Rabu, 20 Januari 2010

EFEKTIVITAS hUKUM DALAM mASYARAKAT

EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
Oleh: Sahri, Mhs S2 Hukum Untag
1.Latar Belakang
Sejak lahir didunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan pegangan baginya.
Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum,[1]Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hokum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan.
Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat.
2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas.[2] Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat

2. permasalahan

Tidak selalu kehendak hukum selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, maka dalam kehidupan nyata dalam mayarakat kadang-kadang berbeda dengan yang dikehendaki oleh hukum. Contoh kasus yang paling baru adalah kasus Bibit dan Candra yang melibatkan banyak melibatkan para petinggi penegak hukum di Indonesia . Namun kenyataannya kasus tersebut mendapat tantangan dari masyarakat, walaupun kasus tersebut memenuhi unsur pidana, namun dalam prakteknya mendapat tantangan dari msyarakat, padahal sangat mungkin kasus tesebut memenuhi semua unsure pidananya, namun ternyata tidak memenuhi salah satu unsur sosiologi hukumnya.
Oleh karena itu dari ketiga unsur tersebut harus berjalan bersama-sama jika salah satunya tidak terpenuhi akan melahirkan ketidak adilan seperti yang terjadi dengan kasusnya Bibit dan Candra contoh diatas.

3. Analisis kasus
Seperti yang katakan oleh Soeryono Soekanto hukum yang baik adalah yang memenuhi ketiga unsure tersebut di atas, dan ketiganya harus berjalan berbarengan jika salah satu unsure ditinggalkan ada kemungkinan tidak akan menghasilkan rasa keadilam dimasyarakat, dengan dasar salah satu unsure sosiologis diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar oleh masyarakat akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Soeryono Soekanto-Pornadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu:
(1) Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.
(2) Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku.

Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa keyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis harus termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memesukkan faktor-faktor kecenderungan dan harapan masyarakat maka perturan perundangan-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarak. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan keperkembangan masyarakat.[3] Jika teori diatas dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia . Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi.[4] Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c , Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum.[5]
Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas keputusan.[6] Artnya selain pendekatan yuridis nomatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisi yang lainnya, yaitu hukum dalam kenyataanya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum dalam kenyataan dimaksud, bukan bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioprasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.[7]Satulagi contoh kasus yang sangat menghebohkan masyarakat tentang sengketa antara Frita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang Banten , dilihat dari sisi hukum formal sudah sangat memenuhi semua unsure delik yang dituduhkan kepadanya, namun dari dilihat sisi keadilan masyarakat sangat tidak adil. Artinya hukum tidak cukup hanya diliha dari sisi formalnya saja akan tetapi harus dilihat dari keadilannya, jika tidak akan mendapat perlawanan yang cukup keras dari masyarakat. Oleh karena itu untuk memberlakukan hukum (Undang-Undang) tidak mungkin meninggalkan rasa keadilan karena antara keadilan dan hukum sama dengan dua sisi mata ung.

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.

Saran

Bagi para penegak hukum unntuk menerapkan peraturan Perundang-Undangan harus melihat dari sisi tersebut diatas dari sisi formalnya supaya ada kepastian dan yang kedua dari sisi keadilannya.



Penulis
Sahri mahasisa Pasca semester1
Kelas Sunter Untag 1945 Jakarta


________________________________________
[1] Soejono soekanto. Pokokpokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. hlm. 15.
[3] Bagir Manan, Dasar-Dasar perundang-undangan Indonesia . IND-HILL.L.CO Jakarta 1992. hlm ,16.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147.
[5] Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Penerbit buku Kompas, Jakarta 2009. hlm. 152.
[6] Mahfud MD, Kompas tgl7 Januari 2010. hlm 2.
[7] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika Jakarta 2005. hlm, 13.

PENERAPAN HAM SEBAGAI KAJIAN SOSIOLOGIS

PENERAPAN HAM SEBAGAI KAJIAN SOSIOLOGIS
Oleh: Suastina,NPM.7109090, Mhs S2Hukum UID Palu

A. Latar Belakang
Fenomena yang dikenal sebagai hak asasi manusia tidak hanya berkaitan dengan perlindungan bagi individu dalam menghadapi pelaksanaan ”Otoritas Negara” atau pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, tetapi juga mengarah kepada penciptaan kondisi masyarakat yang telah mengedepankan kepentingag Negara sehingga individu dapat mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.
Menurut Mewissen ”hak-hak dasar dan hak asasi dasar manusia”. Hak-hak yang dibela dipertahankan secara internasional dan hak-hak yang harus dibela dalam pengakuan dasar manusia. Sebaliknya hak-hak dasar mempunyai kaitan erat dengan negara dan bangsa. Hak-hak yang diakui oleh dan melalui hukum nasional, konotasi hak-hak asasi manusia menyangkut atau berkait dengan asas ideal dan politis yang menunjukkan pada tujuan politik karena belum menjadi bagian hukum positif, sedangkan hak dasar tegas merupakan bagian atau suku cadang hukum positif.
Hak-hak asasi manusia sebagai hakin demikian melekatnya pada sifat manusia, tanpa hak-hak itu manusia tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia karena itu hak asasi manusia tidak dapat dicabut dan tidak dapat dilangggar, dalam Human Rigths Referece Hand book anatara lain ditegaskan pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dan semua anggota keluarga kemanusiaan, dari uraian tersebut lebih lanjut Philips M. Hadjon mengungkapkan bahwa perkembangan konsep hak-hak asasi manusai seirama dengan perkembangan hukum alam, oleh karena itu perdebatannya tidak statis, melainkan merupakan bagian dari suatu proses dialektis yang berkesinambungan dan lewat proses konsep-konsep hak-hak asasi manusia pada abad ke-20 adalah merupakan sistesis dari abad ke- 18 dan anti tesis pada abad ke-19.
Mengabaikan dan memandang rendah hak-hak asasi manusia merupakan suatu perbuatan yang bengis sebab dengan terabaikannya hak-hak asasi manusia berarti fitrah kemanusiaan menjadi hilang. Manusia pada dasarnya tidaklah sama, namun tidak boleh dibedakan dalm hal memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dalam deklarasi hak-hak asasi manusia sejagad menekankan pada asas tidak boleh adanya Diskriminasi
B. Permasalahan
Bagaimanakah hak-hak asasi manusia dijamin oleh konstitusi dalam kehidupan bernegara ?.
C. Landasan Teori
Legalisasi hak-hak asasi manusia dilakukan untuk memberikan landasan yuridis dalam penegakan lahirnya Piagam Makna Charta yang menjadikan hak-hak asasi manusia diakui dan dijamin secara yuridis oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang menculnya perlindungan hak-hak asasi manusia karena dianggap telah mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang terjadinya lebih tinggi dari kekuasaan raja. Hal ini sejalan dengan ajaran Thomas Aquino (1215-1274) bahwa hukum dan undang-undang hanya dapat buat atas kehendak raja. Pokok ajaran tersebut adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia serta batas kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dalam menjalankan pemerintahan.
Bagi bangsa indonesia hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang baru. Rujukan yang digunakan dalam menjalankan suatu hukum dasar hak-hak asasi manusia adalah Universal Declaration Human Rights, pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia.
Orde lama yang dianggap menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945 dideponir oleh Orba sebagai bentuk penyelewengan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 adalah alasan pembenaran untuk mengambil alih pemerintahan dengan komitmen melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Hak asasi manusia muncul sebagai tema pokok. Hak asasi manusia hanya semata-mata retorika belaka meskipun bisa juga disebut sebagai reaksi atas nama demokrasi terpimpin.

PEMBAHASAN
1. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia dalam pengertian hukum, tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri, bahkan tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena manusia dapat kehilangan martabatnya.
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli adalah
1. John Locke, Hak asasi manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat mutlak). Dengan demikian, maka :
Hak asasi harus dikorbankan untuk kepentingan masyarakat, sehingga lahir kewajiban.
Semakin berkembang meliputi berbagai bidang kebutuhan, antara lain hak dibidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.
2.Koentjoro Poerbapranoto (1976), Hak asasi adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang dimiliki manusia nenurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga sifatnya suci.
3.UU No. 39 Tahun 1999 (Tentang Hak Asasi Manusia), Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Salah satu tonggak dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, adalah ketika organisasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada 1946.
Langkah untuk pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948.
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang melekat pada setiap diri manusia sejak lahir (hak hidup, hak merdeka, dan hak memiliki).
Perkembangan Pemaknaan Terhadap HAM :
1.Hak-hak Asasi Ekonomi (property rights),
2.Hak-hak Asasi Pribadi (personal rights),
3.Hak-hak Asasi Politik (political rights),
4.Hak-hak Asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).
5. Hak-hak Asasi Sosial dan Kebudayaan (social and cultural rights),
6. Hak-hak Asasi manusia untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).
Istilah hak dasar atau hak asasi manusia antara lain, tercantum dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD sementara 1950, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Perwakilan No. XIV/ MPRS/1966, dan Ketetapan No.. XVII/MPR/1998.Bahwasetelah dikeluarkannya :
Tap MPR No. XVII/MPR/1998,
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Penegakan HAM
Salah satu tonggak dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, adalah ketika organisasi Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk Komisi PBB untuk Hak Asasi Manusia pada 1946.
Langkah untuk pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948.
Peran Serta Dalam Upaya Pemajuan, Peng-hormatan, dan Penegakan HAM di Indonesia
Peran serta dan upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia, telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Peran Serta Pemerintah :
1) Pada tanggal 7 Juni 1993, telah diupayakan berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
2) Disahkannya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia pada tanggal 13 November 1998.
3) Dalam amandemen UUD 1945, persoalan HAM mendapat perhatian khusus, yaitu dengan ditambahkannya Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri atas pasal 28 A hingga 28 J.
4) Berdirinya pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2000.
5) Pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggraan (KPP) HAM tahun 2003 yang mempunyai tugas pokok untuk menyelidiki kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM, antara lain kasus di Tanjung Priok dan Timor-Timur.
Peran Serta LSM :
Berbagai LSM, telah melakukan advokasi terhadap para korban keja-hatan HAM, antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum In-donesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Keke-rasan (KonTras), Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manu-sia (Elsham). Mereka berperan dalam memberikan bantuan hukum kepada korban kejahatan HAM serta menyebarluaskan pentingnya perhatian thd persoalan HAM.
Hambatan dan Tantangan Dalam Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Penegakan HAM di Indonesia
Perkembangan HAM di Indonesia :
Era 1945 s.d. 1955, bangsa Indonesia banyak disibukkan oleh perjua-ngan untuk mempertahankan kemerdekaan dan terjadinya rongrongan oleh berbagai pemberontakan sehingga masalah HAM masih terabaikan.
Era Orde Lama (1955-1965) hingga peristiwa G 30S PKI 1965, masih terjadi krisis politik & kekacauan sosial sehingga persoa-lan HAM tidak memperoleh perhatian.
Era Orde Baru (1966-1998), dalam perjalanannya rezim ini ku-rang konsisten terhadap masalah HAM. Meskipun telah berhasil membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Era Reformasi, telah banyak melahirkan produk peraturan perundangan tentang hak asasi manusia :
Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 5 Tahun 1998 tentang pengesahan Konven-si menentang penyiksaan dan perlakuan atau peng-hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasio-nal Anti Kekerasan terhadap perempuan.
Keppres No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia Indonesia.
Inpres No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Amandemen kedua UUD 1945 (2000) Bab XA Pasal 28A-28J mengatur secara eksplisit Pengakuan dan Jaminan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia.
. Hambatan Penegakan HAM :
Hambatan umum dalam pelaksanaan dan
penegakan HAM di Indonesia :
• Faktor Kondisi Sosial-Budaya
• Faktor Komunikasi dan Informasi
• Faktor Kebijakan Pemerintah
• Faktor Perangkat Perundangan
• Faktor Aparat dan Penindakannya (Law Enforcement).
Tantangan Penegakan HAM :
Tantangan Penegakan HAM :
1. Prinsip Universlitas,
2. Prinsip Pembangunan Nasional,
3. Prinsip Kesatuan Hak-Hak Asasi Manusia (Prinsip Indivisibility),
4. Prinsip Objektifitas atau Non Selektivitas,
5. Prinsip Keseimbangan,
6. Prinsip Kompetensi Nasional,
7. Prinsip Negara Hukum.
Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia
Kepres No.129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (RANHAM) Indonesia yg kemudian diubah dengan Kepres No. 61 Tahun 2003. Mrp upaya nyata untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa yg berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(enam) Program Utama
RANHAM 2004 – 2009 :
• Pembentukan dan pengua-tan institusi pelaksanaan RANHAM,
• Persiapan ratifikasi instru-men HAM Internasional,
• Persiapan harmonisasi pera-turan perundang-undangan,
• Diseminasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia,
• Penerapan norma dan standar HAM, dan
• Pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
. Instrumen Hukum HAM Internasional
Piagam PBB menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikannya HAM adalah untuk menyebarluaskan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa memandang perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama.
Sejarah mencatat bahwa dari masa ke masa, terdapat berbagai kejahatan kemanusiaan yang membawa banyak korban manusia, baik yang meninggal maupun yang dilukai hak-hak dasarnya sebagai manusia. Berikut ini adalah beberapa catatan tentang peristiwa-peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang sempat menjadi isu internasional.
No Ngr & Th Kejadian/Peristiwa
1.Jerman
1923 Setelah kemenangan pemilu melalui Partai Buruh Jerman Sosialis, Adolf Hitler mendirikan negara totaliter. Lawan-lawan politiknya ditangkapi dan berbagai kejahatan kemanusiaan dilakukannya, dari gerakan pembasmian orang-orang Yahudi, agresi ke Austria dan Cekoslowakia (1938), hingga meletupkan Perang Dunia II dengan menyerbu Polandia (1939).
2.Uni Soviet
1979 85.000 tentara Uni Soviet, mengadakan invansi (penyerbuan) ke Kabul (Afganistan) yang mendukung pemerintahan Babrak Karmal melalui kudeta sehingga menimbulkan korban perang berkepanjangan sampai tahun 1990-an.
3.Uganda
1971 Idi Amin yang menjadi presiden Uganda pada 1971-1979 telah menjalankan pemerintahannya dengan otoriter, lalim dan penuh teror. Mulai dengan pengusiran 80.000 keturunan Asia, penangkapan semena-mena, hingga tidak kurang 300.000 orang korban pembunuhan tanpa proses peradilan.
4.Amerika
Serikat
1989 Pembantaian anak-anak, pelakunya Patrick Edward P. Ia memberondong murid SD di Cleveland (California) dengan korban 5 tewas dan 30 luka-luka. Semua korban adalah anak Asia sehingga diduga unsur rasialisme. Peristiwa serupa pernah terjadi antara tahun 1985-1988 di Alabama, Illionis, Chicago, Philadelphia, dan Florida.
PBB telah membentuk komisi untuk Hak Asasi Manusia (The United Nations Commission on Human Rights).
Memiliki kekuasaan untuk mengadili dan menghukum para penjahat kemanusiaan Internasional (pelanggar HAM berat). Terdiri dari 18 negara anggota, berkembang menjadi 43 anggota. Indonesia diterima tahun 1991.
Cara kerja komisi PBB, sebagai berikut :
Melakukan pengkajian thd pelanggaran-pelanggaran yg dilakukan.
Seluruh temuan Komisi ini dibuat dalam Yearbook of Human Rights yang disampaikan kepada sidang umum PBB.
Setiap warga negara dan atau negara anggota PBB berhak mengadu kepada komisi ini.
Mahkamah Internasional, segera menindak lanjuti pengaduan. Hasil pengkajian/temuan, ditindaklan-juti untuk diadakan pendidikan, penahan, dan proses peradilan.
Beberapa contoh pelaksanaan dan proses pengadilan internasional yang mengadili pelanggaran HAM :
Tahun 1987, Klaus Barbie (Nazi Jerman) dihukum seumur hidup, bersalah karena telah menyiksa 842 orang Yahudi dan partisan Perancis (343 tewas).
Februari 1993, DK PBB mengeluarkan resolusi 808 untuk mengadili para penjahat perang pelanggar HAM di bekas negara Yugoslavia yang melakukan etnic cleansing. Pemimpin yang dianggap paling bertanggung jawab adalah Slobodan Milosevic dan Ratko Mladic.
Maret 1993, Komisi HAM PBB telah mempublikasikan sebuah laporan yang menyatakan bahwa militer El Salvador bertanggung jawab atas pelanggaran HAM selama perang 12 tahun

PENUTUP
A. Kesimpulan
Hak Asasi Manusia dalam pengertian hukum, tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri, bahkan tidak dapat dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-sebab lainnya, karena manusia dapat kehilangan martabatnya.
lanjut Philips M. Hadjon mengungkapkan bahwa perkembangan konsep hak-hak asasi manusai seirama dengan perkembangan hukum alam, oleh karena itu perdebatannya tidak statis, melainkan merupakan bagian dari suatu proses dialektis yang berkesinambungan dan lewat proses konsep-konsep hak-hak asasi manusia pada abad ke-20 adalah merupakan sistesis dari abad ke- 18 dan anti tesis pada abad ke-19.
Saran-Saran
1.Sebaiknya penerapan pelaksanaan HAM di Indonesia berjalan dengan baik
2.Pelanggaran HAM harus ditindaki secara tegas karena dapat merugikan kepentingan orang lain

Daftar Pustaka
Alim, Muhammad. 2001, Demokrasi dan HAM dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. yogyakarta : UII-Press
Harahap, Krisna. 2003. HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Bandung : Grafitri Budi Utama
Hartono, Sunaryati, Politik untuk Menuju Sistem Hukum Nasional, Bandung Alumni
Kesuma, Muliyana W. 1981. Hukum dan HAM, Bandung Alumni
Prof.Mr. LJ.van Apeldon –Inlerding lot de studie van het Nederlandsche Recht.
Prof. Sudirman Kartodiprodjo S.H,- Pengantar Tata Hukum Indonesia – Kuliah PIH/PTHI Tahun 1954 – 1957 pada Fakultas Hukum U.I.
Drs. E.. Utrecht S.H – Pengantar Dalam Hukum Indonesia.
Prof.. Mr.J.Van Kan – Inleidinglot de Rechiswetenschap.
Prof. Mr. J. Van Kranenburg- Grondslagen der Rechtwetenschap.

BERBAGAI SITIM HUKUM

A body of rules that delineate private rights and remedies, and govern disputes between individuals in such areas as contracts, property, and Family Law; distinct from criminal or public law. Civil law systems, which trace their roots to ancient Rome, are governed by doctrines developed and compiled by legal scholars. Legislators and administrators in civil law countries use these doctrines to fashion a code by which all legal controversies are decided.
The civil law system is derived from the Roman Corpus Juris Civilus of Emperor Justinian I; it differs from a common-law system, which relies on prior decisions to determine the outcome of a lawsuit. Most European and South American countries have a civil law system. England and most of the countries it dominated or colonized, including Canada and the United States, have a common-law system. However, within these countries, Louisiana, Quebec, and Puerto Rico exhibit the influence of French and Spanish settlers in their use of civil law systems.
In the United States, the term civil law has two meanings. One meaning of civil law refers to a legal system prevalent in Europe that is based on written codes. Civil law in this sense is contrasted with the common-law system used in England and most of the United States, which relies on prior case law to resolve disputes rather than written codes. The second meaning of civil law refers to the body of laws governing disputes between individuals, as opposed to those governing offenses that are public and relate to the government—that is, civil law as opposed to Criminal Law.
In France, the civil law is set forth in the comprehensive French Civil Code of 1804, also known as the Code Napoléon. France exported this legal system to the New World when it settled Louisiana in 1712. When the French ceded Louisiana to Spain in 1762, the new Spanish governor replaced French civil law with Spanish civil law. France regained control of the territory in 1803 and the United States purchased it a mere 20 days later. During that brief period of French rule, the French prefect abolished all Spanish courts but did not reintroduce French law. Hence, the new U.S. governor of Louisiana, William Claiborne, took control of a territory that lacked a legal system.
Determined to Americanize Louisiana, Claiborne attempted to impose Common Law but met fierce resistance from Louisianans who had grown accustomed to their mixture of French and Spanish laws and culture. Realizing that he would not be able to mandate a common law system, he directed the state's legislature to draft a civil code based on existing law. Louisiana's first civil code, enacted in 1808, drew heavily from the Code Napoléon and was even written in French. It was replaced in 1825 by a more comprehensive and detailed code. Finally, the Louisiana Civil Code, enacted in 1870 and still largely in force, clarifies and simplifies the earlier laws. The 1870 code is written in English, signaling a shift toward a partial Americanization of Louisiana's legal culture. To this day, Louisiana enjoys the distinction of being the only state in the United States to have a civil law system rather than a common-law system.
The first article of the Louisiana Civil Code reads: "The sources of law are legislation and custom" (LA C.C. Art. 1). This means that judges in Louisiana are obligated to look first to written laws for guidance in reaching their decisions. If no statute directly governs the dispute, judges may base their decisions on established custom. Article 3 defines custom as a "practice repeated for a long time and generally accepted as having acquired the force of law." However, Article 3 makes it clear that custom may not abrogate or conflict with legislation. Hence, Louisiana judges do not make law with their decisions; rather, the code charges them with interpreting, as closely as possible, what has been written and passed by the legislature or long established by custom.
Louisiana judges, unlike their common-law counterparts, are not bound by judicial precedent. Common-law judges adhere to the doctrine of Stare Decisis, which mandates that the outcome of a lawsuit be governed by previous decisions in similar cases. Louisiana's civil code does not recognize the binding force of precedent. However, under the civil law doctrine of jurisprudence constante, or settled Jurisprudence, judges are expected to follow a series of decisions that agree on the interpretation of a code provision.
Although Louisiana is generally called a civil law state, its code is imbued with some common-law features, making it a hybrid of the two traditions. The state's constitution, administrative and criminal law, civil and Criminal Procedure, and RULES OF EVIDENCE all contain elements derived from common-law principles. As a result, Louisiana judges operate under administrative rules that differ from those found in other civil law jurisdictions. For example, whereas European judges actively elicit the facts in a controversy and seldom use a jury, Louisiana judges operate more like their common-law colleagues, assuming the role of neutral and passive fact finder or arbiter, and leaving the final decision to a jury. Oral argument is generally absent in a pure civil law proceeding, whereas Louisiana's procedural and evidentiary rules allow oral presentations, resulting in trials that are closer to those found in a common-law court. Finally, European courts allow almost unlimited discovery by the accused in a lawsuit, whereas Louisiana's procedural and evidentiary rules place certain restrictions on such discovery.
Civil law systems differ from common-law systems in another important way: in a common-law jurisdiction, appellate courts, in most instances, may review only findings of law. However, civil law appellate courts may review findings of fact as well as findings of law. This allows a Louisiana appellate court to declare a jury's decision erroneous, impose its own findings of fact, and possibly even reduce a damage award. This is a significant consideration for a plaintiff who has a choice of whether to file suit in Louisiana or in another state (to bring suit in a particular state, a plaintiff must demonstrate some relationship between that state and the lawsuit). Since a jury award could be overturned on appeal, the plaintiff with a strong case may wish to file in a common-law state. On the other hand, if the plaintiff is uncertain of success at the trial level, the possibility of broader review on appeal may make Louisiana the better choice. As a practical matter, such dilemmas arise infrequently, and most often involve complex multistate litigation concerning corporations.
civil law n. 1) a body of laws and legal concepts which come down from old Roman laws established by Emperor Justinian, and which differ from English Common Law which is the framework of most state legal systems. In the United States only Louisiana (relying on the French Napoleonic Code) has a legal structure based on Civil Law. 2) generic term for non-criminal law.

CIVIL LAW. The municipal code of the Romans is so called. It is a rule of action, adopted by mankind in a state of society. It denotes also the municipal law of the land. 1 Bouv. Inst. n. 11. See Law, civil.


The ancient law of England based upon societal customs and recognized and enforced by the judgments and decrees of the courts. The general body of statutes and case law that governed England and the American colonies prior to the American Revolution.
The principles and rules of action, embodied in case law rather than legislative enactments, applicable to the government and protection of persons and property that derive their authority from the community customs and traditions that evolved over the centuries as interpreted by judicial tribunals.
A designation used to denote the opposite of statutory, equitable, or civil, for example, a common-law action.
common law n. the traditional unwritten law of England, based on custom and usage which developed over a thousand years before the founding of the United States. The best of the pre-Saxon compendiums of the Common Law was reportedly written by a woman, Queen Martia, wife of a Briton king of a small English kingdom. Together with a book on the "law of the monarchy" by a Duke of Cornwall, Queen Martia's work was translated into the emerging English language by King Alfred (849-899 A.D.). When William the Conqueror arrived in 1066, he combined the best of this Anglo-Saxon law with Norman law, which resulted in the English Common Law, much of which was by custom and precedent rather than by written code. By the 14th Century legal decisions and commentaries on the common law began providing precedents for the courts and lawyers to follow. It did not include the so-called law of equity (chancery) which came from the royal power to order or prohibit specific acts. The common law became the basic law of most states due to the Commentaries on the Laws of England, completed by Sir William Blackstone in 1769, which became every American lawyer's bible. Today almost all common law has been enacted into statutes with modern variations by all the states except Louisiana which is still influenced by the Napoleonic Code. In some states the principles of common law are so basic they are applied without reference to statute.
The common-law system prevails in England, the United States, and other countries colonized by England. It is distinct from the civil-law system, which predominates in Europe and in areas colonized by France and Spain. The common-law system is used in all the states of the United States except Louisiana, where French Civil Law combined with English Criminal Law to form a hybrid system. The common-law system is also used in Canada, except in the Province of Quebec, where the French civil-law system prevails.
Anglo-American common law traces its roots to the medieval idea that the law as handed down from the king's courts represented the common custom of the people. It evolved chiefly from three English Crown courts of the twelfth and thirteenth centuries: the Exchequer, the King's Bench, and the Common Pleas. These courts eventually assumed jurisdiction over disputes previously decided by local or manorial courts, such as baronial, admiral's (maritime), guild, and forest courts, whose jurisdiction was limited to specific geographic or subject matter areas. Equity courts, which were instituted to provide relief to litigants in cases where common-law relief was unavailable, also merged with common-law courts. This consolidation of jurisdiction over most legal disputes into several courts was the framework for the modern Anglo-American judicial system.
Early common-law procedure was governed by a complex system of Pleading, under which only the offenses specified in authorized writs could be litigated. Complainants were required to satisfy all the specifications of a writ before they were allowed access to a common-law court. This system was replaced in England and in the United States during the mid-1800s. A streamlined, simplified form of pleading, known as Code Pleading or notice pleading, was instituted. Code pleading requires only a plain, factual statement of the dispute by the parties and leaves the determination of issues to the court.
Common-law courts base their decisions on prior judicial pronouncements rather than on legislative enactments. Where a statute governs the dispute, judicial interpretation of that statute determines how the law applies. Common-law judges rely on their predecessors' decisions of actual controversies, rather than on abstract codes or texts, to guide them in applying the law. Common-law judges find the grounds for their decisions in law reports, which contain decisions of past controversies. Under the doctrine of Stare Decisis, common-law judges are obliged to adhere to previously decided cases, or precedents, where the facts are substantially the same. A court's decision is binding authority for similar cases decided by the same court or by lower courts within the same jurisdiction. The decision is not binding on courts of higher rank within that jurisdiction or in other jurisdictions, but it may be considered as persuasive authority.
Because common-law decisions deal with everyday situations as they occur, social changes, inventions, and discoveries make it necessary for judges sometimes to look outside reported decisions for guidance in a CASE OF FIRST IMPRESSION (previously undetermined legal issue). The common-law system allows judges to look to other jurisdictions or to draw upon past or present judicial experience for analogies to help in making a decision. This flexibility allows common law to deal with changes that lead to unanticipated controversies. At the same time, stare decisis provides certainty, uniformity, and predictability and makes for a stable legal environment.
Under a common-law system, disputes are settled through an adversarial exchange of arguments and evidence. Both parties present their cases before a neutral fact finder, either a judge or a jury. The judge or jury evaluates the evidence, applies the appropriate law to the facts, and renders a judgment in favor of one of the parties. Following the decision, either party may appeal the decision to a higher court. Appellate courts in a common-law system may review only findings of law, not determinations of fact.
Under common law, all citizens, including the highest-ranking officials of the government, are subject to the same set of laws, and the exercise of government power is limited by those laws. The judiciary may review legislation, but only to determine whether it conforms to constitutional requirements.
Daftar Pustaka
Cantor, Norman F. 1997. Imagining the Law: Common Law and the Foundations of the American Legal System. New York: HarperCollins.
Kellogg, Frederic R. 2003. "Holmes, Common Law Theory, and Judicial Restraint." John Marshall Law Review 36 (winter): 457–505.
Pound, Roscoe. 1999. The Spirit of the Common Law. New Brunswick, N.J.: Transaction.
Strauss, David A. 2003. "Common Law, Common Ground, and Jefferson's Principle." Yale Law Journal 112 (May): 1717–55.

PERANAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) DALAM KEGIATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PERANAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
DALAM KEGIATAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh Lukman, Mhs S2 UID

A.Latar belakang
Sejalan dengan tuntutan reformasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah ,memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional ,serta memperkuat negara kesatuan Republik indonesia. Maka dalam rangka pembaharuan konstitusi ,MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik indonesia (DPD RI) ini di lakukan melalui perubahan ketiga Undang undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada bulan November Tahun 2001.
Keinginan yang kuat untuk mengakomodir aspirasio Daerah sekaligus memberikan peran yang lebih besar kepada Daerah dalam proses pengambilan keputusan politik tingkat Nasional .Keberadaan unsur utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI sebelum perubahan UUD 1945,di anggap tidak memadai untuk menjawab tantangan tersebut.Fenomena yang menarik dalam dunia pemberantasan tindak pidana Korupsi ,ketika DPR RI memberikan sambitan hangat terhadap lahirnya Komisi pemberantasan di Republik dengan di sahkannya UU No.30 Tahun 2002 tentang komisi pemberantasan Tindak pidana Korupsi menjadi angin segar terhadap pemberantasan kejahatan kejahatan yang berhubungan langsung dengan kuangan Negara/masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian ,Transparancy Tnternational ,yang mengungkapkan DPR sebagai Lembaga yang terkorup di mata Publik ,Stigma ini semakin Heboh ,Perihal lirik Lagu ,Grup Band Slank :Gosip Jalanan, yang cenderung menyentil prilaku anggota DPR .Berbagai kasus korupsi besar justru terungkap oleh publik .Prediksi pemerhati korupsi Dunia Jarred Diemen dalam Bukunya ,Collaps 2005 lalu,memprediksi bahawa indonesia sebagai 14 Negara terkorup di dunia ,menjadi salah satu contoh negeri yang akan gagal seperti halnya kegagalan Romawi,Turki,Mojo Pahit yang runtuh karena persoalan korupsi yang tidak tertangani dengan serius. Berdasarkan hasil survey PERC(Political end Economic Risk Consultancy )tahun 2008 yang bermarkas di Hongkong di lakukan pada bulan januari sampai pebruari tahun 2008 atas 1400 warga negara asing pelaku Bisnis telah memposisikan indonesia telah membaik di bandingkan skor PERC tahun 2007 lalu 8,03 kini Negara kita menjadi 7,98 dengan terbongkarnya berbagai kasus korupsi .Semoga prediksi ini menjadi sebagai sebagai media intropeksi.
Pemaparan di atas menunjukkan betapa ironisnya bangsa ini yang tumbuh dan berkembang di tengah tengah kasus korupsi yang di lakukan oleh panglima penegak Hukum seperti yang terjadi antara polri vs KPK dengan istilah Cicak Buaya dalam rangka membongkar kasus Bank Century yang telah merugikan Negara 6,7 Trilyun sampai saat ini belum di ketahui kemana aliran dana tersebut .Hal ini menjadi suatu tantangan berat ,bukan hanya tugas lembaga pemberantasan korupsi melainkan menjadi tugas kita bersama bangsa ini.

B.Rumusan Masalah.
1 Pengertian dan peranan DPD RI
2. Kerawanan dan Potensi korupsi
3. Mengapa Korupsi terjadi
4. Korupsi perlu di berantas.
5. Tinjauan Korupsi di indonesia
a.Sejarah Korupsi di indonesia
6.Tugas pemberantasan Korupsi tugas kita bersama.
1. PENGERTIAN DAN PERANAN DPD RII
DPD RI adalah merupakan lembaga perwakilan baru dalam sistim ketatanegaraan indonesia yang di bentuk berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945.DPD RI di bentuk dalam rangka mengakomodasi kepentingan Daerah melalui perumusan kebijakan di tingkat nasional.Dewan perwakilan Daerah didirikan berdasarkan Undang undang No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis permusyarawatan Rakyat,DPR,DPD dan DPRD .Tugas pokok DPD RI adalah menyerap ,menghimpun ,menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat dan daerah di samping itu mempunyai kewenangan antara lain berupa pengawasan yang yang berkaitan dengan pelaksanaan undang undang mengenai otonomi Daearah dan anggara pendapatan belanja negara (APBN) Keuangan Negara dan pajak.
Secara garis besar fungsi DPD RI.
1. Fungsi legislasi adalah ikut dalam pembahasan pembuatan Undang undang dan usul inisiatif Undang undang yang terkai 5 bidang kedaerahan yaitu otonomi Daearah ,Hubungan pusat dan daerah , Pembentukan pemekaran serta penggabungan Daerah ,pengelolaaan sumber Daya dan Sumber daya ekonomi terkait dengan perimbangan pusat dan Daerah.
2. Fungsi Konsultasi adalah memberikan pertimbangan baik soal anggaran pendapatan belanja Negara (APBN) pajak ,pendidikan dan agama dan memberi pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK
3. Saluran formasi Aspirasi Daerah.

Dari ketiga fungsi strategis DPD tersebut dapat di kembangkan dalam kegiatan riil pemberantasan korupsi misalnya menerima pengaduan masyarakat tentang korupsi ,mendistribusikan formulir laporan Gratifikasi ,mendistribusikan formulir LHKPN, melakukan pemantauan penanganan kasus kasus tindak pidana korupsi di daerah,memberikan pertimbangan terhadap arah dan kebijakan maupun distribusi dan alokasi anggaran yang terkait dengan otonomi daerah ,hubungan pusat dan Daerah,pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya ekonomi daerah
Laporan tindak pidana korupsi yang telah di sampaikan DPD RI kepada KPK Tahap 1 tanggal 28 maret tahun 2008 . Prov Bengkulu(dana perimbangan khusus PBB) Rp.21,32 M
-Kab waropen papua APBD TA 2004-2006 Rp. 11,13 M
-Kab waropen papua OTSUS TA 2004 Rp. 8,5 M
-Kab yapen waropen, Papua( OTSUS)TA 2004 Rp. 8,3 M
-Kab tolikara ,papua ( NON DIK) tak tersangka RP. 28,39 M
- Prov SUMUT PNBP Univ Sumut Rp. 93,21 M
- Kab Bombana SULTRA APBD TA. 2005-2007 RP. 36,60 M
-Kab Tanah Toraja sul sel APBD TA 2004-2006 Rp. 10,40 M

Laporan tahap 11 (kedua) tanggal 4 juli tahun 2008.
-Kab Gorontalo pembuatan sinetron sejarah Gorontalo Rp. 3,5 M.
-Kota Gorontalo ( Bantuan kepada persatuan sepak bola) Rp. 2,6 M
Gorontalo TA 2006-2007
Kab. Tangerang APBD TA 2003/2007 pembangunan jalan
Lingkar selatan RP. 28,7 M
- Kabupaten Tangerang (Raskin Tahun 2007 ) Rp. 10,7 M
- Prov Maluku( konflik Maluku ) Rp. 1,4 M
- Prov Jawa Timur ( Proyek Outsourcing Customer) Management Rp 152,6

Systim PT PLN Persero)
Laporan tahap ke 111 . .Sebanyak 4 Laporan dugaan korupsi telah di sampaikan ke KPK tgl 6 Pebruari 2009
-. Kab Rokan Hulu ,Riau. Pengadaan Genset dan perlengkapannya Pada tahun anggaran 2005-2006 dengan indikasi kerugian negara senilai Rp.11,192 M
-. Prov Papua APBD tahun Anggara 2006,Belanja bantuan keuangan pada APBD Indikasi kerugian Negara di perkirakan sebesar Rp.5,2 M
-. PT.ASDP Pengadaan Kapal Bekas Korea dan Bantuan tsunami Aceh pada PT ASDP,Angkutan sungai Danau dan penyeberanganIndonesia Fery tahun 2003 sampai 2007 indikasi korups kerugian Negara di perkirakanRp.12,3 M dan US$ 660 ribu.
-. Borang Sumatera Selatan Pengadaan mesin pembangkit Listrik truck mourted 2500 pada PT PLN Persero . Di Borang Sumatera Selatan dengan indikasi kerugian Negara senilai US$ 6,53 juta.
Sebagai salah satu badan legislatif dengan fungsi kewenangan penuh untuk mengajukan usul membahas pertimbangan dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terutama yang menyangkut kepentingan Daerah,Untuk memperkuat sistim checks balance melalui amandement UUD 1945 dan mengembangkan pola hubungan kerja sama yang sinergis dan strategis dengan pemangku kepentingan utama di daerah dan pusat. Penegakan hukum(Law enforcement) harus jelas dan tegas dan tidak pernah kompromi lagi Menurut Prof Dr Satjipto Rahardjo,SH,bahwa penegakan Hukum Progresif,kepentingan dan kebutuhan bangsa lebih di perhatikan dari pada bermain main dengan pasal,dokrin,dan prosedur.
Hilangkan pertimbangan pertimbangan politis sesaat dengan motif pelanggenan kekuasaan ,sudah saatnya kita harus memiliki pemimpin seperti perdana menteri China Zhu Rongi yang pada pelantikannya tahun 1998,di kenal dengan perkataannya,untuk melenyapkan korupsi saya menyiapkan 100 peti mati,99 untuk para koruptor dan 1 satu saya bila saya berbuat yang sama. Ungkapan ini yang belum pernah di ucapakan oleh pemimpin negeri ini.

2. KERAWANAN DAN POTENSI KORUPSI
Kerawanan Korupsi terjadi di mulai dari lemahnya sistim administrasi ,adanya disparitas pendapatan yang tinggi dan sering terjadi di area penyusunan anggaran ,pemasok anggaran dan kegiatan kegiatan di antaranya pada pengadaan barang ,perijinan ,pelayanan publik dll. Lebih dalam sendiri potensi potensi korupsi perlu terus di antisipasi dan di cari solusinya di antaranya sisi negativ pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa ,kesejahteraan ,nilai nilai sosial kemasyarakatan merupakan potensi dan kerawanan korupsi.
3. MENGAPA KORUPSI TERJADI ?
Perilaku Korupsi secara sederhana bisah di contohkan dengan menyebutkan tindakan penggelapan ,penyalagunaan jabatan penerimaan suap penyalagunaan wewenang dll. Prof Robert Klitgaard merumuskan terjadinya korupsi di jabarkan melalui sebuah persamaan yang terkenal yaitu:C=M+D-A.
C= Coruption
M=Monopoly (monopoli kekuasaan)
D=Discretionary Power (kebebasan memilih atau menentukan Penjabat)
A=Acountability(Akuntabilitas)
Secara matematis terjadinya korupsi merupakan fungsi dan penjumlahan monopoli kekuasaan di tambah di tambah dengan kewenangan di kurangi Akuntabilitas .Semakin M dan D akan memperbesar korupsi sebaliknya kalau sekmakin besar akan mengurangi kemungkinan korupsi
Good governance merupakan syarat mutlak mewujudkan pemerintahan yang bersi dan berwibawa ,namun skort kita masih memprihatinkan kita.
Good Governance di Asia Tenggara Tahun 1999.
Negara Indeks Efesiensi peradilan Indeks Korupsi Indeks Good
Governance Kategori Kualitas
Governance
Malaysia 9,00 7,38 7,72 Good Governance
Singapura 10,00 8,22 8,93 Good Governance
Thailand 3,25 5,18 4,89 Fair Governance
Filipina 4,75 7,92 3,47 Fair Governance
Indonesia 2,50 2,15 2,88 Poor Governance
Sumber Booz Allen & Hamilton seperti di kutip Irwan (2000)dan Hutherand shah(2000)

Yang menarik data tabel di atas terlihat hubungan yang positif antara indeks korupsi ,efesiensi peradilan dan indeks Good Governance.
4. MENGAPA KORUPSI PERLU DIBERANTAS?
Menurutn PBB/UNCAC korupsi telah menghancurkan Demokrasi ,tatanan Hukum Pembangunan kesinambungan ,pasar kualitas hidup ,keamanan masyarakat ,bahkan indonesia sendiri telah menyatakan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary Crime) yang ongkos sosial dan korupsi justru diderita oleh rakyat diantaranya:
a. Kegagalan fungsi peraturan ,Misal orang di biarkan merusak lingkungan karena sudah memberi suap kepada pengawas lingkungan /tambang mengakibatkan daya dukung lingkungan rusak yang menyebabkan banjir ,dan kekeringan sehingga masyarakat kehilangan mata pencaharian..
b. Kesalahan pengalokasian proyect/anggaran.
c. Terbuangnya waktu untuk pengurusan perijinan resmi misalnya industri dan perdagangan , pengurusan SIM yang lebih lama di banding jalur tidak resmi mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik.
d. Kelambatan /kurangnya sumber daya pendapatan pajak /bea cukai yang tidak terkumpul seperti seharusnya.
e. Kualitas pekerjaan yang rendah ,nilai suap /korupsi yang sampai 30 % dari nilai kontrak barang /jasa akan menurunkan kualitas barang/jasa.
f. Penghindaran oleh Birokrasai ,hanya mau melayani pada rakyat yang membayar suap besar.

5. TINJAUAN KORUPSI DI INDONESIA
Korupsi di indonesia secara umum terjadi karena kan beberapa sebab di antaranya sikap permisif di masyarakat ,peraturan perundang undangan yang tidak memadai ,lemahnya penegakan hukum ,kurangnya keteladanan dan kepemimpinan juga sistim penyelenggaraan negara ,pengelolaan dunia usaha yang tidak mengindahkan prinsip prinsip Good Governance ,bahkan sebagian masyarakat dalam memahami ajaran budaya dan agama sering di belokkan pemahamannya contoh Riilnya ;Rejeki yang kita terima terkandung juga rejeki orang lain: Orang lain di sini tidak di pahami sebagai orang yang memerlukan bantuan misalnya panti sosial ,orang miskin ,orang tyerlantar justru di artikan adalah orang orang yang telah berjasa terhadap rejeki yang di dapatnya misalnya kalau dapat project dari pemerintah akan melakukan penyuapan ke manejer project,kalau undang undang di golkan karena menguntungkan usahanya akan menyuap DPR dll
Sejarah Korupsi di Indonesia.
Sejarah pemberantasan korupsi di indonesia sendiri sudah cukup panjang bahkan lebih dulu seperti yang di lakukan Malaysia dengan berdirinya Badan Pencegah Rasuah tahun 1967,atau Brunei dengan Badan Mencegah Rasuah tahun 1968 ,Hongkong dengan ICAC (Indepent Commisian on anti Coruption) tahun 1974 yang prestasinya fenomenal .
Faktor faktor yang mendasari suksesnya pemberantasan korupsi di negara lain di antaranya.:
a. Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak Hukum dalam pemberantasan Korupsi
b. Langkah langkah koprehensif antara penindakan dan pencegahan untuk mencegah prilaku korupsi tidak menyebar dan menular. Korupsi di indonesia sudah ada sejak zaman VOC (Veerenigde Oost Indishe Copagnie) yang bangkrut kemudian hancur perang dan korupsi yang merajalela di dalam tubuhnya sendiri ,dan di teruskan di pemerintahan kolonial Inggris,Belanda dan Jepang .Pada awal tahun kemerdekaan istilah korupsi secara yuridis belum di kenal ,definisi korupsi yang di kaitkan keuangan negara belum muncul ,walaupun ada beberapa tindakan tidak jujur atau upaya memperkaya diri sendiri yang di lakukan oleh beberapa elit kekuasaan .Istilah maling ,Rampok ,tukang catut lebih di pahami untuk menggambarkan prilaku seseorang yang korup
Beberapa organisasi yang pernah di bentuk untuk memberantas korupsi:
a. Peraturan penguasa militer Angkatan darat dan laut RI No PRT/PM/06/1957,sebagian besar dan militer di anggap mampu untuk itu kalangan waktu itu berpendapat bahwa pemberantasan korupsi harus di lakukan secara efektif dan efisien dan militer di anggap mampu untuk itu.Untuk memperkuat peraturan ini ,di keluarkan lagi peraturan penguasa militer No. PRT/PM/08/1957. Yang mengatur tentang kepemilikan harta benda dan pertatura dan perampasan harta benda .Dalam perjalanannya peraturan tersebut di mamfaatkan oleh militer untuk mengambil asset asset perusahaan besar yang mayoritas di kuasai oleh Belanda .Tahun 1958 peraturan tersebut di tingkatkan menjadi peraturan nasional oleh KASAD selaku penguasa perang menjadi PRT/Peperlu/013/1958.Kewenangan baru di berikan yaitu kewenangan mengusut ,menuntut dan melakukan pemeriksaan tindak pidana korupsi serta kepemilikan harta Benda .Namun perkembangan selanjutnya justru bermasalah dan di sorot publik , karena dianggap bahwa militer tidak hanya mulai memasuki dunia Bisnis tetapi juga mengakibatkan banyaknya pejabat militer yang memperkaya diri sendiri secara tidak sah, yang akhirnya karena di anggap tidak terkendali oleh KASAD waktu itu Jenderal AH nasution mencabut UU No. 74 tahun 1957 tentang keadaan bahaya yang mendasari terbitnya peraturan peraturan militer itu.Dan dengan alasan yang mendasar pemerintah mengeluarkan perpu no. 24 tahun 1060 sebagai pengganti UU No .1 tahun 1961 sebagai payung pemberantasan korupsi,oleh karena politik yang memenas UU tersebut mati suri.
b. Tahun 1967 pemerintah menerbitkan Keppres no 28 tahun 1967 tentang pembentukan Tim pemberantasan Korupsi berdasarkan tuntutan masyarakat dan mahasiswa.Tahun 1968 soekarno meletakkan jabatan di depan umum MPRS,setelah itu korupsi makin merajalela seolah olah mendapat dukungan dari penguasa tahun 1970 dengan pertimbangan agar segala usaha pemberantasan korupsi berjalan denga efektif dan efesien.Keppres ini sebagai jawaban atas protes mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya ,yang mengatur pembentukan Komisi empat yang di ketuai Wilopo,Selain itu melalui Keppres no 13 Tahun 1970 presiden mengangkat M Hatta sebagai penasehat nTim pemberantasan Korupsi ,Selanjutnya keluar UU No 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana Korupsi
c. Tahun 1977 pemerintah membentuk operasi Tertib (opstib) untuk memberantas korupsi ,manipulasi dan pungutan liar
d. Tahun 1987 melalui surat menkeu No.S-1234/MK 04/87 menteri mengeluarkan kebenaran restitusi pajak.
e. Selanjutnya Tahun 1997/1998 terjadi krisis moneter serta tumbangnya pemerintahan soeharto karena desakan mahasiswa dan masyarakat seluruh indonesia .Peritiwa ini merupakan puncak protes atas begitu merajalelahnya praktek korupsi era pemerintahan Soeharto.
f. Tahun 1999 pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid membentuk Badan Negara untukk mendukung pemberantasan Korupsi di antaranya Tim gabungan penanggulangan Ttindak pidana Korupsi (TGP-TKP),Komisi Ombudsman Nasional,Komisi kekayaan pejabat Negara (KPKPN),selanjutnya UU No m28 Tahun 1999 di terbitkan yang mengatur tentang pemerintahan yang bersi dan bebasbdari KKN dan UU No .31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1973 tentang Tindak pidana Korusi.
g. Tahun 2001 di bawa pemerintahan megawati Keluarlah UU No .20 tahun 2002 tentang perubahan atas UU RI No .31 tahun 1999 tentang pemberantsan tindak pidana korupsi bersamaan dengan itu pemerintah membubarkan Komisi pemeriksa Kekayaaan pejabat Negara,
h. Tahun 2005 di era pemerintahan SBY di bentuk TIMTAS TIPIKOR berdasarkan Inpres sebuah Tim koordinasi antara Kejaksaan Agung,Kepolisian dan BPKP yang beberapa lama kemudian bubar.
Beberapa hal menarik kenapa oranisasi organisasi tersebut gagal.
1. Tidak memadai pada komponen pencegahan ,walaupun mandat yang di berikan mencakup pencegahan
2. Bagus hanya beberapa tahun pertama ,setelah itu malah ikut akorupsi.
3. Diarahkan hanya untuk penghukuman ,tidak cukup perhatian pada upaya pelacakan asset (hasil korupsinya)
4. Sering di persepsikan sebagai di gunakan untuk kepentingan tertentu.
5. Sistim manajemwn SDM tidak di arahkan untuk mendukung Kinerja.
6. Sistim manajemen keuangan tidak di arahkan untuk mendukung kinerja.

6. TUGAS PEMBERANTASAN KORUPSI ADALAH TUGAS RAKYAT BERSAMA.
Pemberantasan korupsi bisa di ibaratkan sebagai perang suci yang tidak bisa di prediksikan kapan selesainya,siapa yang memenangkan peperangan negara atau Koruptor ,tetapi yang perlu di yakini kegiatan pemberantasan korupsi ini perlu terus menerus di lakukan dan menjadi tanggung jawab seluruh warga negara ,beberapa hal yang dapat di jadikan faktor faktor keberhasilan kegiatan ini antara lain:
- Keinginan yang kuat dan bersungguh sungguh lembaga Eksekutif,Legislatif, maupun Yudikatif. Namun kenyataannya dari lembaga lembaga tersebut kesungguhan dalam pemberantsan korupsi di rasa masi kurang ,bahkan anggota lembaga tersebut justru terlibat dalam tindak pidana korupsi .Selain itu fungsi badan badan pengawasan yang belum efektif, peraturan perundang undangan yang kurang mendukung ,serta belum di terapkannya prinsip prinsip Good Governance di seluruh bidang.
- Keberanian dan terrebosan dari penegak hukum,kegiatan kegiatan ini bisa di ukur dengan jumlah yurisprudensi yang di hasilkan oleh putusan putusan pengadilan ,asset asset yang banyak di kembalikan dari tersangka/terdakwa ,Keberhasilan menangani korupsi yang bersifat sindikat, korupsi lintas negara dll.
- Keterlibatan masyarakat sipil tidak hanya LSM tetapi lembaga lembaga Keagamaan ,pendidikan bahkan pengusaha harus berperan aktif untuk mendorong terciptanya transparansi pengelolaan keuangan ,melalui kegiatan pendidikan anti korupsi baik di pendidikan formal maupun keagmaan ,mengkampanyekan Bisnis tanpa Suab
- Hukuman berat bagi pelaku kejahatan korupsi ,para penegak hukum perlu menyadari bahwa korupsi telah menimbulkan kerusakan yang hebat bagi bangsa dan negara oleh karena itu tidak perlu ragu menghukum seberat beratnya juga merampas aset yang di hasilkan melalui kejahatan korupsi.
- Melakukan reformasi birokrasi ,Instansi pemerintah, penegak hukum,dan instrumen negara lainnya perlu mencanangkan segera mengimplementasikan reformasi birokrasi .Dapat di mulai melalui sistim rekruitmen yang baik /independen .perencanaan jalur karir yang jelas ,sisti reward /punistment ,hubungan antar pegawai yang harmonis serta penataan ulang siistim rekruitmen.
- Penambahan kekayaan para pejabat perlu di laporkan,di umumkan di monitor secara terus menerus.
- Pendidikan anti korupsi perlu di lakukan secara massive di mulai dari usia dini hingga dewasa ,menjadi nilai nilai keluarga dan sosial
- Penguatan terhadap lembaga pengawas ,fungsi lembaga pengawas di perkut baik baik melalui pengawasan internal maupun pengawasan eksternal.-.Penertiban aparat penegak hukum.
- Nasional integrity pemerintah perlu segera panduan terkait Integritas nasional, baik yang mengatur aparatur negara ,para pelayan publik,maupun pengusaha sehingga jelas ,dapat di pahami dan di implementasikan oleh masyarakat mana yang boleh dan mana yang tidak boleh,serta membuat ukuran ukuran pelayanan publik yang harus di lakukan.
1.Pola pemberantasan korupsi yang ada kurang memberi efek jerah kepada para koruptor,lemahnya sistim admnistrasi kepegawaian kita ,sisi negative pola pikir manusia ,budaya ketaatan hukum ,visi bangsa sangat kurang.
2.Faktor tekanan sosial dalam masyarakat menurut Robert merton yang terkenal dengan Teorinya means ends scheme ,bahwa korupsi merupakan prilaku manusia yang di akibatkan tekanan sosial ,sehingga menyebabkan pelanggaran norma norma ini menjadi tantangan budaya kita yang cenderung menghargai orang yang lebih kaya dari pada orang miskin.
3.Tidak adanya tauladan yang memberi contah prilaku bebas korupsi .
4.Di dalam dunia politik ,korupsi mempersulit Demokrasi tata pemerintahan yang baik (Good Governance Korupsi yang mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai Demokrasi.
5.Di bidang ekonomi ,Korupsi yang mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan) dan ketidak efesienan yang tinggi
6.Peranan Dewam Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)masi sekedar memberi laporan adanya indikasi korupsi yang merugikan keuangan negara ke KPK
7. Semua lembaga lembaga yang di bentuk untuk memberantas korupsi belum mampu menyelesaikan dan menghilangkan korupsi di negeri ini
8. Kesungguhan para pemimpin pemerintahan dan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masi ragu ragu,serta langka langkah konprehensip antara penindakan dan pencegahan prilaku korupsi tidak menyebar dan menular).

PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI SIKLUS

PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI SIKLUS
Oleh: Burhan, Mhs S2 UID Kelas, Palu

A. Latar Belakang.
Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu
Perubahan sosial selalu terjadi disetiap masyarakat. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia itu saendiri. Manusia selalu berubah dan menginginkan perubahan dalam hidupnya. Manusia adalah makhluk yang selalu berubah, aktif, kreatif, inovatif, agresif, selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi disekitar lingkungan sosial mereka. Di dalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan sudah tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dan diganti dengan nilai-nili baru. Kemudian, nilai-nilai itu diperbaharui lagi dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih baru lagi. Nilai tradisional diganti dengan nilai modern, nilai modern diganti dan diperbaharui lagi dengan yang lebih baru lagi, yaitu post modern, dan seterusnya. Sejalan dengan perubahan nilai sosial itu, berubah pula pikiran dan perilaku anggota masyarakatnya. Di dalam masyarakat berkembang perilaku sosial dan pemikiran yang baru.
Perubahan dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks.
B. Tujuan
Segala sesuatu yang dikerjakan pasti mempunyai suatu tujuan, begitu pula dalam penulisan makalah ini diharapkan memperoleh suatu tujuan dan manfaat, baik untuk kepentingan ilmiah maupun non ilmiah. Sejalan dengan itu, ada suatu hal yang urgensi dalam penulisan makalah ini, yakni ingin mengungkap nilai-nilai perubahan sosial masyarakat ditinjau dari aspek penerapan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara di dalam masyarakat
C. Manfaat/Kegunaan
Sekecil dan segampang apapun yang kita kerjakan dalam hidup dan kehidupan ini, tentu kita berharap apa yang dikerjakan itu dapat bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, masyarakat, bangsa bahkan negara. Jangan pernah anda bertanya apa yang negara berikan kepadamu, akan tetapi tanyalah kepada diri anda sendiri, apa yang anda sumbangkan kepada bangsa dan negaramu (baca : John F Kennedi) Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini, penulis ingin memberikan suatu kontribusi ilmiah dengan formulasi hukum dan perubahan nilai-nilai sosial dalam perspektif interaksi antara hukum dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
D. Permasalahan
1.Apakah hukum dan perubahan itu ?
2.Bagaimana perubahan sosial itu ?
3.Bagaimana interaksi antara hukum dan masyarakat ?
4.Kegunaan apa yang dapat diperoleh dengan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara ?

PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ”bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.
B. Konflik dan Perubahan Hukum
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.
Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.
Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya, sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan sistem hubungan sosial yang khusus.
Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu adalah senantiasa produk konflik.
C. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat
Hukum sebagai sarana rekayasa (social engineering by law) atau biasa juga disebut sebagai alat oleh ” agent of change.” Yang dimaksud “ agent of change” di sini adalah seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur dan terencana (social engineering atau social planning) dan perubahan tersebut selalu dalam pengawasan agent of change.
Sebagai bukti suatu keputusan hukum secara langsung dan atau tidak langsung mengubah masyarakat dapat kita lihat lahirnya undang-undang No.22 Tahun 1961 mengubah dari 14 buah Univesitas Negeri dengan 65.000 Mahasiswanya setelah keluarnya peraturan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Soekanto:
Sebelum Undang-undag No.22/1961 ditetapkan, terdapat 14 buah Universitas Negeri degan Mahasiswa 65.000 orang. Terlepas dari segi baik buruknya, sejak Undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah Universitas Negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan 158.000 Mahasiswa.
Contoh lain yang mudah kita ingat yaitu sejak lahirnya UUD 1945 bulan Agustus 1945 yang sebelumnya didahului konflik baik tertutup maupun terbuka, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat dengan segala tata aturan yang ditetapkan oleh pelopor kemerdekaan pada saat itu. Kalau dibandingkan setelah lahirnya UUD 45 maka sebelum lahirnya Undang-Undang dasar 1945 atau sebelum diproklamasikannya kemerdekaan 1945 bangsa indonesia adalah bangsa terjajah dan hak-hak kemerdekaannya dirampas para penjajah antara lain bangsa Belanda dan Jepang.
Dari sedikit contoh diatas, paling tidak ada sedikit gambaran mengenai peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan atau masyarakat mengubah hukum. Secara umum paling tidak ada tiga peranan atau fungsi hukum sehingga mewarnai proses perubahan masyarakat yaitu, pemberi bentuk (Pedoman perilaku dan pengendali sosial,serta sebagai landasan proses integrasi), hukum juga sebagai penentu prosedur dari tujuan masyarakat (Contoh kelahiran GBHN di Indonesia), kemudian respektif pembangunan tidak lepas dari rekayasa dan hukum juga sebagai alat atu sarana rekayasa masyarakat (Social engineering by law).
Hukum yang efektif sebagai alat mengubah masyarakat, hendaklah dalam proses pembuatannya memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga betul-betul masyarakat tersebut merasakan keterlibatannya secara baik. Adapun syarat-syarat peraturan perundangan, paling tidak memenuhi apa yang sering dikemukakan para ahli sosiolagi hukum yaitu : Fisiologis atau Ideologi, yuridis, dan sosiolagis.
Di samping hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, tetapi hukum juga bisa tertinggal jauh kebelakang dari perubahan–perubahan sosial dalam masyarakat apabila ternyata hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Selain hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat, hukum juga diketahui masyarakat. Bagaimana mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hukum itu diketahuinya serta mengalami proses pelembagaan (Institutionalization) dalam diri warga atau bahkan tatanan jiwa masyarakat ( internalized ).
Hukum sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat, maka jangan mengurangi asas-asas keadilan. Adil secara sederhana bisa saja kita artikan bahwa menempatkan sesuatu pada tempatnya, namun harus juga mengutamakan asas-asas keadilan yang kongkrit antara lain; asas kesamaratan, asas kesebandingan, asas kualifikasi, asas objektif (misalkan melihat sudut prestasi seseorang), dan asas subjektif.
Aristoteles (384 SM-332 SM) dalam Beny Bosu, membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan Vindikatif dan keadilan Absolut. Keadilan Vindikatif adalah keadilan hukum, menjatuhkan hukum kepada seseorang menurut prosedur hukum serta alasan yang mendasar. Sedangkan keadilan Absolut adalah menjatuhkan hukuman pembalasan kepada seseorang yang bersalah seimbang dengan kejahatannya serta ada praktik main hakim sendiri.
D. Interaksi dan Arti Hukum Negara dalam Sosiologi
Pengertian hukum Negara menurut Van Apeldoorn dalam Kusnardi dan Ibrahim (1998) adalah Hukum Negara dalam arti sempit menunjukan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya. Apeldoorn juga memakai istilah Hukum Negara dalam arti sempit sama artinya dengan istilah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, kecuali Hukum Tata Negara dalam arti luas adalah termasuk dalam Hukum Negara yang hanya Apeldroon maksudkan ialah tentang tugas, hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan negara, dia tidak menyinggung tentang kewarganegaraan dan hak asasi manusia.
Hukum sebenarnya adalah bagian keajekan pergaulan hidup, namun terdapat dua personal pokok, yaitu apakah perilaku ( behavior ) yang ajek atau hanya berupa kebiasaan sekali saja sudah merupakan hukum dan bagaimanapula kita membedakan keduanya sebagaimana dikatakan Hoebel dalam Purnadi Purbacaraka dan Soekanto(1982). ” law is obvionsly a complex of human behavior.
Hal ini oleh L.J. van Apeldoorn (1966) dalam Purnadi Purwacaraka & Soekanto (1983)26 menyatakan: ” Zo zijn er dus voor het onstaan van gewoontercht twee vereisten; een van materiele aard; een constant gebruik: een van psychologischen (niet individueel maar grouppsycho-logischen) aard; de overtuiging van rechtsplicht (opinio necessitatis)”.
Menurut Apeldoorn tersebut terdapat dua syarat bagi timbulnya hukum kebiasaan, yaitu: bersifat materiil; kebiasaan yang ajek, dan yang bersifat spikologis sosial (bukan psikologis individual): kesadaran akan adanya suatu kewajiban menurut hukum. Jadi sikap tindak (social action) atau perilaku yang ajek dan keyakinan ataupun kesadaran akan kewajiban hukum adalah unsur dari hukum. Sedangkan hukum itu sendiri adalah proses untuk keteraturan dan aturan kedamaian sebagaimana pandangan Apeldoorn bahwa ” Het rech Wil den Vrede” (tujuan hukum adalah kedamaian).
Hubungan hukum dengan negara, kaitannya dengan kajian sosiologis, berangkat dari pemikiran bahwa sosiologi hukum bukanlah hanya hukum sebuah cita-cita atau suatu keharusan belaka (law in book), tetapi lebih kepada proses hukum yang senyatanya hidup berkembang di masyarakat (law in action). Begitu pula halnya hukum dan negara dalam tinjauan sosiologis.
Pandangan sosiologis, negara adalah bagian dari kelompok politik. Samidjo (1986)27 membagi atas ”politik teoritis” dan ”politik praktis” (thearictical and apllied politics) sehingga kalau dirinci:
1.Politik Teoritis; mengenai keseluruhan dari asas-asas dan ciri-ciri yang khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
2.Politik Praktis; mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu, yaitu negara sebagai lembaga yang dinamis.
Negara adalah juga bagian dari politik dan berarti pula tentang masyarakat, kalau berbicara hukum dan negara secara sosiologis, maka berkaitan erat dengan proses pembuatan hukum dalam suatu negara. F.C.von Savigny berkebangsaan Jerman (1779-1881) bukunya ” Gewohn Heitsrecht” dalam Samidjo (1986)28 mengemukakan ” Das Recht Wird nicht gemacht, ober es ist und wird mit dem valke.” Inti dari pendapat tersebut bahwa hukum tidak dapat dibuat, kecuali terjadi atau diproses bersama-sama dengan masyarakat. P.J. Bouman (1950) dalam bukunya ” Sociologie” menegaskan bahwa:
...( de siciologische beschouwingswijre vat de star (in ruisme zin)als politicke groep op d.w.z.als een levensgemeenschap van een groat oantal personen die door een zeer speciaal saamhorighlid sgefoed zyin verbonden. (terjemahan bebasnya....pandangan sosiologis menganggap negara dalam arti luas sebagai kelompok politik, artinya sebagai kebersamaan hidup dari sejumlah besar pribadi yang terkait oleh perasaan kebersamaan yang sangat khusus).29
Ahli pikir pertama tentang negara dan hukum dari dari Prancis Charles Secondet, baron de labrede et de Montesquien yang bisa disebut Montesquien (1688-1755) dalam Samidjo30 menyatakan dalam ajarannya yang bersifat ”empiris realistis” bahwa di dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan tersebut kalau dirinci lagi:
a.Kekuasaan Legislatif; dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlement);
b.Kekuasaan Eksekutif; dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet);
c.Kekuasaan Yudikatif; dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
Adapun isi ajaran Monesquien ini adalah tentang pemisahan kekuasaan negara (thesepration of powers) yang terkenal dengan istilah ”Trias Politika” istilah tersebut berasal dari Immanuel Kant31. ditambahkan samidjo bahwa ajaran tersebut berkeinginann agar proses menjalankan kekuasaan oleh para raja atau para pimpinan suatu negara terhindar dari sikap sewenang-wenang terhadap masyarakatnya. Sehingga mampu menentang feodalisme, yang mana pada saat itu (sampai abad XVIII) pemegang kekuasaan dalam negara adalah seorang raja, yang mana membuat sendiri undang-undang, menjalankannya sendiri, termasuk menerapkan sanksinya ditentukan sendiri oleh sang raja. Sebagai gambaran bagaimana fakta sejarah tentang kesewenangan sistem hukum pada zaman kerajaan di Indonesia. Soepomo menyatakan:
Pada zaman perbudakan para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya di tangan orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan, pada tahun 1877 pada waktu meninggalnya seorang raja di Sumbawa, seratus orang budak rela dibunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan dan pekerja lainnya.32
Jadi dari berbagai pendapat atau pemikiran tersebut di atas sangat jelas bahwa sosiologis adalah harus adanya keseimbangan dan kualitas proses dalam membuat, sosialisasi, dan penerapan suatu peraturan perundang-undangan serta perlunya pemikiran ”Trias Politika” sehingga tejadinya hak-hak dasar dalam sikap tindakan masyarakat senyatanya merupakan hukum yang hidup (law in action).
E. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok.
Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorang pun yang hidup penyendiri, terpisah terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanya untuk sementara waktu.
Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin terjadi pada alam khayal belaka, namun kenyataan hal itu tak mungkin terjadi. seperti tarsan, Robinson cruso dan sebagainya. Sejak manusia itu ada sudah terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok yaitu hasrat untuk bermasyarakat ( baca Aristoteles )
F. Golongan golongan dalam masyarakat
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan misalnya kelompok-kelompok Pelajar, mahasiswa diwaktu istirahat di sekolah, kampus, kelompok-kelompok yang timbul itu disebabkan :
a.Merasa tertarik terhadap orang lain
b.Merasa mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain
c.Merasa memerlukan bantuan orang lain
d.Mempunyai hubungan daerah dengan orang lain
e.Mempunyai hubungan kerja dengan orang lain
G. Hukum dan Stratifikasi Sosial
Jika dalam suatu negara adanya pengakuan persamaan derajat para warganegaranya di depan hukum dan pemerintahan, maka suatu hari mungkin kita bertanya jika terjadi diskriminasi dalam proses penerapan hukum. Jika hukum yang dimaksud berlaku untuk semua orang, apakah pernah terjadi seorang yang mempunyai kedudukan ” kuat ” dalam masyarakat ?.
Dewasa ini di indonesia perlu diadakan suatu pemikiran untuk mendapatkan suatu kejelasan mengenai hubungan timbalbalik antara hukum dan masyarakat. Negara indonesia adalah warga-warga masyarakat yang terorganisir untuk hukum di dalam suatu wilayah tertentu.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu.
2. Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
3. Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
4. Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ” bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.

B. Saran-Saran
1. Sosiologi Hukum adalah merupakan mata kuliah yang mengajarkan kepada Mahasiswa terutama Mahasiswa Program Pasca Sarjana untuk memiliki pengetahuan tentang hukum. Oleh karena itu, sebagai Mahasiswa yang pengetahuan sosiologi hukumnya masih kurang agar dapat mengembangkan dengan cara autodidak ataupun dengan pendekatan metode ”sosial kultural Law ”.
2. Perkuliahan Sosiologi Hukum akan mencapai tujuan maksimal bagi Mahasiswanya apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan sehingga menimbulkan semangat dan kecintaan terhadap mata kuliah sosiologi hukum. Oleh karena itu, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta dapat mendidik Mahasiswa Pasca Sarjananya untuk membekali dan mengembangkan budaya cinta akan kesadaran hukum di masyarakat
2.Perkuliahan Sosiologi Hukum akan mencapai tujuan maksimal bagi Mahasiswanya apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan sehingga menimbulkan semangat dan kecintaan terhadap mata kuliah sosiologi hukum. Oleh karena itu, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta dapat mendidik Mahasiswa Pasca Sarjananya untuk membekali dan mengembangkan budaya cinta akan kesadaran hukum di masyarakat
Daftar Pustaka
Chambliss, William, J.& Seidmam, Robert B., law oeder and Pawer, reding,mass: Addison, Mass : Addison-Wesly.1971
Doyle Paul Jhonson, di indonesiakan oleh Robert MZ. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Moderen (2), Gramedia Jakarta, 1986.
Durkheim, emile., De la division du travail Social : Etudesur I ’ oraganisation des societes superi eureures, De Can, paris, 1983.
Durkheim, emile., The rules The rules of sociological Method. by Sarah A Solovay and Jhon A. Mueleer and Edited by George E. G. latin, Free Press, New York 1964
Fridman, Lawrence M The legal System, A Socience Pers ective Russelsage Foundation, New York,1975
Fridman woltgang, legal teory, Steven & Sons, london, 1953
Gillin, Jhon Lewis – Gillin, Jhon Philip, Cultural sociology, the mac Millian Compony, New York,1954
Gurvitch, Georges, terjemahan Soematrik Mertodipuro dan Moh. Radjab, Sosiologi Hukum, Bharatara, jakarta, 1962.
Koentjoroiningrat, Rintangan-rintangn Mental Dalam Pembangun ekonomi di Indinesia, Bharatra, Djakarta, 1962
L. Leyendecker., Tata Perubahan Dan Ketimbangan, PT. Gramedia, Jakarta, 1983
O’ dhea, tomas, F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, CV. Rajawali, Jakarta, 1985.
Peters, A.A.G dan Koesriani Siswaosoebroto, Hukum dan Perkembangan Social, Buku teks sosiologi hukum Buku I, sinarharapan, Jakarta, 1988
Podgorecki, Adam dan Christopher J. Whelan (ed), terjemahan Rnc. Widyanningsih, SH., dan G. Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina aksara, Jakarta,1987.
Ronny hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni. Bandung,1986
http/www.gogle
Schur, Edwin. M., Law and Society, A sociological View, Random Haouse, New York, 1968.
Small, Albion, W dan George E Vincent, Introduction to The Study of society, American Book co, New York, 1984.
Soebekti, Kumpulan-kumpulan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, Alumni, Bandung,1980.
Soerjono soekanto, Emile Durkheim, Aturan-aturan Methode Sosiologis (seri pengenalan Sosiologi 2), Rajawali Press, Jakarta. 1985.
Timasheff, N, SH., What is”sociology of Law?” dalam, American journal of sociology, Vol 43. September 1937.
Young, Kimball., Social Psychology, Alfred A knopt, New York.

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM.

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI
ASPEK SOSIOLOGI HUKUM.
Oleh : ALFIAH YULIASTUTI
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
Angkatan XI Tahun 2009/2010
A. Latar Belakan Masalah

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk memngembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara – perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alas an dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim.
Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.
Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.
3.Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
B.Permasalahan
Dalam makalah ini akan diajukan dengan perumusan masalah sebagai berikut;
1.Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara?
2.Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur rasa keadilan bagi masyarakat?
C.Tujuan
Bedasarkan permasalahan di atas, tujuan pembuatan makalah ini adalah;
1.Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
D. Manfaat yang diharapkan
Luaran yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah;
Mampu memberikan perhatian kepada para hakim dalam mengeluarkan suatu putusan harus selalu berlandaskan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat
E. Pembahasan
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsure-unsur tersebut.
Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsure yuridis (kepastian hukum) dengan unsure filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memerisa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.
F.Kesimpulan
Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kebebasan Hakim terutama di Indonesia hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara namun yang penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.