Kamis, 07 Januari 2010

KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya

KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya
Disusun oleh :
Sumantap M. Simorangkir, SH
NPM : 090310174101098
Program Study : S2 - Hukum Bisnis
Mata Kuliah :
SOSIOLOGI HUKUM
( Prof. Zainuddin Ali, SH, MH )
PENDAHULUAN

Mata kuliah Sosiologi Hukum adalah mata kuliah yang sangat perlu dan haruslah diketahui bagi setiap akademisi dan atau para praktisi maupun intelektual guna melihat dan atau menjadi pertimbangan dan pemahaman dari aspek sosial kemasyarakatan sebelum melakukan suatu tindakan maupun mengeluarkan produk hasil keputusan yang akan diterapkan/dilaksanakan kemudian.

Dalam hal ini, Penulis sependapat dengan Prof. Satjipto Rahardjo dalam pengartian definisi Sosiologi Hukum yaitu “Sosiologi Hukum (Sociology of Law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya” (Ref. 1 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006)


LATAR BELAKANG MASALAH

Penulis mengangkat permasalahan “KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya” sebagai judul dalam makalah ini. Adapun alasan penulis adalah kasus / masalah ini sangatlah menarik untuk dibahas dan dicermati sehubungan : sedemikian rupa desakan yang dilakukan mengatasnamakan masyarakat / rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan membela Pimpinan (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah) di KPK yang dikenakan pasal tindak pidana maupun tindakan penahanan oleh Kepolisian RI.

Tersebut, terjadi karena masyarakat luas telah memperoleh akses siaran televisi (TV One maupun Metro TV) dengan melihat maupun mendengar secara langsung jalannya persidangan di Mahkamah Konstitusi RI (MK). Dimana segala hasil pembicaraan yang diperoleh KPK dalam rangka penyelidikan terhadap oknum / orang yang dicurigai melakukan tindak pidanan korupsi melalui “penyadapan” diperdengarkan dalam persidangan untuk umum MK sebagai bukti adanya “kriminalisasi hukum terhadap KPK”.

Selanjutnya, menjadi pertanyaan dan pembahasan adalah :

1. Kenapa masyarakat / rakyat sekarang ini begitu peduli dengan apa yang terjadi di KPK ?

2. Kenapa perilaku Aparat Penegak Hukum (i.c. Kepolisian dan Kejaksaan) di negara kita ini sekarang menjadi sorotan masyarakat ?


PEMBAHASAN

Atas apa yang hendak penulis uraikan dan jelaskan dalam menjawab pertanyaan di atas, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan :

1. TEORI HUKUM

HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL

Sosial Kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistim kaidah dan nilai yang berlaku.
Selanjutnya, dapat berwujud berupa pemidanaan, konpensasi, terapi maupun konsiliasi. Yang mempunyai standar/patokan adalah larangan yang apabila dilanggar mengakibatkan penderitaan (sangsi negative) bagi pelanggarnya. (Ref. 2 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006 ; hal 22)

Fungsi hukum dimaksud adalah “penerapan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu”.

Adapun pengertian dimaksud adalah benar dan kini telah terjadi di masyarakat kita. Dimana kelompok masyarakat sedemikian rupa melakukan ”pembangkangan” atas tindakan dan upaya yang sedang dilakukan oleh Kepolisian RI dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan terhadap Lembaga KPK. Dan wujud dari itu semakin deras diupayakan kelompok masyarakat dikarenakan Pimpinan Kepolisian menyebut dengan istilah : Cicak (KPK) vs Buaya (Kepolisian RI).

Masyarakat marah karena Kepolisian menyatakan diri sebagai Buaya yang akan memakan Cicak yang kecil ? Jelas marah dan keberatan !! Bahkan karena pernyataan itu pula maka masyarakat semakin terbuka “unek-uneknya” melihat lembaga Kepolisian yang dikenal sangat korup dan arogan.

Kenapa korup dan arogan ? Karena masyarakat apabila berurusan dengan Kepolisian selalu dipersulit dengan istilah “segala sesuatu bisa diatur” dengan uang. Sedangkan ketidakadilan dapat dilihat dengan adanya proses penyidikan dan penyelidikan yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi orang yang bermasalah, yaitu di tingkat penyidikan maupun penyelidikan (Kepolisian) apabila yang mengalami persoalan hukum itu orang mampu selalu tidak ada masalah. Tetapi apabila yang mengalami masalah orang kecil selalu dipersulit. Keadaan ini jelas seperti adanya ketidak seimbangan maupun perbedaan perlakuan dan atau desebut diskriminasi hukum.

Disebut arogan karena klaim adanya ketindakadilan dan tindak perbuatan Kepolisian yang menekan atau memaksa dan atau memberlakukan prosedur seperti aturan yang ada hanya terhadap orang kecil saja (orang yang tidak mampu). Misalnya pemukulan atau penganiayaan sehingga mendapatkan bukti adanya pengakuan tersangka.

Ketidakadilan yang terjadi itu dirasakan dan dialami masyarakat kecil. Contoh yang terjadi adalah kasus Prita vs RS Omni atau kasus pencurian 3 buah coklat maupun kasus pencurian 1 buah semangka.

Selanjutnya apakah asas kepastian hukum harus dikesampingkan saja dengan melihat perubahan masyarakat kini yaitu dengan pengertian “keadilan” ? Memang Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Persamaan Hak belum dapat berjalan beriringan dalam penerapan hukum di Indonesia.

MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM

Manfaat Sosiologi Hukum untuk dapat memahami bekerjanya hukum di dalam masyarakat yang diuraikan sebagai :

1. Sosial Kontrol di dalam masyarakat

Sosial kontrol mempunyai arti bahwa segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk mendidik dan mengajak warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. (Ref. 3 ; Menguak Tabir Hukum : Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis, Ahmad Ali, Jakarta, Gunung Agung, 2002, hal. 88)

2. Alat untuk mengubah masyarakat

Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakata yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of social engeneering (Ref. 4 ; Interpretation of Legal History, Roscoe Pound, USA, Holmes Beach, Florida, 1986, hal. 147). Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dimana langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan, dan mungkin pula menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga lainnya.

3. Simbol pengetahuan

Fungsi hukum sebagai symbol merupakan makna yang sudah dipahami dan diketahui oleh seseorang atau warga masyarakat tentang hukum yang mengatur perilaku yang menyimpang (mengambil barang orang lain disebut pencurian).

4. Instrumen Politik

Fungsi hukum sebagai alat politik diketahui dari produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Bahkan, Hukum dan politik di mata masyarakat semakin sulit dipisahkan sehubungan kadang kala ke dua aspek tersebut selalu menjadi rantai pokok suatui persoalan yang muncul bersamaan. Misalnya pada kondisi sekarang adalah perkara Bank Centuri.

5. Alat Integrasi

Hukum dapat diciptakan sebelum terjadinya suatu konflik yang mengatur maupun sesudah terjadi konflik. Sebelum dan setelah terjadi konflik ini dilihat dari adanya perbedaan aspirasi golongan suatu masyarakat yang ada di suatu daerah/wilayah sesuai dengan kepentingannya.


Dari apa yang diuraikan di atas, dapatlah diketahui manfaat kajian sosiologi hukum terhadap bekerjanya hukum di dalam masyarakat sehingga ditemukan fungsi-fungsi hukum dalam mengtur warga masyarakat dalam berinteraksi antara seseorang/kelompok dengan orang/kelompok lainnya.


2. PENDAPAT PENULIS

DUDUK PERKARA

Membahas mengenai perkara KPK vs Kepolisian haruslah memahami dan melihat perkembangan kasus itu dari awal terjadinya hingga perjalanannya.

Adapun pasal-pasal tindak pidana yang dijeratkan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah berubah-ubah. Awalnya adalah penyalahgunaan wewenang dan kemudian muncul penguapan, dan terakhir yang dibidikkan yaitu pemerasan. Pasal pemerasan ini membawa konsekwensi berupa ancaman hukuman penjara untuk mereka semakin berat, yang mana Anggoro dan Anggodo selaku pemilik uang dapat lolos dari hukum karena posisinya sebagai korban.

Atas pasal yang dituduhkan kepada Bibit dan Chandra adalah :

1. PENYALAHGUNAAN WEWENANG

Pasal 421 KUHP :
“Seorang pejabat menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.

Pasal 23 UU No. 31/2009 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Dalam perkara korupsi, pelanggaran ketentuan Pasal 421 KUHP, dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama enam tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp 300 juta”.


2. TINDAK PIDANA PENYUAPAN

Pasal 12-b juncto Pasal 5 ayat 1 huruf b UU tentang Tindak Pidana Korupsi

Pasal 12 b :
“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Ancaman hukuman : Penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 5 ayat 1 huruf b :
“Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”.
Ancaman hukuman : penjara maksimal lima tahun dan atau denda maksimal Rp 250 juta.

Keterangan : pemberi menawarkan imbalan yang selanjutnya Pemberi seharusnya menjadi pelaku dan dapat dipidanakan.

3. PEMERASAN

Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 huruf e :
“Pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.
Ancaman hukuman : penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 15 :
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Ancaman hukuman : penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.
Keterangan : penerima dengan meminta imbalan. Pemberi dianggap korban, sehingga tidak dipidana.

Hukum pidana kita adalah benar masih menggunakan KUHP yang merupakan produk jaman Belanda. Dan aturan dan peraturan sebagaimana pasal yang mengatur untuk kondisi sekarang ini sudah sangat perlu untuk direvisi. Belum lagi banyaknya aturan-aturan (UU) yang mengatur secara khusus dan menjadi bertentangan dan atau adanya pasal-pasal yang tumpang tindih dengan aturan umum di KUHP.


Berdasarkan apa yang telah dituduhkan kepada 2 0rang pimpinan KPK tersebut sebagaimana pasal-pasal yang mengaturnya, maka terjadi pro maupun kontra dikalangan masyarakat dan praktisi hukum maupun sosial. Akibat tersebut pula, maka pemerintahan menganggap perlu untuk mengambil sikap dengan membentuk Tim Delapan dalam rangka memberikan bahan dan masukan berupa rekomendasi kepada Pemerinah.

Bekerjanya Tim Delapan sebagai tim ad hook di dunia penyelidikan dan penyidikan mengundang dukungan yang sangat besar dari masyarakat luas. Karena bekerjanya tim senantiasa mendapat sorotan dan liputan media maupun televise. Akses inilah yang diterima masyarakat sehingga siapapun tokoh dan atau yang berkepentingan didalam permasalahan KPK vs POLRI dapat dilakukan dengan marathon oleh Tim Delapan.

Selanjutnya atas usulan Tim 8 yaitu agar polisi melakukan penghentyian penyidikan dalam kasus Bibit dan Cahndra yang dinilai dasar pembuktiannya amat lemah ternyata tak diindahkan oleh Kepala Kepolisian RI. Secara formal hukum, penyidik polisi memang memiliki independensi dalam menjalankan kewenangannya. Namun mengingata Tim 8 beranggotakan para pakare hukum terhormat yang integritasnya di mata public amat tinggi, penolakan polisi atas rekomendasi ini semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa terjadi rekayasa pemberkasan kedua pimpinan KPK.

Bahwa kasus ini sebenarnya merupakan ranah / wilayah hukum, tetapi karena sudah sedemikian rupa memasuki ranah : kekuasaan / birokrasi, privasi maupun politik, maka opsi yang diberikan oleh Tim 8 dalam proses hukum selanjutnya kasus Bibit dan Chandra adalah mengacu kepada ketentuan (UU/Peraturan) yang mengaturnya, yaitu :

1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

Defenisi :
Kewenangan peniyidik untuk menghentikan perkara karena tak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian “dihentikan demi hukum” adalah jika perkara itu terkait dengan seseorang yang tak dapat dituntut lebih dari satu kali dengan perkara sama, atau terdakwa meninggal dunia.

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi hukum
2. Pemulihan nama baik dan di kembalikan hak-haknya
3. Tidak menghapus tindak pidana
4. Kasus bisa dibuka kembali kalau ditemukan alat bukti baru

Dasar Hukum :

1. Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 7i :
Penyidik mempunyai wewenang mengadakan penghentian penyidikan.

Pasal 109 :
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakam tindak pidana atau penyidikan di hentikan demi hukum.

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Pasal 16 ayat 1h:
Kepolisian memiliki wewenag mengadakan penghentian penyidikan.

Contoh :

- Kejaksaan mengeluarkan SP3 kepada sejumlah Konglomerat seperti Sjamsul Nursalim karena dianggap kooperatif dan menyodorkan bukti surat keterangan lunas.

- Polisi mengeluarkan SP3 untuk kasus Lapindo, karena dinilai banyak kelemahan dalam berkas perkara

2. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)

Defenisi :
Kewenangan Penuntut untuk menghentikan perkara karena tak ditemukan alat bukti memadai, peristiwa tersebut tindak pidana, perkara ditutup demi hukum. Surat ketetapan ini dikeluarkan setelah jaksa mengambil alih perkara dari Penyidik, Penghentian penuntutan merupakan kewenangan penuh Jaksa

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi hukum
2. Pemulihan nama baik dan dikembalikan hak-haknya
3. Tidak menghapus Tindak Pidana
4. Kasus bisa dibuka kembali kalau ditemukan alat bukti baru

Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hkum Acara Pidana

Pasal 140
(2) dalam hal Penuntut Umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan Tindak pidana atau perkara ditutup dfemi hukum, Penuntutan umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan

Contoh :

Kejaksaan mengeluarkan SKPP untuk Soeharto pada 11 Mei 2006 karena Jaksa Penuntut umum tidaj dapat menghadirkan Soeharto ke Pengadilan dengan alasan kesehatan, sehungga tidak mungkin diadili

3. Deponir

Defenisi :
Deponir merupakan wewenang Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara Pidana demi Kepentingan umum meski sudah cukup bukti. Dalam membuat keputusan ini, Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi kepentingan umum
2. Perbuatan tindak pidana dianggap ada
3. Keputusan berlaku permanent

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Pasal 35 c :
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum

Penjelasan Pasal 35 :
Yang dimaksud dengan “Kepentingan Umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara dalam ketentuan ini merupakan pelaksaanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut

Contoh :

1. Kejaksaan Agung pernah menerbitkan deponering, yaitu kepada Letnan Jenderal (Purn) Mochamad Jasin, Karena dituduh menghina Kepala Negara dengan menandatangani Petisi 50 di era kepimpinan Presiden soeharto, saat itu, Jaksa Agung adalah Ismail Saleh

2. Pada tanggal 15 Agustus 1953 R. Soeprapto mengesampingkan kasus wartawan Pemandangan, Asa Bafagih. Asa dituduh membocorkan rahasia Negara karena menulis rencana Pemerintah membuka keran Investasi Asing dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan, Asa menolak menyebut sumber beritanya. Tekanan Publik kepada Pemerintah dating bertubi-tubi. Atas nama kepentingan umum, kasus ini dideponir


PENDAPAT PENULIS

Kenapa masyarakat / rakyat sekarang ini begitu peduli dengan apa yang terjadi di KPK ?

Sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, sebelumnya kami menguraikan adanya kekecewaan masyarakat Indonesia yang sudah menumpuk akibat dari :

1. Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 dijatuhkan oleh rakyat melalui pergerakan mahasiswa turun ke jalan yang selanjutnya disebut sebagai era Reformasi. Di jaman itu, timbul pergolakan untuk menuju kebangkitan bangsa untuk memberantas : kolusi, korupsi serta nepotisme (KKN) sampai ke keluarga cendana (Soeharto) sekalipun.

Selanjutnya apakah harapan masyarakat / rakyat sudah tercapai pada masa itu ? Ternyata dengan alasan sulitnya pembuktian harta kekayaan atas sejumlah Yayasan dan sakitnya Soeharto atas perkara pidana tersebut tidak dapat dilanjutkan. Bahkan, Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP (Surat Keterangan Penghentian Penyidikan) atas nama Tersangka Soeharto.

2. Penuntasan atas perkara-perkara BLBI yang tidak pernah dapat diselesaikan (melalui lembaga peradilan), termasuk tidak jelasnya maupun tidak transparannya kasus pengembalian kerugian keuangan Negara yang sangat merugikan dan membebankan masyarakat di tangan Para Penyidik (Kepolisian maupun Kejaksaan) ;

Selanjutnya, adanya perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia, yang meliputi :

- Kondisi gejolak politik ;

- Good Goverman (Pemerintahan yang baik) ;

- Krisis perekonomian di dalam negeri dan luar negeri ;

- Buruknya penegakan hukum yang dialami & dilihat masyarakat ;

yang mana ternyata, semua itu belum sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat atau rakyat Indonesia dalam arti yang sebenarnya.

Demikian adanya akses informasi maupun media elektronik yang telah dapat dijangkau dan diakses oleh seluruh lapisan masyarakat luas ;

Dan khusus perkara ini pula, tidak dapat dilepaskan adanya penyidikan dan penyelidikan dalam perkara pembunuhan Direktur RNA yang ditangani oleh Kepolisian RI atas nama tersangka AA yang diketahui adalah selaku Pimpinan KPK. Yang mana sedemikian berlanjut, dengan dikeluarkannya “testimoni” oleh Tersangka AA dihadapan Penyidik Kepolisian. Dengan di “ekspose” nya surat tersebut di media massa maupun elektronik, berlanjutlah dengan di periksanya B dan CH yang juga adalah Wakil Pimpinan KPK dengan tuduhan atau sangkaan yang berubah - ubah diantaranya yaitu : pemerasan atau penyalahgunaan wewenang maupun korupsi.

Ternyata, semua ini terakumulasi didalam sendi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Yang pada akhirnya belum juga sebagaimana yang diharapkan dan diidamkan masyarakat.

Apalagi dengan melihat, mencari dan mendapatkan “keadilan” yang sampai dengan sekarang ini dirasakan sekali oleh masyarakat bahwa KPK sudah banyak menindak dan membawa para koruptor ke dalam “bui”. KPK bagi masyarakat sebenarnya dapat dikatakan obat pusing yang bisa menyembuhkan penyakit. Sehingga adanya dukungan secara global dari masyarakat sebenarnya lebih melihat dan merasakan adanya “intervensi” kepentingan politik maupun hukum dari pemerintah atau aparat hukum maupun seseorang oknum yang menginginkan agar KPK ditiadakan / dihapuskan.

Masyarakat membela dan melihat ketidakadilan terjadi pada diri Bibit dan Chandra. Dituduh dengan dasar hukum yang lemah, diperiksa dengan alasan yang berubah-ubah. Dilakukan “penahanan” oleh kepolisian karena terlalu banyak meng-ekpose perkara yang dialami demikian mengajukan uji materi dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dan “terbukanya” pembicaraan-pembicaraan hasil rekaman di Mahkamah Konstitusi tentang “Kriminalisasi” KPK.

Dan selanjutnya penulis dapat mengatakan bahwa “Masyarakat memang telah peduli dengan adanya permasalahan di dalam tubuh KPK”. Karena masyarakat tidak mau KPK hilang dan tidak berfungsi. Masyarakat menginginkan KPK terus berlanjut untuk menindaklanjuti pemeriksaan para koruptor yang telah banyak menggerogoti keuangan Negara dan yang telah merugikan masyarakat selama ini.

Masyarakat memang sudah tanggap dan peduli atas “hukum dan keadilan” yang terjadi di Negara kita ini. Juga masyarakat sangat mendambakan perubahan dan perbaikan dari institusi Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai penegakan hukum.


Kenapa sistim hukum maupun perilaku Aparat Penegak Hukum (i.c. Kepolisian dan Kejaksaan) di negara kita ini sekarang menjadi sorotan masyarakat ?

Untuk apa sebenarnya hukum diciptakan ? Suatu pertanyaan yang sudah basi dan ternyata untuk kondisi sekarang itu memang menjadi perlu untuk kembali di pertegas. Keterkaitan hukum yang mengatur dan perilaku dari aparat penegak hukum ternyata menjadi dominan. Dominan untuk suatu kepentingan dari pelaksananya.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban didalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara RI. Kepedulian masyarakat kini ternyata sudah dapat mendekati apa yang dimaksud. Demikian Negara terus menerus berupaya meningkatkan perbaikan dan peningkatan dari sisi kwalitas maupun kwantitas mewujudkan apa yang diamanatkan pendiri Negara.


KESIMPULAN

PENUTUP

Bahwa penulis menyimpulkan perkara KPK vs POLRI sepanjang yang diketahui adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Penyelidikan dan Penyidikan oleh Kepolisian RI dalam perkara “Pemerasan yang dilakukan oleh 2 orang Pimpinan KPK” sebagaimana yang dilaporkan oleh Anggodo (selaku Korban) adalah masih bersifat sepihak dan belum memenuhi unsur-unsur yang dipersangkakan. Dimana salah seorang saksi dari korban dalam keterangannya belumlah ada persesuaian dengan keterangan yang sudah dibuat oleh saksi korban (Anggodo). Dan disinilah peran Anggodo yang dominan sekali mempengaruhi Penyidik Kepolisian dalam rangka menyesuaikan keterangannya.

2. Tindakan Kepolisian dalam rangka tersebut jelas sekali kelihatan sekali terlalu dipaksakan. Dimana atas pasal yang telah dipersangkakan, ternyata masih dapat berubah-ubah sebagaimana bukti surat panggilan Kepolisian yang telah diterima oleh 2 orang Pimpinan KPK.

3. Akibat tersebut, ada dugaan telah terjadi “Kriminalisasi KPK” sebagaimana bukti rekaman percakapan yang diperoleh KPK dari hasil penyadapan selama ini. Berdasarkan hasil percakapan tersebutlah, dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dibuka dan diperdengarkan kepada publik.

Karena KPK memenangkan sebagian gugatan di Mahkamah Konstitusi dan banyaknya dukungan moriil masyarakat terhadap perkara yang menimpa ke 2 Pimpinan KPK, maka Kepolisian dalam salah satu butir pertimbangannya menyebut bahwa penahanan dilakukan sehubungan tindakan atau upaya ke 2 orang Pimpinan KPK tersebut (Gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Konfrensi Pers) yang bersifat mempengaruhi dan merugikan penyidikan maupun penyelidikan selama ini.

4. Tindakan dan kebijakan Pemerintah dalam rangka mengatasi krisis KPK vs POLRI dengan membentuk Tim 8 yang hasilnya telah menjadi rekomendasi Presiden mengatasi kemelut tersebut berdasarkan aturan maupun peraturan yang ada dan mengaturnya.

5. Pelaksanaan birokrasi dan peningkatan SDM di Institusi Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangka reformasi atau pembenahan dari kwalitas maupun kwntitas yang profesional serta mandiri.


SARAN

Yang dapat disimpulkan sebagai saran kami adalah sebagai berikut :

1. Bahwa dalam rangka “Persamaan hak dimuka hukum” haruslah menjadi pedoman tugas pokok para penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) didalam menjalankan fungsi, peranan dan pelaksanaan institusi yang terkait.

2. Bahwa “Hukum diciptakan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” haruslah benar-benar dirasakan dan dinikmati oleh semua kalangan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, golongan maupun ekonomi. Sehingga tercipta kondisi suatu masyarakat yang diidam-idamkan selama ini yaitu masyarakat adil dan beradab.

3. Bahwa “Tujuan hukum untuk mencapai kebenaran dan keadilan bagi rakyat” tidak boleh dipengaruhi dan dipaksakan oleh seseorang, golongan tertentu, sebagaian masyarakat. Tersebut haruslah diciptakan benar-benar dalam rangka penegakan hukum dari mulai system hukum atau produk peraturan perundang-undangan, para penegak hukum sebagai pelaksanan maupun pemerintahan yang baik / good government sebagaimana adanya pemisahan kekuasaan (trias politika) yang berguna memisahkan dan membatasi serta mem-balance / menyeimbangkan kehidupan suatu masyarakat berbangsa dan bernegara.


Demikian makalah ini dibuat dari hasil pemikiran penulis dan untuk disampaikan dalam rangka memenuhi tugas SOSIOLOGI HUKUM yang telah diajarkan oleh Dosen Pembimbing.

KIranya bahan dan pemikiran ini dapat digunakan dan bisa berguna dalam rangka pengembangan pola penguasaan penulis atas adanya kasus-kasus yang menonjol di kehidupan masyarakat kita.

Atas segala bimbingan yang telah diberikan, penulis ucapkan banyak terima kasih. - FIAT YUSTITIA RUAT COELUM -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar