Senin, 28 Desember 2009

SEKILAS RIWAYAT HIDUP PROF DR HA MATTULADA

November 07, 2007
Prof Dr Mattulada
Nyaris Jadi Korban Westerling
SEANDAINYA Kepala Polisi Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada -- seorang pemikir dari Ujungpandang. Dan seandainya "kebetulan" tadi tak terjadi, mungkin nama Mattuladadan ikut tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban pembantaian Westerling -- tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada (65) akhir pekan lalu di kediamannya, Kampus Baru Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas ini, satu persatu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan tidak kembali lagi.
"Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa," kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak menelorkan pejuang termasuk Robert Wolter Monginsidi-- memanggul senjata lagi melawan Belanda. Rekannya se- SMP Nasional, Wolter Monginsidi, dihukum mati Belanda dalam proses peradilan cepat.
Mengurut kembali sejarah, Mattulada mengatakan, siapapun yang menjadi pejuang waktu itu pasti ridho merelakan nyawanya bagi Ibu Pertiwi. Ia mengakui, yang memompa semangatnya dan memberi inspirasi sikap kejuangan banyak orang tak pelak lagi adalah Bung Karno, dengan pidatonya yang berapi-api di lapangan Hasanuddin tahun 1944. Pemimpin besar itu kala itu berkeliling Indonesia, dan selalu menyemangati para pejuang agar pantang menyerah dan menggantungkan cita-cita setinggi langit.
* * *
SEMANGAT, inovatif dan jiwa kejuangan ditopang kecerdasan, merupakan ciri khas Mattulada. Sesudah gemuruh perjuangan melawan Belanda reda, ia bersekolah lagi sambil aktif di dinas sekuriti (PAM) Kepolisian RI. Tahun 1956 setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Tahu bahwa Mattulada berlatar belakang sebagai tentara pelajar dan TNI, maka kepala sekolah waktu itu, Pangkerego, menugaskan Mattulada "mengamankan" anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamang-amangkan senjata selagi guru sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Sambil sibuk membenahi SMA III, ia juga ikut memperjuangkan berdirinya Universitas Hasanuddin. Dialah yang termasuk dibawa Oom No (Arnold Mononutu) menghadap Presiden RI mendesakkan berdirinya sebuah PTN di Makassar. Namun karena waktu itu Bung Karno sedang ke Sumatera, maka ia hanya bisa bertemu Mohammad Hatta (Wakil Presiden waktu itu). Hatta pun mengatakan pemerintah telah memikirkan mendirikan sebuah PTN di Makassar, ia menuturkan kepada Gubernur Sulsel (waktu itu) Andi Pangerang Petta Rani bahwa Hatta telah menyalakan lampu hijau.
Maka di awal tahun 1956 (Mattulada lupa persis waktunya), tatkala Mendikbud (waktu itu) Bahder Djohan berkunjung ke Makassar, Mattulada dan kawan-kawannya melakukan aksi. Mobil "dem-dem"an yang ditumpangi Bahder dan beberapa tokoh pendidikan Sulsel, "dihentikan" Mattulada dan kawan-kawan di Tamalanrea (kini menjadi kampus baru Unhas). "Supaya mobil itu berhenti, kami bergerombol sambil melambai-lambaikan tangan di jalan sempit itu, sehingga mobil Bahder berhenti," tutur Mattulada sambil tertawa geli.
Bahder Djohan yang tahu Sulsel masih dirusuhi gerombolan --mengira ada sesuatu yang luar biasa terjadi. Tapi, yang muncul adalah Mattulada dan kawan-kawannya, dan keperluannya, "hanya" mendesak Mendikbud agar menyetujui pendirian Unhas. Bahder tak bisa lain kecuali mengangguk-angguk setuju dan meminta para pemuda bersabar sebab pemerintah pasti membuka PTN baru di Makassar.
Tak puas hanya ucapan lisan, Mattulada dan kawan-kawan menyodorkan kertas putih sambil meminta Bahder Djohan membuat surat tanda persetujuan pendirian universitas baru dan menandatanganinya. Setelah semua ini dilakukan, barulah Mattulada dan kawan-kawannya "melepas" Bahder dan rombongannya masuk kota Makassar.
Beberapa waktu kemudian, datang Presiden Soekarno ke Makassar. Di Gubernuran Bung Karno dalam pengumuman selama 10 menit langsung menyatakan pendirian PTN itu, dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Pada tahun 1959, Mattulada dan teman-teman merintis pendirianFakultas Sastra di Unhas. Ketika fakultas itu jadi dibuka, dialah mahasiswa pertamanya, dan lulus 1964. Dua tahun kemudian ia menjabat Dekan Fakultas Sastra 1966-1970. Ketika terjadi G-30s-PKI, Mattulada membentuk dua kompi pasukan semacam resimen pelajar serba guna SMA Negeri 1 yang ia pimpin tampil sebagai salah satu pelopor pengganyangan komunis di situ.
Seorang rekannya, Haji Muhammad Fahmy Daeng Myala menuturkan, semasa menjabat Dekan Fakultas Sastra, talenta Mattulada sebagai antropolog mulai tampak. Bakat antropolog tadi, katanya, lebih terasah tatkala Mattulada tugas belajar di Rijks Universiteit Leiden 1970-1972.
Ucapan Myala tampaknya tidak berlebihan. Disertasi Mattulada untuk meraih doktor di Universitas Indonesia (1975): Latoa, Satu Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, disebut- sebut sebagai salah satu karya besar yang dihasilkan putra Sulsel setelah kemerdekaan. Karya-karya ilmiah Mattulada yang lain, di antaranya, The Spread of the Buginese in Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang -- 1981), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di Sulawesi Tengah (1991), Human Ecology (1993).
* * *
DI tengah keasyikannya mengajar dan melakukan penelitian, Mattulada juga mengembangkan minatnya yang lain, kesenian. Bagi dia antropolgi berkaitan sangat erat dengan prilaku manusia, bertaut lekat dengan kesenian yang sangat mengedepankan sisi humanistis, nurani dan kata hati.
Dialah, yang kemudian dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada masa dia menjadi Ketua DKM itulah, di Makassar muncul nama-nama seperti Rahman Arge (kini anggora DPR-RI), Aspar Paturusi, Husni Djamaluddin (kini anggota DPRD Sulsel), Arsal Alhabsyi, Drs Ishak Ngeljaratan MS, dan DR Sutiono Sinansari ecip (kini Redpel Harian Republika), Andi Rio Daeng Riolo (alm).
Mattulada menampik anggapan bahwa di masanyalah DKM mencapai "masa keemasan" -- dalam melahirkan karya. Bagi dia, tampilnya angkatan Arge dan kawan-kawan erat kaitannya dengan masa perjuangan waktu itu, 60-an hingga awal 70-an. Era itu, karya sastra dan kesenian tumbuh subur karena situasi, dan para pejabat di Sulsel sangat mendukung.
"Waktu itu, Gubernur Sulsel adalah Achmad Lamo, Sekwildanya Andi Patarai, dan Walikota Makassar Patompo. Mereka semua kawan dekat yang saya kenal baik di masa perjuangan dulu," kata Mattulada.
* * *
PUNCAK karir Mattulada sebagai pengajar terjadi tatkala ia ditunjuk Mendikbud (waktu itu) Dr Daoed Yoesoef untuk menjadi Rektor Universitas Tadulako.
Prosesnya sederhana saja. Sepulang dari tugas sebagai Guru Besar Tamu pada Kyoto University, Jepang, 1979-1980, ia bersua Prof Dr Achmad Amiruddin Pabittei (Rektor Unhas 1973-1982, kini Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI). Prof Amir memberitahu Mattulada bahwa Mendikbud Daoed Yoesoef ingin bertemu dia. Daoed tampaknya mempercayakan Mattulada sebagai Rektor Tadulako, Palu.
Mattulada sebenarnya agak terkejut. Ia baru saja beberapa pekan pulang dari Jepang, dan baru berkumpul dengan keluarga. Maka ia utarakan kepada Prof Amir bahwa ia membutuhkan konsultasi dengan keluarga, di samping ia menegaskan bahwa ia tidak suka main-main dan senang pada sikap tegas dan "lurus", tidak "belok-belok". Prof Amir, menurut Mattulada menjamin hal tersebut.
Ia pun dilantik sebagai rektor pertama Universitas Tadulako di Palu, tanggal 18 Agustus 1981. Dua kali dipercayakan menjabat rektor hingga 1990, Mattulada kembali ke kampung halaman. Di Unhas ia dipercayakan menjabat Ketua Senat Guru Besar Unhas, 1990 hingga pensiun baru-baru ini. Tetapi meski sudah pensiun, ia tetap diminta Rektor Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA menjadi pengajar di program Pasca Sarjana Unhas.
Di masa pensiun ini, Mattulada --yang artinya Penyambung Adat -- lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana, telah menikah. Kecuali menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, Mattulada rajin puasa Senin dan Kamis.
(Andi Suruji/Abun Sanda).
KOMPAS - Jumat, 18 Feb 1994 Halaman: 20

1 komentar: