Selasa, 05 Januari 2010

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERATURAN DAERAH

Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Peraturan Daerah
Oleh: PUTU SURYA BHAKTI, Mhs S2 Ilmu Hukum UID Kls Palu
Dosen Prof Dr H Zainuddin Ali MA

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prinsip dasar demokrasi selalu menuntut dan mengharuskan adanya distribusi kekuasaan, agar kekuasaan tidak terpusat di satu tangan. Kekuasaan yang berpusat satu tangan bertentangan dengan prinsip demokrasi karena ia membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dan korupsi.
Distribusi kekuasaan terdiri atas dua macam yakni distribusi secara horisontal dan distribusi vertikal. Distribusi kekuasaan horizontal adalah distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga yang kedudukannya sejajar yang masing-masing diberi fungsi dan diberi checks and balances yakni distribusi kekuasaan, membuat undang-undang dan melaksanakan undang-undang dan yudikatif menegakkan undang-undang melalui peradilan, sedangkan distribusi kekuasaan vertikal adalah melahirkan bentuk negara kesatuan dan federal.
Negara kesatuan adalah yang kekuasaannya dibagi ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangga sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentralisasi. Ini berarti bahwa, daerah itu mendapat hak yang datang dari pemerintah pusat berdasarkan konstitusi, sedangkan negara federal adalah negara negara yang terdiri dari negara bagian yang merdeka ke dalam, tetapi dengan kedaulatan keluar dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat berdasarkan penyerahan kekuasaan yang diberikan oleh negara-negara bagian yang dimuat dalam konstitusi. Ada empat hal yang tidak bisa diatur oleh pemerintah daerah bagian yakni moneter, hubungan luar negeri, peradilan, dan pertahanan nasional.
Seiring dengan pergeseran dan perubahan politik hukum dan otonomi daerah telah membawah pengaruh dalam sistem pemerintahan indonesia. Hal ini dapat diliha dari kerja BPUPKI yang disusul oleh PPKI untuk membentuk suatu negara indonesia yang justru memilih sistem pemerintahan dengan prinsip demokrasi dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik (baca : Pasal 1 Ayat (1) Dalam UUD 1945), dan pada saat yang bersamaan, masih ada juga yang menginginkan untuk membentuk negara kerajaan, akan tetapi usul itu tidak mendapatkan suatu peluang dan kesempatan.
Pada saat memilih prinsip demokrasi itu, Hatta selaku anggota BPUPKI, dipandang cenderung memilih bentuk federal yang dianggapnya lebih demokrasi untuk indonesia yang wilayahnya sangat luas dan penduduknya plural. Kecebderungan Hatta ini ditulis dengan luas oleh YB Mangunwijaya dalam bukunya Menuju Negara Republik Indonesia Serikat. Akan tetapi sebagian besar anggota BPUPKI menghendaki negara kesatuan, maka bentuk itulah yang disepakati. Dan hasil voting di BPUPKI telah menunjukkan 80 % menghendaki negara kesatuan dan hanya 17 % yang menghendaki negara federal. Pada awal Era Reformasi muncul wacana federalisme yang digagas oleh arsitektur era reformasi Amin Rais. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan judul makalah ini pada bab pembahasan yakni politik hukum dan otonomi daerah.
B. Rumusan Masalah
Di sadari atau tidak oleh pemerintah selama ini masih menekankan pada sistem pemerintahan yang semi parlementer dan bukan pada pembagian kekuasaan yang murni. Melalui sistem ini dibuatlah suatu pertanyaan :
1.Bagaimana sebenarnya sistem pemerintahan yang ideal bagi bangsa indonesia ?
2.Apakah bentuk pemerintahan indonesia sesuai budaya bangsa ?
C. Tujuan
Untuk mengkaji dan menganalisi perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai formulasi dan fenomena keterkaitan politik hukum
Mengembangkan politik hukum di kalangan mahasiswa baik untuk Strata satu (S1) maupun Strata dua (S2) di seluruh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta
Menyusun intrumen dan format pokok bahasan agar menjadi matakuliah wajib bagi mahasiswa.
Menambah pengetahuan tentang poltik hukum
D. Manfaat penulisan Makalah
Diharapkan pada penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pemahaman politik hukum untuk mengekselerasikan dan menyadari betapa pentingnya politik hukum bagi warga masyarakat, warga negara indonesia pada umumnya dan warga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada khususnya. Hal ini sangat tepat bagi kita sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum untuk mengembangkan tentang ilmu politik hukum.

BAB 2
KERANGKA TEORETIS
1. Awal Kemerdekaan.
Sejak awal kemerdekaan politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang sepertinya tidak akan pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi seperti aspek formal, materil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan lain sebagainya yang dalam praktik di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak tarik di kalangan elit politik dan massa.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yan kini berlaku seolah-olah adalah merupakan uji coba karena ia pun tetap menimbulkan masalah sehingga dianggap belum selesai dan memerlukan perbaikan kembali walaupun hanya menyangkut bahagian-bahagian tertentu saja.
Sebagaimana yang dikemukaan di atas tadi, politik hukum otonomi daerah senantiasa berubah sesuai dengan perubahan-perubahan politik sebagai wujud dari tolak-tarik kekuatan politik. Undang-Undang pertama lahir dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1945 adalah undang-undang otonomi daerah. UU ini dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan untuk menggelorakan semangat kebebasan.
Undang-Undang tersebut lebih menganut asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan kepada daerah tanpa secara spesifik menyebutkan jenis bidang urusannya. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang masih dirasakan dualistik. UU No 22 Tahun 1948 menganut asas otonomi formal dan sekaligus otonomi materiil. Hal ini dapat dilihat dan penerapannya dari pasal 23 ayat (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
Di era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga melahirkan UU No 1 Tahun 1957. Secara undang-undang pemilihan kepala daerah secara langsung belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan Pemerintah Daerah)
Pada era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik yang menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa, oleh karena itu disesuaikan konsepsi demokrasi terpimpin yang mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya dalam sistem pemerintahan justru pengekangan terhadap daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan wewenang mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, bahkan wewenang menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis tidak mempunyai peran.
Penpres ini kemudian diberi kemudian diberi baju hukum dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 yang sama sekali tidak mengubah substansi dan sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut. Perubahannya adalah lebih didasarkan pada upaya menempelkan Manipol-Usdek di dalam UU tersebut dan didasarkan pada pemikiran bahwa, sebaiknya Penpres itu diganti dengan UU mengingat konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya Penpres.
Setelah Demokrasi Terpimpin diganti oleh Sistem Politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali dirubah. Melalui Tap MPRS No. XXI / MPRS / 1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Namun sebelum UU tsb diubah telah terjadi perubahan konfigurasi politik orde baru dan langgam demokratis ke langgam otoritarian. Perubahan ini ditandai lahirnya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD. Kedua UU ini memberi energi luar biasa besar kepada eksekutif sehingga sistem politik indonesia menjadi benar-benar exekutive heavy.
Dengan kekuatan politiknya yang dominant, pemerintah orde baru kemudian mencabut Tap MPRS No. XXI/ MPRS/1966 tentang otonomi daerah memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPRS No. IV/ MPR/ 1973 tentang GBHN yang menyangkut politik hukum otonomi daerah yang penentuan asasnya diubah dari otonomi ”nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab” ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik menciptakan ketidakadilan politik seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah dan cara penetapan kepala daerrah dan ketidadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar menawar politik.
2. Era Reformasi
Era Reformasi Tahun 1998, politik hukum otonomi daerah di masa orde baru tertuang dalam UU No. 5 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali meletakkan prinsip otonomi luas antara Pusat dan Daerah seperti yang diwacanakan oleh Amin Rais yang kemudian ditolak.
Gagasan federalisme ditentang keras oleh banyak kalangan karena selain bertendensi membuang warisan berharga dan pesan sejarah yang sangat luhur dari para pendiri negara yang sangat arif dan juga bertentangan dengan ketentuan Pembukaan UUD 1945 pada Sila Ketiga Pancasila yang dipandang menganut bentuk negara kesatuan. Padahal yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah persatuan dan bukan kesatuan.
Dengan demikian baik bentuk negara kesatuan maupun bentuk negara federal tidak terkait langsung kuat atau lemahnya ”persatuan” suatu bangsa. Istilah persatuan dan kesatuan masing-masing mempunyai makna yang berbeda. Kata persatuan merujuk pada ”psiko-politik” artinya rakyat ingin bersatu dalam satu ikatan kebangsaan, sedangkan kesatuan merujuk pada ”struktur politik” yang di dalam UUD 1945 sebagai bentuk negara. Dalam istilah Persatuan dan Kesatuan tetap menimbulkan perdebatan. Dan dari perdebatan itulah lahir UU Pemerintah Daerah di era reformasi yakni UU No, 22 Tahun 1999
3. Perubahan Paradigma Otonomi Daerah
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari paradigma yang dianut pada era reformasi yang berbeda dengan paradigma di masa orde baru. Paradigma UU tentang pemerintahan daerah di era reformasi dimaksudkan untuk membongkar paradigma UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan patronase politik yang sistemnya yang sentralistik. Paradigma orde baru adalah pardigma pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, integritas dan pengendalian secara sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Hal ini menimbulkan kebijakan penyeragaman dan patronase politik.Oleh sebab itu, paradigma yang harus dianut adalah dari paradigma pembangunan menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik.
4. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ternyata juga dirasa kurang memuaskan dan dipandang perlu untuk diubah lagi. Maka lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 2004 tetap relevan dengan UU No. 22 Tahun 1999, namun pada praktiknya di lapangan oknum anggota DPR ikut melakukan KKN
Adapun isi hasil perubahan kedua UUD 1945 dituangkan dalam Pasal 18, 18 A dan 18 B yang selengkapnya : (lihat pada hal. 92 modul politik hukum)
1.Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi lagi ke dalam Kabupaten dan Kota yang diatur dengan Undang-Undang
2.Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
3.Pemerintah Daerah Provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu
4.Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokrassi
5.Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah pusat
6.Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
7.Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang
Perubahan isi pasal 18 UUD 1945 menghendaki pengaturan yang lebih ketat dari
Undang-undang nomor 22 tahun 1999, yang dituangkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagai berikut :
1.Prinsip Otonomi Daerah, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hirarkis Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945 UU No.32 Tahun 2004 menganut asas otonomi luas
2.Pemilihan Kepala Daerah, dengan menganut sistem pemilihan lansung memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya
3.Pertanggungjawaban Kepala Daerah, UU No, 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa pemerintah daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD adalah (hubungan kemitraan)
4.Sistem Pengawasan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ketentuan tentang pengawasan diseimbangkan dengan pembinaan melalui pengawasan represif yakni pengawasan berupa produk-produk daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Seperti Perda, kepkeda, khususnya retribusi, pemungutan pajak
5.Keuangan Daerah, berdasarkan pasal 79 UU Tahun 1999 digariskan bahwa sumber pendapatan daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari DAU dan DAK
6.Kepegawaian Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa kebijakan kepegawaian dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan manajemen kepegawaian di daerah menyangkut mutasi dan pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan oleh kepala daerah tanpa ada keharusan untuk berkonsultasi dengan gubernur atau pemerintah pusat. Pada pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen PNS di daeran dalam satu kesetaraan penyelenggaraan manajemen PNS secara nasional. Dan di dalam pasal 130 disebutkan bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pada jabatan eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh gubernur dan eselon II pada pemerintah kabupaten dan kota ditetapkan oleh bupati dan walikota setelah berkonsultasi dengan gubernur.
7.Pemberhentian Kepala Daerah. (baca pemberhentian hal 98 modul ini)
8.KKN di Daerah (baca hal 104 modul ini)
9.Penyebab KKN

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip dasar negara demokrasi ada dua yakni pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan
Indonesia adalah bentuk negara kesatuan
Pada era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata sudah dikenal adanya pemilihan kepala daeah secara langsung meskipun belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik
Di era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi luas yang menganggap mengancam keutuhan bangsa dan negara dengan konsep pengekangan daerah
Di era orde baru otonomi ”nyata yang seluas-luasnya” berubah menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab”.
Di era reformasi undang-undang nomor 5 tahun 1974 kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 22 Tahun 1999 juga masih dianggap belum sempurna sehingga melahirkan UU No. 32 Tahun 2004 dan kemungkinan besar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 akan mengalami suatu perubahan seiring dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.
B. saran-saran
Bahwa dengan desentralisasi yang semakin luas, maka semakin besar terjadinya otonomi dalam KKN yang meluas dari pusat ke daerah (legislatif dan eksekutif)
KKN tidak akan pernah habis sampai pada akar-akarnya karena hanya menyentuh pada puncak gunung es dari KKN dan Birokrasi menjadi steril dari upaya penegakan hukum karena terjadinya saling blocking antara orang yang terlibat kasus dengan penegak hukum. Penegak hukum harus dibekali Imtaq kepada Tuhan Yang Maha Esa
Jangan bersembunyi dibalik topeng atas nama rakyat kecil untuk melahirkan produk-produk hukum yang justru menyengsarakan rakyat....
Biarkan fenomena politik yang serba abu-abu dan ketidak-pastian penegakan hukum menjadi suatu dinamika euforia

Daftar Bacaan
Abdulgani Roeslan, 1998, Pancasila dan Reformasi, makalah seminar nasional KAGAMA, 8 Juli 1998 di Yogyakarta
Besar Abdulkadir, 1995 dalam Cita Negara Persatuan Indonesia, BP-7 Pusat, Jakarta
.................., 1998, Pancasila Dalam Perspektif Gerakan Reformasi
Modul Politik Hukum, Materi –Bahan Kuliah Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta oleh H. Idham Chalid SH, MH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar