Minggu, 14 Maret 2010

FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN KETIDAK PERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN KETIDAK PERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Darman, Mhs UID Angk XI
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A
A. Perdahuluan
Term hukum tidak bisa terlepas dari suatu masyarakat, di mana masyarakat mempunyai andil yang begitu besar terhadap suatu hukum. Tidak adanya manusia disuatu tempat maka hukum pun tidak akan ada, pemikiran inilah melahirkan adagium yang menyatakan : "ada hukum ada masyarakat"(ubi-ius ubi-societas).[1]
Hukum diciptakan guna memelihara hak-hak manusia dan tanggung jawab manusia, entah itu sifatnya individu maupun kolektif, sebagaimana tujuan dari hukum itu sendiri mengatur tata tertib masyarakat. Agar tujuan hukum dapat tercapai, maka hukum melahirkan norma-norma yang berisikan perintah dan larangan. Hukum merupakan salah satu dari empat macam norma yang terdapat pada kehidupan masyarakat. Keempat macam norma tersebut adalah: norma hukum, norma agama, norma kesopanan, dan norma kesusilaan. Yang membedakan norma hukum dari ketiga norma tersebut di atas adalah bahwa hukum memiliki sanksi yang tegas dan nyata terhadap para pelanggar. Inilah ciri kas dari hukum itu sendiri.[2]
Perkambangan hukum senantiasa selaras dengan perkembangan dan kemejemukan masyarakat. Dengan demikian maka terdapat paralelisme antara hukum dengan masyarakat. Definisi hukum menurut para pakar hukum dunia beragam macam dan bervariasi. Akan tetapi sudah ada beberapa peraturan yang sudah ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hukum merupakan pranata sosial yang hidup di masyarakat guna mengontrol kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Yang kemudian muncul masyarakat madani yang tentram dan damai, namun ini semua bukan sebuah persoalan yang mudah karena banyak tindakan-tindakan yang mengotori hukum yang kemudian timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Negara ini. Eronisnya mereka adalah oknum dari para penegak hukum yang melakukan tindakan yang tidak terpuji di tengah-tengah masyarakat.
Pada makalah ini penulis akan menelusuri penyebab timbulnya ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia dilihat dari aspek sosiologi hukum. Semoga dapat menambah wawasan keilmuan dan wacana tentang sosiologi hukum.

B. Pembahasan.
Hukum sebagai panglima adalah sebuah jargon kosong yang diperlihatkan para aparatur penegak hukum di Negara Indonesia selama ini. Terbukti munculnya tindakan-tindakan yang spontanitas dari masyarakat atas hukum yang tidak lagi memberikan perlindungan dan ketentraman terhadap masyarakat. Hukum yang seharusnya dijadikan sebagai sosial control, malah menjadi alat untuk menekan dan memaksa kehendak terhadap masyarakat oleh para penegak hukum dan peyelenggara Negara Contoh misal, jika berhubungan dengan aparat pemerintah, terutama dengan pengurusan yang berkaitan dengan masalah legalitas hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini, sering dikeluhkan oleh warga masyarakat, misalnya: masalah pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), antara tarif resmi dengan kenyataan, jumlahnya bisa berlipat-ganda. Hal ini terjadi, tidak terlepas dari situasi yang dialami penyelenggara Negara, yang pada saat ini terjebak oleh sistem yang hegomonik, yang dalam proses selanjutnya yang hemat penulis, mengumpulkan arogansi kekuasaan. Akibatnya, masyarakat menjadi diskriminasi oleh para penyelenggara Negara.
"Hukum kita sakit!" kata Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Satjipto Rahardjo. Prof Tjip, panggilan akrab Satjipto Rahardjo, mengatakan, hukum memang bisa sakit. Bisa karena penafsiran atas aturannya, bisa juga karena ulah penegak hukumnya. Penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, hendaknya tidak merasa bekerja di menara gading, lalu mengabaikan dan menganggap sepi aspirasi masyarakat. Kondisi saat ini adalah momentum untuk melakukan refleksi substantif dan merebut kembali simpati rakyat.
Hemat penulis inilah gambaran yang terlihat ke public yang telah menjangkit sampai ke jantung Negara yang semakin memperihatinkan. Penulis menilai bahwa seharusnyalah diambil langkah preventif dari pihak yang terkait untuk memberantas penyakit yang telah menggorogoti Negara ini sejak lama. Kalau dibiarkan berlarut-larur, maka penyakit yang bersarang di Negara Indonesia tidak akan dapat terobati dengan baik.
Beda halnya dengan dengan Prof. Dr. Amir Rais sang tokoh reformis Bangsa, mengatakan bahwa “Bangsa yang sedang sakit jiwa”.[3] Pernyataan ini tidaklah berlebihan adanya. Pernyataan pak Amin, sapaan akrab Amin Rais menjadi pertimbangan yang harus dijawab dengan mengapa sakit jiwa?. Mari dilihat tanda-tanda yang menguatkan pernyataan Pak Amin, keruntuhan moral telah menampakkan dirinya di mana-mana dari cara-cara kekerasan dilakukan, cara-cara penyelesaian hukum terhadap kekerasan dan lain sebagainya.
Tindakan-tindakan “amoralitas” dan melawan hukum seakaan-akan tidak pernah berhenti mewarnai kehidupan berbangsa: para penjarah yang mempertontonkan hasil jarahannya dengan riang gembira (kasus 14 Mei), sekelompok masyarakat yang mengarak potongan kepala seorang korban sambil bersukaria (kasus Banyuwangi), para aparat keamanan yang menginjak-injak kepala seorang mahasiswa yang telah tewas (kasus Semanggi), para wakil rakyat yang “tertawa-tawa” di dalam ruang sidang, sementara di luar terjadi kekerasan terhadap rakyat (kasus sidang MPR), penguasa yang menangkap para tokoh nasional yang “dicurigai” makar, sementara “membiarkan” saja di depan mata pembantaiana ratusan guru agama (kasus Barisan Nasional).[4]
Di atas adalah gambaran yang sangat mengerikan terhadap Bangsa yang dikenal dengan keramahannya di Asia Tenggara sampai ke polosok dunia, namun sekecap menjadi Bangsa yang seram dan kejam dengan kasus-kasus yang terjadi di atas. Sungguh suatu tindakan yang tidak sewajarnya dilakukan oleh rakyat Indonesia yang peramah dan pemurah ini.
Kemudian terjadi suatu gerakan pembebasan total dari nilai-nilai moralitas yang ada, karena nilai-nilai tersebut dianggap telah “didistorsi” atau “dicermati” oleh tangan penguasa. Aparat hukum dianggap tidak punya lagi legitimasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan keadilan. Hipermoralitas menggiring pada satu situasi di mana masyarakat tidak punya harapan lagi untuk mencari keadilan, dan perupaya mencari sendiri disebabkan apatisme yang muncul terhadap hukum.[5]
Abjeksi tidak berarti peniadaan hukum, tetapi satu situasi di mana hukum dipermainkan, diputar balikkan, diparodi, didistorsi, serta dilencengkan arahnya. Di dalam masyarakat yang daya kritisnya yang telah dibungkam selama beberapa puluh tahun, pelencengan hukum itu harus diterima sebagai suatu nasib. Akan tetapi, di dalam era keterbukaan sakarang, tindakan distorsi hukum yang masih saja dilakukan oleh penguasa justru akan mempertebal ketidak percayaan masyarakat.[6]
Dalam kondisi yang demikian, apapun yang dikatakan, direncanakan dan dilakukan oleh penguasa atau penegak hukum tidak bakalan dipercaya lagi oleh rakyat. Ketidak percayaan terhadap lembaga hukum yang dianggap dapat memisahkan benar-salah (Kejaksaan), ketidak percayaan terhadap aparat keamanan yang dianggap tidak dapat memisahkan kebaikan-kejahatan (Kepolisian), ketidak percayaan terhadap lembaga perwakilan rakyat yang dinilai tidak bisa menampung aspirasi rakyat (DPR/MPR), ketidak percayaan terhadap kepala pemerintahan yang dianggap tidak bisa memecahkan persoalan Bangsa (Presiden).[7]
Ketidak percayaan masyarakat terhadap aparatur Negara tersebut disebabkan para penegak hukum telah mempermainkan moralitas, aparatur Negara telah melakukan hipermoralitas. Masyarakat beranggapan bahwa yang dilakukan oleh peguasa dalam hal ini adalah para aparatur penegak hukum tidak lain hanyalah sebuah “permainan hukum” (justice game). Hukum cuman dianggap sebagai sebuah ajang “permainan bahasa” (language game).
Kecurigaan masyarakat terhadap aparat penegakan hukum tidak hanya sampai pada permainan bahasa saja, namun lebih parahnya lagi masyarakat mensinyalir bahwa adanya indikasi para penegak hukum mempermainkan “aturan main hukum” (rule of play) yang telah diketuk palu dan mendapat kekuatan hukum yang mengikat, bukan dalam rangka mencari keadilan (justice) atau kebenaran (truth), akan tepi cuma untuk menyembunyikan atau menutupi keadilan dan kebenaran yang telah disepakati bersama tersebut, demi untuk menyelamatkan kepentingan kekuasaan.[8]
Krisis legitimasi di dalam bidang hukum ini tampak telah meluas ke berbagai lapisan masyarakat, yang selanjutnya bermuara pada meluasnya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan masyarakat dalam mencari suatu keadilan yang diidam-idamkan oleh semua eleman Bangsa. Akhirnya kemudian muncul bahasa keadilan yang ditonjolkan dikalangan masyarakat luas yang lebih dikenal dengan “bahasa kekerasan”: penjarahan, pembakaran, pelemparan, penghancuran dan pembunuhan.

C. Factor-Faktor Ketidak Percayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum
Pasca reformasi masyarakat memiliki andil yang besar dalam kehidupan berhukum di Negara Indonesia. Masyarakat tidak lagi bodoh dengan hukum yang hidup di tengah-tengah bermasyarakat dan berbangsa dengan proaktifnya masyarakat dalam melihat perkembangan hukum itu sendiri. Kini masyarakat bebas berekspresi di segalah bidang khususnya untuk menentukan arah kebijakan hukum.
Adapun dewasa kini, masyarakat mulai geram dengan tindakan para aparatur penegak hukum (oknum), bukan terhadap hukum yang hidup di tengah-tengah bermasyarakat. Akan tetapi bentuk perlawanan masyarakat terhadap para penegak hukum. Terbukti dengan maraknya pelanggaran terhadap hukum itu sendiri, karena masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan para penegak hukum yang menjadi pejundang terhadap hukum yang dijadikan panglima di Negara Indonesia.
Dengan maraknya pelanggaran terhadap hukum, mulai dari hal-hal yang sepeleh hingga pada persoalan yang besar terlihat jelas dewasa ini di tengah-tengah masyarakat yang sepertinya sengaja diperlihatkan di depan umum untuk diakses ke publik. Ini menjadi indikasi yang tidak baik untuk para penegak hukum yang harus berbenah sedini mungkin untuk mengembalikan citra hukum di masyarakat.
Pada makalah ini penulis tidak akan memaparkan atas semua kasus-kasus yang terjadi dewasa ini yang marak terjadi di tengah-tengah masyarakat dari penjarahan, pembakaran, pelemparan, penghancuran dan pembunuhan hingga pada tindakan main hakim sendiri yang kesemuanya ini menyalahi aturan hukum yang tertera pada peraturan perundang-undangan. Namun demikian adanya di masyarakat yang merupakan bentuk perlawanan masyarakat atas penegakan hukum yang diskriminatif.
Restreksi dan larangan tindakan main hakim sendiri pada hakikatnya merujuk pada gagasan kedamaian batin yang merupakan fondasi setiap tertib hukum. Inilah perdamaian, yang di dalam Abad Pertengahan, pada waktu berkecamuknya begitu banyak pertengkaran berdarah dan “private-wars”, dinamakan perdamaian Tuhan dan perdamaian Negara. Konsensus yang terjadi antara yang memerintah dan yang diperintah, bertumpu pada suatu gagasan adanya keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dijadikan dasar keadilan. Beberapa aturan, antara lain yang berhubungan dengan pengaturan penyelesaian perselisihan pada hakikatnya lebih mengutamakan kepastian hukum.[9]
Gambaran di atas sebagai bukti bahwa masyarakat Indonesia tidak lagi percaya terhadap khususnya para aparatur penegak hukum. Masyarakat marah, benci dan muak dengan para penegak hukum yang sangat diskriminatif dalam penegakan hukum di Negara ini. Ambil contoh kasus Atambua, Poso, Ambon, Sampit, Papua dan masih banyak lagi kasus, ini disebabkan masyarakat menilai atas kinerja aparatur penegak hukum tidak populis.
Akhir-akhir ini disuguhi berita-berita di media, baik elektronik maupun cetak tentang kasus-kasus yang mengiris hati. Seorang nenek yang mengambil kakao ditangkap, seorang kakek mengambil sendok penggoreng tahu ditahan, dua orang ayah yang kebetulan lapar kemudian mengambil dan memakan sebuah semangka dipenjarakan dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus yang diperlihatkan oleh para penegak hukum di Negara dan Bangsa ini yang sangat memprihatinkan kehidupan berhukum.
Di sini penulis mengangkat kasus yang kontroversial dewasa ini dan marak diperbincang di media, yaitu kasus ibu 2 orang anak Prita Mulyasari yang dipenjara atas tuduhan pencemaran nama baik sebuah korporasi besar rumah sakit OMNI Internasional. Ibu muda ini didakwakan melanggar Undang-Undang Tehnologi dan Informasi oleh Hakim Ketua Pengadilan Negeri Tengerang dengan hukuman denda 200 juta.
Reaksi muncul dari masyarakat dengan koin untuk prita yang mengejutkan semua elemen Bangsa. Masyarakat dari kalangan artis ibu kota sampai dengan tukang sampah berbondong-bondong membantu dengan mengumpulkan uang ataupun tabungan. Ironisnya uang yang terkumpulkan jauh dari perkiraan dan bahkan melebihi dari tuntutan hakim, 600 juta uang rejehan terkumpul untuk membantu Prita Mulyasari.
Spontan masyarakat meluapkan kekecewaan terhadap aparatur penegak hukum yang kian menyedihkan, dengan mengumpulkan koin. Tindakan spontanitas ini sebagai bentuk perlawanaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang semakin pempihatikan. Hemat penulis dalam melihat fenomena hukum yang terjadi dewasa kini, adalah merupakan tindakan yang tidak berprikemanusiaan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Lemahnya iman dan takwa adalah sumber ketidakadilan itu muncul kepermukaan yang selanjutnya elemen bangsa ramai-ramai menjastifikasi.
Belum lagi kasus baru-baru ini yang menghebohkan yang ditemukan oleh tim pemberantasan mafia hukum di rutan pondok bambu Jakarta Timur. Sungguh keadilan di Negara Indonesia tidak lagi menjadi primadona yang didambakan oleh para pendiri Bangsa ini. Sebuah pemasyarakatan yang seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki moral para narapinada malah menjadi ajang diskriminasi. Dimanakah letak efek jerah dari hukum ?.

D. Perspektif Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum bertujuan untuk mendeskripsikan terhadap praktik-praktik hukum dan menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh, latar belakangnya dan sebagainya.[10] Disini penulis menjelaskan faktor-faktor yang melahirkan ketidak percayaan masyarakat tehadap para penegak hukum di Negara ini.
Masyarakat telah jenuh dan tidak percaya lagi dengan perlakuan para penegak hukum di Negara Indonesia yang katanya menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi. Ini terlihat dengan semakin meningkatnya pelanggaran masyarakat dewasa ini terhadap hukum. Masyarakat tidak lagi taat pada peraturan hukum, akan tapi masyarakat takut terhadap hukum. Dengan maraknya main hakim sendiri di tengah-tengah masyarakat adalah salah satu faktor dari sekian banyak penyabab ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Negara ini.
Ini gambaran yang kelam dan suram terhadap penegakan hukum di Indonesia yang diakibatkan oleh para aparatur penegak hukum itu sendiri. Masyarakat tidak lagi menutup sebelah mata dalam melihat kasus-kasus hukum yang sangat diskriminatif.

E. Kesimpulan
Isi hukum akan dianggap berkualitas jika sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan kehendak penguasa semata. Hukum yang baik adalah hukum yang responsif, bukan represif. Subtansi hukum yang dimaksud di sini juga meliputi hukum abstracto dan hukum konkreto, hukum privat maupun hukum publik. Komponen selanjutnya adalah kultur/budaya hukum. Komponen ini menyangkut tingkat kesadaran hukum masyarakat. Dalam proses penegakan hukum, komponen ini juga sangat berpengaruh sebab akan menentukan apakah suatu hukum ditaati atau tidak.
Kemudian selanjutnya para penegak hukum yang menjadi tolak ukur berjalannya hukum dengan maksimal di tengah-tengah masyarakat. Aparatut penegak hukum akan menjalankan tugas dengan baik apabila yang dikatakan almarhum Baharuddi Loppa dengan kembali pada Iman dan Taqwa. Inilah kunci hukum akan berjalan dengan baik di masyarakat. Dan cat generation atau pemutusan generasi untuk melakukan supremasi hukum serta diikuti dengan perubahan sistem.

F. Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Gilissen, Emeritus John dan Prof. Dr. Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum; Suatu Pengantar, Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Hakim, Lukman, Revolusi Sistemik; Solusi Stagnasi Reformasi dalam bingksi Sosialisme Religius, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.
Muqoddas, Busyro, Luthan Salman, dan Miftahudin Muh, Politik Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta: UII Press, 1992.
Parera, Frans M. dan T. Jakob Marganingsih, Demokrasi dan Otonomi; Mencegah Disintegrasi Bangsa, Jakarata: PT. Kompas Media Nusantara, 1999
Pipin, Syarifuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar