Minggu, 14 Maret 2010

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Alfiah Yuliastuti, S2 Hukum UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

A. Latar Belakang

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk memngembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara – perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alas an dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim.
Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.
Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1. Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2. Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.
3. Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4. Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan diajukan dengan perumusan masalah sebagai berikut;
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara?
2. Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur rasa keadilan bagi masyarakat?
C. TUJUAN MASALAH
Bedasarkan permasalahan di atas, tujuan pembuatan makalah ini adalah;
1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
D. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Luaran yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah;
1. Mampu memberikan perhatian kepada para hakim dalam mengeluarkan suatu putusan harus selalu berlandaskan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat
E. PEMBAHASAN
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsure-unsur tersebut.
Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsure yuridis (kepastian hukum) dengan unsure filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memerisa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.
D. Kesimpulan

Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kebebasan Hakim terutama di Indonesia hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara namun yang penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar