang mazhab hukum alam modern (abad ke- 18 dan ke-19), mengultuskan rasio manusia, eksistensi dan peranan kesadaran, sangat kecil dalam hal ini, kesadaran hukum tidk penting lagi bagi hukum. Yang terpenting adalah titah tuhan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab suci (mazhab scholastik) atau hasil renungan manusia dengan menyesuaikan rasionya. (Mazhab hukum alam modern) selanjutnya, ketika berkembangnya paham-paham sosiologi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang masuk juga kedalam bidang hukum. Masalah kesadaran hukum masyarakatmulai lagi berperan dalam pembentukan,penerapan,dan penganalisan hukum.dengan demikian, terhadap hukum dalam masyarakat maju berlaku ajaran yang disebut dengan co-variant theory. Teory ini mengajarkan bahwa ada kecocokan antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku hukum. Disamping itu berlaku juga doktrin volksgeist (jiwa bangsa) danrechtsbemu stzijn (kesadaran hukum) sebagaimana yang diajarkan oleh Eugen Ehrlich misalanya doktrin-doktrin tersebut mengajarkan bahwa hukum haruslah sesuai dengan jiwa bangsa/kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum dipandang sebagai mediator antara hukum dan bentuk-bentuk prilaku manusiadalam masyarakat.
1. Faktor – faktor yang mempengaruhi efektifitas hukum dalam masyarakat.
Bila membicarakan efektifitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum yang di maksud berarti menkaji kembali hukum yang harus memenuhi syarat ; yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis dan berlaku dan berlaku secara filosofis oleh karena itu faktor-faktor yangdapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu :
a. Kaidah Hukum.
Dalam teori Ilmu hukum dapat dibedakan tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
- Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penetuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.
- Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis apabilah kaidah tersebut efektif artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori Kekuasaa). Atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
- Kaidah hukum berlaku secara filosofis yaitu seseai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
b. Penegak Hukum
Dalam hal ini akan dilihat apakah para penegak hukum sudah betul – betul melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik, sehingga dengan demikian hukum akan berlaku secara efektif dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya para penegak hukum tentu saja harus berpedoman pada peraturan tertulis, yang dapat berupa peraturan perundang – undangan peraturan pemerintah dalam aturan – aturan lainnya yang sifatnya mengatur, sehingga masyarakat mau atau tidak mau, suka atau tidak suka harus patuh pada aturan – aturan yang dijalankan oleh para penegak hukum karena berdasarkan pada aturan hukum yang jelas.
Namun dalam kasus – kasus tertentu, penegak hukum dapat melaksanakan kebijakan – kebijakan yang mungkin tidak sesuai dengan peraturan – peraturan yang ada dengan pertimbangan – pertimbangan tertentu sehingga aturan yang berlaku dinilai bersifat fleksibel dan tidak terlalu bersifat mengikat dengan tidak menyimpang dari aturan – aturan yang telah ditetapkan.
c. Masyarakat.
Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesaaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat maju orang yang patuh pada hukum karena memang jiwanya sadar bahwa mereka membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik untuk mengtur masyarakat secara baik benar dan adil. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional kesadaran hukum masyarakat berpengaruh secara tidak langsung pada kepatuhan hukum. Dalam hal ini mereka patuh pada hukum bukan karena keyakinannya secara langsung bahwa hukum itu baik atau karena mereka memang membutuhkan hukum melainkan mereka patuh pada hukum lebih karena dimintahkan, bahkan dipaksakan oleh para pemimpinnya (formal atau informal) atau karena perintah agama atau kepercayaannya. Jadi dalam hal pengaruh tidak langsung ini kesaaran hukum dari masyarakat lebih untuk patuh kepada pemimpin, agama, kepercayaannya dan sebagainnya. Namun dalam dalam perkembangan saat ini bagi masyarakat modern terjadi pergeseran – pergeseran dimana akibat faktor – faktor tertentu menyebabkan kurang percayanya masyarakat terhadap hukum yang ada salah satunya adalah karena faktor penegak hukum yang menjadikan hukum atau aturan sebagai alasan untuk melakukan tindakan – tindakan yang dianggap oleh masyarakat mengganggu bahkan tidak kurang masyarakat yang merasa telah dirugikan oleh oknum – oknum penegak hukum seperti itu apalagi masih banyak masyarakat yang awam tentang masalah hukum sehingga dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai objek penderita.

2. Pengaruh Kesadaran Hukum Dalam Perkembangan hukum
Dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan sehingga sampai pada hukum yang maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan saat ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuagan manusia tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat , dimana hukum berlaku berubah terus menerus dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amendemen terhadap undang – undang yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan menganti undang – undang lama dengan undang – undang baru. Bahkan hukum modern telah menetukan prinsip dan asas hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya dengan perkebangan masyarakat, hukum mengatur tentang masalah struktur sosial nilai – nilai dan larangan – larangan atau hal – hal yang menjadi tabu dalam masyarakat.
Dalam abad Ke-20 terjadi perkembangan diberbagai bidang hukum dimana sebagiaan hukum disebagian negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas, tetapi sebagian hukum dinegara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat.
Namun tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah Kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Faktor – faktor dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat, diantaranya yaitu :
1. Kaidah hukum
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi beberapa unsur yaitu :
a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis
b. Kaidah hukum berlaku secara Sosiologis
c. Kaidah hukum berlaku secara Filosofis
Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati, kalau hanya berlaku sosiologis dalam arti teori kekuasaan maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa dan apabila hanya berlaku secara filosofis kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita – citakan (insconstituenden).
2. Petugas Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas merupakan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya dalam melaksanakan tugas – tugas penerapan hukum, petugas harus memiliki suatu pedoman yaitu peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas – tugasnya.
3. Warga Masyarakat
Adalah salah satu faktor penting untuk mengefektifkan suatu peraturan yaitu kesadaran masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang – undangan apabila warga masyarakat telah menyadari bahwa hukum atau aturan yang berlaku adalah untuk mengatur kehiupan masyarakat sehingga akan tercipta suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Fungsi Hukum Dalam Masyarakat

Fungsi Hukum Dalam Masyarakat
Oleh: Dra. Muhibbah, S2 Hukum UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosiologi hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat berkembang dewasa ini. Bahkan, kebanyakan penelitian hukum sekarang di Indonesia dilakukan dengan menggunakan metode yang berkaitan dengan sosialisasi hukum.
Pada prinsipnya, sosiologi hukum ( sosiologi of Law ) merupakan derifatif atau cabang dari ilmu sosiologi, bukan cabang dari ilmu hukum. Memang, ada study tentang hukum yang berkeanan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari ilmu hukum, tetapi tidak disebut sebagai sosiologi hukum, melainkan disebut sebagai sociological jurispudence.
Disamping itu, ada kekhawatiran dari ahli sosiologi terhadap perkembangan sosiologi hukum mengingat sosiologi bertugas hanya untuk mendeskrisipkan fakta-fakta. Sedangkan ilmu hukum berbicara tentang nilai-nilai dimana nilai-nilai ini memang ingin dihindari oleh ilmu sosiologi sejak semula. Kekhawatiran tersebut adalah berkenaan dengan kemungkinan dijerumuskannya ilmu sosiologi oleh sosiologi hukum untuk membahas nilai-nilai. Sebagaimana diketahui, bahwa pembahasan tentang nilai-nilai sama sekali bukan urusan ilmu sosiologi. Meskipun begitu, terdapat juga aliran dalam sosiologi hukum, seperti
aliran Berkeley, yang menyatakan bahwa mau tiak mau, suka tidak suka, sosiologi
hukum meruapakan juga derifatif dari ilmu hukum sehingga harus juga menelaah masalah-masalah normatif yang sarat dengan nilai-nilai.
Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung dari berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Disamping itu. fungsi hukum dalam masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat maju. Dalam setiap masyarakat, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Namun dalam masyarakat yang sudah maju, hukum menjadi lebih umum, abstrak dan lebih berjarak dengan konteksnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah :
1. Bagaimana Fungsi hukum dalam masyarakat ?
2. Bagaimana Fungsi Hukum Menururt pendapat para ahli ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui fungsi hukum dalam masyarakat yang sudah maju yang dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu sisi pertama, dimana kemajuan masayarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum untuk mengaturnya. Dan sisi yang kedua, adalah dimana hukum yang baik dapat mengembangkan masyarakat atau mengarahkan perkembangan masyarakat. Bagaimanapun, fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam,
bergantung dari berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Disamping itu. fungsi hukum dalam masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat maju.
2. Bagaimana pendapat para ahli mengenai fungsi hukum dalam masyarakat.

D. Manfaat.
Penulisan makalah ini dimaksudkan :
1. Menjelaskan kepada masyarakat manfaat dan fungsi hukum , agar mengetahui kemajuan suatu masyarakat diikuti oleh perkembangan hukum dalam masyarakat itu sendiri. Semakin maju sebuah masyatakat maka semakin beragam hukum yang muncul dan dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.
2. Mengetahui pendapat para ahli tentunya akan lebih bermanfaat untuk pengambilan keputusan hukum yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat banyak.

BAB II
PEMBAHASAN
Prinsip dasar Sosiologi hukum menurut Emile Durkheim adalah sebagai fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat dan hukum simbol merupakan wujud yang paling nyata ( Visible Symbol ) dari masyarakat. Dia mengkaji hukum secara sosiligis, lebih-lebih dalam bidang ilmu sosiologi, bahkan ilmu sosial pada umumnya. Bahkan dari ajaran dan methodologi yang digunkannya telah banyak meninggalkan perdebatan dikalangan ahli dalam berbagai ilmu hukum, misalnya perdebatan dalam ilmu antropologi tentang hukum primitif atau perdebatan dalam ilmu kriminologi tentang hakikat dari kejahatan. Pengkajian Durkheim, pengaruh paham positivisme sangat dominan. Karena perkembangan ilmu-ilmu sosial pada saat itu dilatar belakangi oleh semangat untuk menelaah masyarakat secara logik, scientafic dan methodologis. Akan tetapi perkembangan selanjutnya dari ilmu-ilmu sosial menunjukkan bahwa dalam mempelajari masyarakat, telaah-telaah yang bersifat kesadaran manuasia ( human consciousness) .
Sosiologi hukum menurut Max Weber, tidak berurusan dengan karekteristik internal dari suatu ketertiban hukum, tetapi sosiologi hukum berkepentingan dengan analisis tentang hubungan antara sistim hukum dan sistim sosial lainnya. Dihubungkan dengan konsepnya tentang dominasi hukum, maka hukum bukan hanya merupakan bentuk khusus dari ketertiban politik, melainkan juga merupakan suatu ketertiban sentral yang bersifat mengatur secara independen.
Perkembangan sosiologi hukum ( Law Sociology ) suatu disiplin ilmu yang relatif muda, maka masih belum banyak mengungkapkan pengertian-pengertian yang masuk dalam bahasan sosiologi hukum. Wignyosoebroto berpendapat bahwa sosiologi hukum adalah salah satu cabang kajian sosiologi yang termasuk pada keluarga ilmu pengetahuan sosial, cabang kajian tentang kehidupan bermasyarakat manusia pada umumnya, yang memberikan perhatian kepada upaya-upaya manusia menegakkan dan mensejahterakan kehidupannya, serta mempunyai kekhususan yang berbeda dengan kajian pada cabang-cabang sosiologi yang lain. Sosiologi hukum berfokus pada masalah otoritas dan kontrol yang mungkin kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan yang relatif tertib berketeraturan. Kekuatan kontrol dan otoritas pemerintah sebagai pengembangan kekuasaan negara yang mendasari kontrol itulah yang disebut hukum.
Hukum sebagai sarana perubahan sosial yang dalam hubungannya dengan sektor hukum merupakan salah satu kajian penting dari disiplin sosiologi hukum. Hubungan antara perubahan sosial dan sektor hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial terhadap sektor hukum sementara dipihak lain perubahan hukum juga berpengaruh terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan kekuasaan yang dapat mempengaruhi perubahan sosial sejalan dengan salahsatu fungsi hukum, yakni hukum sebagai sarana perubahan sosial atau sarana rekayasa masyarakat ( social engineering ).
Fungsi hukum dalam masyarakat sangat beraneka ragam, bergantung pada berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Disamping itu, fungsi hukum dalam masyarakat yang belum maju juga akan berbeda dengan yang terdapat dalam masyarakat maju. Dalam setiap masyarakat hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat. Namun, dalam masyarakat yang sudah maju hukum, hukum menjadi lebih umum, abstrak, dan lebih berjarak dengan konteksnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada beberapa fungsi hukum dalam masyarakat. Yaitu ;
1. Fungsi Menfasilitasi
Dalam hal ini termasuk menfasilitasi antara pihak-pihak tertentu sehinggga tercapai suatu ketertiban.
2. Fungsi Represif
Dalam hal ini termasuk penggunaan hukum sebagai alat bagi elite penguasa untuk mencapai tujuan-tujuannya.
3. Fungsi Ideologis
Fungsi ini termasuk menjamin pencapaian legitimasi, hegemoni, dominasi,
kebebasan, kemerdekaan, keadilan dan lain-lain.
4. Fungsi Reflektif
Dalam hal ini hukum merefleksi keinginan bersama dalam masyarakat sehingga mestinya hukum bersifat netral.
Selanjutnya Aubert mengklasifikasi fungsi hukum dalam masyarakat, antara lain :
1. Fungsi mengatur ( Govermence )
2. Fungsi Distribusi Sumber Daya
3. Fungsi safeguart terhadap ekspektasi masyarakat
4. Fungsi penyelesaian konflik
5. Fungsi ekpresi dari nilai dan cita-cita dalam masyarakat.
Menurut Podgorecki, bahwa fungsi hukum dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Fungsi Integrasi
Yakni bagaimana hukum terealisasi saling berharap ( mutual expectation ) dari masyarakat.
2. Fungsi Petrifikasi
Yakni bagaimana hukum melakukan seleksi dari pola-pola perilaku manusia agar dapat mencapai tujuan-tujuan sosial.
3. Fungsi Reduksi
Yakni bagaimana hukum menyeleksi sikap manusia yang berbeda-beda dalam
masyarakat yang kompleks sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, hukum berfungsi untuk mereduksi kompleksitas ke pembuatan putusan-putusan tertentu.
4. Fungsi Memotivasi
Yakni hukum mengatur agar manusia dapat memilih perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
5. Fungsi Edukasi
Yakni hukum bukan saja menghukum dan memotivasi masyarakat, melainkan juga melakukan edukasi dan sosialisasi.
Selanjutnya, menurut Podgorecki, fungsi hukum yang aktual harus dianalisis melalui berbagai hipotesis sebagai berikut :
1. Hukum tertuis dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, sesuai dengan sistem sosial dan ekonomi masyarakat.
2. Hukum tertuis ditafsirkan secara berbeda-beda oleh berbagai sub kultur dalam masyarakat. Misalnya, hukum akan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh mahasiswa, Dosen, advokat, polisi, hakim, artis, tentara, orang bisnis, birokrat dan sebagainya.
3. Hukum tertulis dapat ditafsrkan secara berbeda-beda oleh berbagai personalitas dalam masayarakat yang diakibatkan oleh berbedanya kekuatan/kepentingan ekonomi, politik, dan psikososial. Misalnya golongan tua lebih menghormati hukum daripada golongan muda. Masyarakat tahun 1960-an akan lebih sensitif terhadap hak dan kebebasan dari pekerja.
4. Faktor prosedur formal dan framework yang bersifat semantik lebih menentukan terhadap suatu putusan hukum dibandingkan faktor hukum substantif.
5. Bahkan jika sistem-sistem sosial bergerak secara seimbang dan harmonis, tidak berarti bahwa hukum hanya sekedar membagi-bagikan hadiah atau hukuman.
Dalam suatu sistem bahwa antara hukum, kekuasaan dan politik sangat erat kaitannya serta studi tentang hubungan antara komponen hukum, kekuasaan dan politik juga merupakan bidang yang mendapat bagian dari sosiaologi hukum.
Fungsi hukum menurut masyarakat yaitu, hukum merupakan sarana perubahan sosial. Dalam hal ini, hukum hanyalah berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi saja sehingga dalam kasus seperti ini bukan hukum yang mengubah masyarakat, melainkan perkembangan masyarakat yang mengubah hukum. Sikap dan kehidupan suatu masyarakat berasal dari berbagai stimulus sebagaia berikut :
1. Berbagai perubahan secara evolutif terhadap norma-norma dalam masyarakat.
2. Kebutuhan dadakan dari masyarakat karena adanya keadaan khusus atau keadaan darurat khususnya dalam hubungan distribusi sumber daya atau dalam hubugan dengan standar baru tentang keadilan.
3. Atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh
ke depan yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pamndangan dan cara hidup masyarakat.
4. Ada ketidak adilan secara tekhnikal hkum yang meminta diubahnya hukum tersebut.
5. Ada ketidak konsistenan dalam tubuh hukum yang juga meminta perubhan terhadap hukum tersebut.
6. Ada perkembangan pengetahuan dan tekhnologi yang memunculkan bentukan baru untuk membuktikan suatu fakta.
Kemudian dalam suatu masyarakat terdapat aspek positif dan negatif dari suatu gaya pemerintahan yang superaktif. Negatifnya adalah kecenderungan menjadi pemerintahan tirani dan totaliter. Sedangkan positifnya adalah bahwa gaya pemerintahan yang superaktif tersebut biasanya menyebabkan banyak dilakukannya perubahan hukum dan perundang-undangan yang dapat mempercepat terjadinya perubahan dan perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan masyarakat seperti ini bisa kearah positif, tetapi bisa juga kearah yang negatif.
Ada beberapa lapisan dari suatu realitas sosial. Lapisan dari realitas sosial tersebut antara lain :
1.Lapisan dalam bentuk dasar-dasar geografis da demografis.
Ini merupakan lapisan paling atas dari realitas sosial. Dalam hal ini kebutuhan
masyarakat seperti makanan atau komunikasi menjadi dasar bagi masyarakat
Manakala faktor-faktor tersebut merupakan hasil transformasi dari tindakan kolektif masyarakat atas desakan dari simbol, cita-cita dan nila dalam masyarakat.
2. Lapisan Institusi da tabiat kolektif (Kolektif Behaniove) ini merupaka lapisan kedua dalam suatu realitas sosial. Dalam lapisan yang bersifat morfologis ini, dijumpai institusi masyarakat dan tingkah laku masyarakat yang mengkristal dalam bentuk-bentuk kebiasaan praktik dalam organisasi.
3. Lapisan simbol-simbol
Lapisan ini berhubungan langsung dengan institusi yang berfungsi sebagai tanda atau sarana praktik, seperti lambang, bendera, obyek suci, dogma-dogma, prosedur, sanksi atau kebiasaan.
4. Lapisan nilai (value ) dan tujuan kolektif
Lapisan merupakan produk dari suatu kehidupan sosial yang mengarahkan suatu pemikiran kolektif yang bebas.
5. lapisan pikiran kolektif ( Collective Mind )
Lapisan pikiran kolektif ini merukan memori kolektif, representasi kolektif, perasaan kolektif, kecenderungan dan aspirasi kolektif, dalam suatu kesadaran individu.
Dalam kehidupan masyarakat ada tiga faktor yang menyebabkan perubahan sosial. Ketiga faktor tersebut adalah :
1. Kumulasi penemuan tekhnologi.
2. Kontrak konflik antar kebudayaan.
3. Gerakan sosial (social movement )
Kemudian, teori kebudayaan yang tentunya dianut oleh para ahli kebudayaan yang mengemukakan bahwa penyebab utama terjadinya perubahan masyarakat adalah bertemunya dua atau lebih kebudayaan yang berbeda sehingga masing-masing akan menyesuaikan kebudayaannya dengan kebudayan baru untuk mendapatkan sistem kebudayaan yang lebih baik menurut penilaian mereka. Sementara itu teori gerakan sosial menyatakan bahwa perubahan masyarakat terjadi karena adanya gerakan sosial dimana gerakan tersebut terjadi karena adanya unsur ketidakpuasan yang menimbulkan protes-protes dikalangan masyarakat, yang pada akhirnya menghasilkan suatu tatanan masyarakat baru, termasuk didalamnya suatu tatanan hukum yang baru. Jadi menurut teori-teori tersebut, justru perubahan hukum, bisa menghasilkan suatu tatanan hukum yang baru. Ini merupakan akibat dari adanya perubahan masyarakat tersebut.
Fungsi hukum dalam masyarakat juga memberikan gambaran kepada kita bahwa apabila fungsi hukum dalam masyarakat tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya, akan menimbulkan pemerintahan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya pemerintahan tidak lagi dibatasi oleh hukum. Pemerintahan tersebut akan menjadikan dirinya hukum itu sendiri. Seperti sistem pemerintahan diktator. Sehingga rakyat beranggapan bahwa siapa yang memerinta dialah yang berkuasa, dan siapa yang berkuasa maka dialah undang-undang. Contohnya jarang sekali seorang pejabat aktif masuk penjara, biasanya setelah selesai dari jabatannya baru ditangkap. Menurut Hatta sebaiknya walaupun dia seorang pejabat bila terbukti bersalah harus di turunkan dari jabatannya, kemudian di ganti orang lain. Bila penggantinya terjadi lagi distorsi harus diganti lagi. Sebab generasi bangsa banyak yang punya potensi tetapi tidak diberikan kesempatan oleh pemimpin terdahulu. Hal seperti ini yang mengancam kesenjangan-kesenjangan sosial. Jadi untuk menjaga keseimbangan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu ada tindakan nyata agar tidak terjadi disintegrasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan :
1. Sosiologi hukum adalah disipli ilmu yang sudah berkembang dewasa ini bahkan banyak penelitian hukum di Indonesia mempergunakan metode yang berkaitan dengan sosiologi hukum. Ilmu ini juga merupakan cabang dari ilmu sosiologi. Walaupun sebagian berpendapat bahwa ilmu ini cabang dari ilmu hukum.
2. Fungsi hukum dalam masyarakat tergantung dari berbagai faktor dan keadaan masyarakat. Masyarakat yang sudah maju berbeda kebutuhan hukumnya dengan masyarakat yang belum maju. Sehingga fungsi hukumnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
3. Secara umum fungsi hukum dalam masyarakat telah diuraikan beberapa pakar diantaranya : hukum sebagai alat bagi elite penguasa untuk mencapai tujuannya. Hukum juga bisa merefleksi keinginan bersama dalam masyarakat sehingga mestinya hukum bisa bersifat netral. Sementara pakar lain mengatakan fungsi hukum dalam masyarakat sebagai pengatur, distribusi sumber daya, penyelesaiana konflik serta ekspresi dari nilai dan cita-cita dalam masyarakat.
4. Fungsi hukum menurut masyarakat merupakan sarana perubahan sosial, dalam hal ini hukum bisa saja hanya berfungsi sebagai alat ratifikasi dan legitimasi.
5. Perubahan hukum dalam masyarakat bisa terjadi secara evolusi terhadap norma-norma dalam masyarakat, karena keadaan khusus atau keadaan darurat. Juga atas inisiatif dari kelompok kecil masyarakat yang dapat melihat jauh kedepan yang kemudian sedikit demi sedikit mempengaruhi pandangan dan cara hidup masyarakat. Perubahan juga bisa terjadi bila ada ketidak adilan secara tekhnikal hukum yang meminta diubahnya hukum tersebut.
B. Saran-Saran.
Sebagai penutup dari makalah ini kami menyampaikan beberapa saran :
1. Bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, yang perlu difahami adalah fungsi hukum menurut filsafat kita. Yakni hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat kita, bukan memerintahkan begitu saja. Hukum juga seharusnya dari rakyat dan bersifat kerakyatan serta menempatkan hukum dalam konteks sosialnya yang lebih besar. Untuk itu seharusnya ada keterlibatan dari elemen masyarakat dalam pengambilan keputusan hukum.
2. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu kami mengharapkan adanya masukkan untuk penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta. Sinar Grafika. 2008
Fuady, Munir. Sosiologi Hukum Kontemporer. Interaksi Hukum, Kekuasan, dan Masyarakat. Bandung PT Citra Aditya Bakti 2007
Ihromi, T.O, Antropologi dan Hukum, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia 2000
Ihromi, T.O. Antropologi Hukum. Sebuah Bunga Rampai. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 2003
Koenoe, Muhammad. SH. Prof. Dr Hukum dan Perubahan-Perubahan Perhubungan Kemasyarakatan
Usman, Sabian. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum. Makna Dialog antara Hukum & Masyarakat. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2009
Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. 1995
Soekanto,Soerjono. Pengantar Sejarah Hukum, Bandung, Alumni, 1983.