Rabu, 20 Januari 2010

EFEKTIVITAS hUKUM DALAM mASYARAKAT

EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT
Oleh: Sahri, Mhs S2 Hukum Untag
1.Latar Belakang
Sejak lahir didunia , manusia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelama-an dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan pegangan baginya.
Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum,[1]Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hokum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan.
Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat.
2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas.[2] Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat

2. permasalahan

Tidak selalu kehendak hukum selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, maka dalam kehidupan nyata dalam mayarakat kadang-kadang berbeda dengan yang dikehendaki oleh hukum. Contoh kasus yang paling baru adalah kasus Bibit dan Candra yang melibatkan banyak melibatkan para petinggi penegak hukum di Indonesia . Namun kenyataannya kasus tersebut mendapat tantangan dari masyarakat, walaupun kasus tersebut memenuhi unsur pidana, namun dalam prakteknya mendapat tantangan dari msyarakat, padahal sangat mungkin kasus tesebut memenuhi semua unsure pidananya, namun ternyata tidak memenuhi salah satu unsur sosiologi hukumnya.
Oleh karena itu dari ketiga unsur tersebut harus berjalan bersama-sama jika salah satunya tidak terpenuhi akan melahirkan ketidak adilan seperti yang terjadi dengan kasusnya Bibit dan Candra contoh diatas.

3. Analisis kasus
Seperti yang katakan oleh Soeryono Soekanto hukum yang baik adalah yang memenuhi ketiga unsure tersebut di atas, dan ketiganya harus berjalan berbarengan jika salah satu unsure ditinggalkan ada kemungkinan tidak akan menghasilkan rasa keadilam dimasyarakat, dengan dasar salah satu unsure sosiologis diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar oleh masyarakat akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Soeryono Soekanto-Pornadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu:
(1) Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.
(2) Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku.

Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa keyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis harus termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memesukkan faktor-faktor kecenderungan dan harapan masyarakat maka perturan perundangan-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarak. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan keperkembangan masyarakat.[3] Jika teori diatas dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia . Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi.[4] Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c , Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum.[5]
Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas keputusan.[6] Artnya selain pendekatan yuridis nomatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisi yang lainnya, yaitu hukum dalam kenyataanya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum dalam kenyataan dimaksud, bukan bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioprasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.[7]Satulagi contoh kasus yang sangat menghebohkan masyarakat tentang sengketa antara Frita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang Banten , dilihat dari sisi hukum formal sudah sangat memenuhi semua unsure delik yang dituduhkan kepadanya, namun dari dilihat sisi keadilan masyarakat sangat tidak adil. Artinya hukum tidak cukup hanya diliha dari sisi formalnya saja akan tetapi harus dilihat dari keadilannya, jika tidak akan mendapat perlawanan yang cukup keras dari masyarakat. Oleh karena itu untuk memberlakukan hukum (Undang-Undang) tidak mungkin meninggalkan rasa keadilan karena antara keadilan dan hukum sama dengan dua sisi mata ung.

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.

Saran

Bagi para penegak hukum unntuk menerapkan peraturan Perundang-Undangan harus melihat dari sisi tersebut diatas dari sisi formalnya supaya ada kepastian dan yang kedua dari sisi keadilannya.



Penulis
Sahri mahasisa Pasca semester1
Kelas Sunter Untag 1945 Jakarta


________________________________________
[1] Soejono soekanto. Pokokpokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. hlm. 15.
[3] Bagir Manan, Dasar-Dasar perundang-undangan Indonesia . IND-HILL.L.CO Jakarta 1992. hlm ,16.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147.
[5] Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Penerbit buku Kompas, Jakarta 2009. hlm. 152.
[6] Mahfud MD, Kompas tgl7 Januari 2010. hlm 2.
[7] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika Jakarta 2005. hlm, 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar