Kamis, 07 Januari 2010

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Oleh: DYAH YULIANTI, Mhs S2 Hukum UID, NPM: 7109179, Angkatan: XI
Dosen : Prof Dr H Zainuddin Ali, MA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatutan. Derajat kepatutan masyarakat hukum merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatutannya juga rendah. Pernyataan ini berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektifitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya ia dapat benar-benar merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia akan tetapi juga dari segi batiniah.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berkaitan dengan rukun Islam yang dapat menentramkan batin bagi yang melaksanakannya dan dapat membantu memenuhi kebutuhan mendesak bagi yang menerimanya. Oleh karena itu perlu diungkapkan bahwa status hukum Zakat merupakan ibadah wajib yang termasuk Rukun Islam yang ketiga. Perintah Zakat yang terdapat dalam Alqur’an sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali perintah itu bergandengan dengan perintah Shalat. ( A.M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,(Jakarta, Rajawali,1987) halaman 113.
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban Zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan Ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat dalam Zakat, ialah :
1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan hidup serta penderitaan.
2. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para Gharimin, Ibnu Sabil dan Mustahik lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesame Ummat Islam dan Manusia pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemilik harta.
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan social) dalam arti orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab social pada diri seseorang terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan.
8. Mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
9. Sarana pemerataan pendapatan (rejeki) untuk mewujudkan keadilan social. (Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat, Wakaf (Jakarta, UI Press, 1988) halaman 40.
Berdasarkan fungsi Zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah wajib kepada Tuhan maupun fungsinya dalam masyarakat dapat diketahui bahwa ditetapkannya zakat sebagai rukun Islam mengandung hikmah bagi pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah bagi pemberi dan penerima dan hikmah bagi harta itu sendiri.

B. Permasalahan
Dari rumusan masalah tersebut di atas dapat ditentukan permasalahan sebagai berikurt: Aspek hukum apa saja yang melingkupi bidang Zakat ditinjau dari segi Sosiologi Hukum?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas mata Kuliah Sosiologi Hukum peserta Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta , Angkatan ke XI Tahun 2009.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Warga Masyarakat dalam Konteks Penegakan Hukum dibidang Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Zakat adalah ibadah Maliyah Ijtima’iyah (Ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan), dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam Syariat Islam. Zakat mempunyai dua fungsi, pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah, kedua zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan social guna mengurangi kemiskinan.
Untuk memberikan zakat yang bersifat konsumtif harus melalui syarat yang mana mampu melaksanakan pembinaan dan pendampingan pada mustahiq agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat ke-Imanan dan k e-Islamannya.
Zakat bisa menjadi sumber dana tetap yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, terutama golongan fakir miskin, sehingga mereka bisa hidup layak secara mandiri tanpa menggantungkan nasipnya atas belas kasihan orang lain. Hal ini sejalan dengan hikmah diwajibkannya Zakat sebagai Umat Islam yang mampu, yang antara lain adalah sebagai berikut :
a. Untuk membersihkan/menyucikan jiwa si Muzakki (orang yang yang mengeluarkan Zakat) dari sifat-sifat tercela seperti kikir, mementingkan diri sendiri (individualism) dan sebagainya.
b. Untuk membersihkan harta bendanya dari kemungkinan bercampur dengan harta benda yang tidak 100 % halal, misalnya “Syuhat” atau diperoleh kurang wajar.
c. Untuk mencegah berputarnya harta kekayaan berada di tangan orang kaya saja, demi mewujudkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
d. Untuk memenuhi kepentingan umum, sepoerti jembatan dan untuk kepentingan agar seperti Masjid/Musholla dan lain sebagainya.
e. Untuk meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan manusia.
Menurut Dawam Raharjo, dkk dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan” mengatakan, dalam gugatan strategi yang baru, yang disebut Basic Strategy timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut pengalihan konsumtif” (transfer of consumption), Pengalihan Pendapatan (transfer of income), Pengalihan Kekayaan (transfer of wealt), Pengalihan Investasi (transfer of invest) ataupun pembagian kembali kekuasaan (redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh golongan yang paling miskin dan paling lemah.
Imam Nawawi berkata dalam Kitab Al’Mauri : “Masalah kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan Khuratan telah berkata : Apa yang diberikan kepada orang fakir dan miskin hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah kemiskinan kepada taraf hidup yang layak. Ini berarti ia mesti menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi semua kebutuhannya.
Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain. Untuk itu perlunya penggunaan Zakat produktif tradisional dan Zakat produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan Zakat ada 4 katagori, selain Zakat Produktif tradisional dan kreatif ada juga konsumtif tradisional dan kreatif. Akan tetapi zakat konsumtif tradisional sifatnya dalam katagori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti Zakat Fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau Zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam katagori kedua adalah Zakat konsumtif kreatif, maksudnya adalah Zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti misalnya diwujudkan dalam bentuk alat sekolah, beasiswa dan lain-lain. Katagori ke tiga Zakat produktif tradisional adalah Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif misalnya kambing, sapi, mesin jahit, dan lain-lain. Pemberian Zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin. Selanjutnya yaitu katagori terakhir, Zakat Produktif kreatif ke dalam bentuk ini dimaksudkan semua pendayagunaan Zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan untuk membangun suatu proyek social maupun untuk mambantu atau menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Penggunaan katagori ketiga dan keempat ini perlu dikembangkan karena pendayagunaan Zakat yang demikian mendekati hakekat Zakat, baik yang terkandung dalam fungsinya sebagai ibadah dalam kedudukannya sebagai dana masyarakat. Akan tetapi disyaratkan bahwa yang memberikan Zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq Zakat dalam kegiatan usahanya juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas ke-Imanan dan k e- Islamannya.
Bahtsul Masail Diniyah Mandlutiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam Mukatamar ke-28 Nahkdatul Ulama memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan kehidupan ekonomi para Mutahiq Zakat. Namun ada persyaratan penting bahwa harta Zakat yang seandainya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau atau didayagunakan dan mereka member ijin atas penyaluran Zakat dengan cara seperti itu.
Adapun langkah-langkah pendistribusian Zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut :
a. Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b. Pengelompokan peserta ke dalam kelompok kecil, homogeny baik dari sisi gender, pendidik, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c. Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam perlatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, managemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggungjawab.
d. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakanpun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
B. Dasar Hukum tentang Pengelolaan Zakat
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, maka Pemerintah atas persetujuan DPR membuat Undang-Undang tentang pengelolaan zakat yaitu No. 38 Tahun 1999 yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah SWT, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

B. SARAN
Dengan dibentuknya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Ali,H. Mohammad Daud.1991. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Ali, Zainuddin, 2008. Sosiologi Hukum. Cet. Ke-4; Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Fuady Munir, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
_______________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Saefuddin, 1987. Ekonomi dan Masyarakat dalam Prespektif Islam. Rajawali
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1999
UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar