Minggu, 14 Maret 2010

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERKENEAN DENGAN PILKADA DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERKENEAN DENGAN PILKADA DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Sudaryanto, NPM: 7109182, UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, sistem pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di aras lokal. Setidaknya, sistem Pilkada Langsung memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem rekruitmen politik yang ditawarkan oleh model sentralistik "ala" UU No. 5 Tahun 1974 atau model demokrasi perwakilan yang diretas oleh UU No. 22 Tahun 1999.
Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis, Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, pertama, sistem, demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luar bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir orang di DPRD (Oligarkis).
Kedua, dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Pilkada Langsung bisa memberikan sejumlah harapan pada upaya pembalikan "syndrome" dalam demokrasi perwakilan yang ditandai dengan model kompetisi yang tidak fair, seperti; praktik politik dagang sapi dan money politics.
Ketiga, sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik -seperti yang kasat mata muncul dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di aras lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Keempat, Pilkada Langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Karena, melalui Pilkada Langsung, kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelitir elite di DPRD. Dengan demikian, Pilkada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya yang pada akhirnya akan mendekatkan kepala daerah dengan masyarakarat¬warganya.
Kelima, Kepala daerah yang terpilih melalui Pilkada akan memiliki legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan (check and balances) di daerah; antara kepala daerah dengan DPRD. Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.
Namun, semua cita-cita dan harapan itu tidak akan terwujud tanpa adanya komitmen bersama seluruh elemen bangsa yang berkepentingan dalam proses Pilkada tesebut untuk menaati segala peraturan-peraturan perundang¬undangan yang berkaitan dengan Pilkada. Mengingat, pilkada sebagai salah satu proses demokratisasi merupakan sebuah hajat yang secara sisiologis menyangkut kehidupan orang banyak dalam suatu territorial.
Dan lebih jauh, hokum (dengan segala produknya) tak bisa dilepaskan dari aspek sosiologis yang melatarbelakanginya.
Untuk itulah, makalah ini akan membahas mengenai Penegakan Hukum terhadap Peraturan Perundang-undangan Berkaitan dengan Pilkada dilihat dari Aspek Sosiologi Hukum.

B. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) dapat tercapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu, sekaligus mampu melindungi para penyelenggara, peserta, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu.
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.
Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, negara, dan berbagai organisasi politik, ekonomi, sosial. Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comtetahun 1842. Sehingga Comte dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Selanjutnya Emile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis.
Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology pada tahun 1876. Di Amerika Lester F.Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sebagai sebuah, Sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau UMUM.
Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. Kerangka Konseptual
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 115 – 119

C. Perumusan Masalah
Bagaimana Penegakan Hukum terhadap Peraturan Perundang-undangan
Berkaitan dengan Pilkada dilihat dari Aspek Sosiologi Hukum.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis terhadap sistem penegakkan hukum pilkada
Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) dapat tercapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur semua proses pelaksanaan pemilu, sekaligus mampu melindungi para penyelenggara, peserta, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu.
Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundangan pemilu tersebut. Prinsip-prinsip ini berlaku pula pada pelaksanaan pilkada.
Bila dijabarkan secara lebih rinci lagi maka ada sepuluh instrumen yang harus disiapkan untuk membangun sistem penegakkan hukum pilkada, yaitu (1) Tersedia mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif, (2) Tersedia aturan mengenai hukuman untuk pelanggaran pemilu; (3) Ada ketentuan terperinci dan memadai untuk melindungi hak pilih; (4) Hak bagi pemilih, kandidat, parpol untuk mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan; (5) Lembaga penyelenggara pemilu atau lembaga pengadilan memberikan keputusan untuk mencegah hilangnya hak pilih korban; (6) Adanya hak untuk banding; (7) Keputusan yang sesegera mungkin; (8) Aturan mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memutuskan gugatan; (9) Ada kejelasan mengenai implikasi bagi pelanggaran aturan pemilu terhadap hasil pemilu; dan (10) Proses, prosedur, dan penuntutan harus menghargai HAM.
Bila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, maka masalahmasalah hokum yang ada dan diatur ini hampir sama dengan yang diatur dalam pemilu yaitu terdiri atas pertama tindak pidana pilkada. Tindak pidana pilkada, ini adalah pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam undang-undang yang diancam dengan sanksi pidana.
Dalam UU No. 32 tahun 2004 diatur dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Kedua pelanggaran administrasi pilkada. Pelanggaran ini merupakan perbuatan melanggar ketentuan peraturan perundangan yang tidak diancam dengan sanksi pidana, khususnya pelanggaran terhadap ketentuan, persyaratan, kewajiban, perintah dan larangan. Ketiga perselisihan administrasi pilkada.
Di mana perselisihan ini terjadi karena adanya keputusan atau tindakan penyelenggara pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, dalam hal ini adalah warga negara (yang mempunyai hak memilih dan dipilih), partai politik pengusul, bakal calon kepala daerah, dan calon kepala daerah/wakil kepala daerah, yang terjadi dalam tahapan tahapan pilkada.
Dan keempat perselisihan hasil pemilu. Suatu perselisihan yang ditimbulkan oleh keputusan penyelenggara pemilu tentang hasil pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, dalam hal ini calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah, yang terjadi pada tahapan penetapan hasil pilkada, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No. 32 tahun 2004.
Dalam pelaksanaan sistem penegakkan hukum pilkada yang berlaku saat ini, problem penegakkan terjadi pertama kurang optimalnya kerja pengawas dan penyelenggaraan pilkada, kedua instrumen hukum yang terbatas, dan ketiga masih lemahnya kompetensi instansi penegak hukum.
Pada problem yang kedua mengenai instrumen hukum yang terbatas, dalam ketentuan UU mekanisme hukum yang digunakan sangatlah terbatas, karena hanya terkait dengan pelanggaran pidana dan penetapan hasil pilkada. Dalam pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administrasi, KPUD sebagai subjek banyak dilindungi oleh UU dengan menyebutkan bahwa
Keputusan KPUD sebagai final dan mengingat. Tidak ada upaya hukum yang tersedia untuk menilai apakah keputusan atau tindakan yang dilakukan oleh KPUD sudah tepat sesuai dengan ketentuan peraturan atau tidak. Seperti dalam kasus-kasus keberatan masyarakat yang kehilangan hak pilih, keberatan pasangan calon yang gagal menjadi peserta pilkada, serta keberatan kandidat mengenai penghitungan suara di TPS, PPS, PPK, atau KPUD.
Untuk itu, perlu disusun kembali konstruksi mekanisme keberatan ini dengan memberikan kesempatan kepada para pihak yang dirugikan untuk dapat mengajukan keberatan pada setiap tahapan pilkada dengan ketentuan yang jelas, ketat, dan batasan waktu yang rinci sehingga proses keberatan ini dapat ditangani dengan baik oleh instansi yang dituju tanpa mengganggu pelaksanaan tahapan pilkada.
Khusus untuk menentukan kerangka waktu penyelesaian kasus perselisihan administrasi pilkada ini, setidaknya ada tiga pertimbangan yang harus mendapat perhatian, yaitu pertama, adanya waktu bagi pihak yang mungkin merasa dirugikan oleh keputusan penyelenggara pilkada untuk mengetahui dan memahami materi keputusan sehingga mereka bisa memutuskan untuk mengajukan keberatan, atau tidak. Kedua, proses penyelesaian kasus perselisihan administrasi pilkada yang ditangani oleh penyelenggara pemilu di level atasnya harus lebih singkat jika dibandingkan dengan kasus yang harus diselesaikan oleh hakim pilkada di lembaga peradilan. Ketiga, kasus perselisihan Pilkada pada satu tahapan harus sudah diselesaikan sebelum tahapan berikutnya dimulai.
Selain itu pula lembaga yang menangani keberatan pemilu ini ada beberapa yaitu: KPU/ KPUD, Pengadilan Tinggi (Hakim ad-hoc pemilu di PT), dan Mahkamah Agung (hakim ad-hoc pemilu di MA). Diharapkan pula hakim ad-hoc pemilu baik di PT maupun di MA ini beranggotakan hakim karier dan juga ahli hukum (khususnya hukum pemilu atau yang berkaitan dengan pemilu). Saat ini bila mengacu pada ketentuan UU Penyelenggara Pemilu yang baru saja disahkan, telah diatur bahwa yang akan memutus dan menyelesaikan kasus-kasus keberatan atas pelanggaran administrasi pilkada maupun pemilu adalah KPU/KPUD yang berada pada struktur di atasnya.
Sedangkan mengenai masih lemahnya kompetensi instansi penegak hukum, dibutuhkan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana yang menangani kasus-kasus tindak pidana pemilu. Seluruh komponen dalam sistem ini –selain menguasai pengetahuan dan skill hokum pada umumnya– mesti menguasai hukum dan proses pilkada. Komponen yang bekerja dalam sistem peradilan pidana khusus untuk menangani tindak pidana pilkada ini adalah: (1) Polisi (khususnya tim yang khusus menangani tindak pidana pemilu); (2) Jaksa (khususnya tim jaksa yang khusus menangani tindak pidana pemilu; dan (3) Pengadilan (khususnya hakim-hakim yang masuk tim khusus menangani tindak pidana pemilu).
Walaupun secara normatif, Pilkada Langsung menyisakan sejumlah harapan namun pada saat yang bersamaan Pilkada Langsung juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan memperoleh manfaat dari sistem Pilkada Langsung adalah kemampuan untuk menghindari jebakan demokrasi electoral.
Hal ini penting karena kurang lebih empat tahun belakangan ini, konsep demokrasi elektoral – sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat- merupakan konsep yang sangat populer. Prinsip-prinsip demokrasi elektoral tidak hanya diyakini dalam dunia akademik, melainkan sudah menjadi rujukan utama dalam praktek politik dan pemerintah di Indonesia.
Setidaknya hal itu terlihat jelas dalam kerangka paradigmatik yang menjiwai politik regulasi nasional maupun tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh rezim pasca Soeharto, mulai dari rezim Habibie sampai dengan Megawati. Seperti pada umumnya penganut pendekatan elektoral, para akademisi dan praktisi politik dewasa ini merumuskan demokrasi sebagai pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Sehingga dalam merumuskan makna demokrasi, mereka selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Secara prosedural, ketiga hal pokok itu, dilembagakan dalam pemilihan umum dan lembaga perwakilan. Pemilu, merupakan arena kompetisi untuk menentukan pejabat-pejabat publik di eksekutif maupun legislatif. Partai politik dan parlemen merupakan dua institusi politik utama yang menjadi wadah artikulasi dan agregasi kepentingan publik.
Penekanan yang berlebihan pada elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi: Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun.
Banyak kalangan sudah berpuas diri ketika sistem pemilihan langsung Presiden, Gubernur dan Bupati/ walikota berhasil terumuskan dalam agenda policy reform. Padahal, sistem pemilihan langsung itu tidak akan berarti apa-apa bagi demokrasi jika sistem itu justru menjadi "topeng" atau bahkan dibajak oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi. Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral beresiko menimbulkan apa yang disebut Tery Karl dengan "kekeliruan elektoralisme" Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih.
Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Budaya politik menyangkut pola keyakinan, nilai-nilai, ide-ide, sentimen dan sikap-sikap suatu masyarakat tentang sistem politik negeri mereka dan peran masing-masing individu dalam sistem tersebut.
Keempat, demokrasi elektoral cenderung formalis dan procedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu (ertzast). Mungkin saja terlihat ada perluasan partisipasi massa, namun partisipasi yang tedadi lebih dalam kerangka mobilisasi. Demikian pula dengan kompetisi politik, secara formal menurut kreteria demokrasi elektoral, pemilu multipartai sudah dilakukan secara bebas dan reguler, namun secara substansi kompetisi itu dilakukan dalam manifestasi kultural yang sama sekali berbeda.
Sehingga demokrasi elektoral menjadi gagap dalam menjelaskan peranan para botoh dan perilaku mistis dari sebagian elite politik yang tengah melakukan kompetisi politik. Elektoral temyata bukan satu-satunya ukuran dalam melihat demokrasi bekerja, akan tetapi ada banyak variabel lokal dan kultural yang menjadi penentu keberhasilan jalannya demokrasi di tingkat local. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh J Mardimin dalam kompetisi politik di pedesaan Jawa, menunjukan bahwa ada tiga hal yang dianggap sebagai modal utama bagi seorang calon perangkat desa untuk memenangkan pemilihan; dukun, duit dan dukungan.
Akhirnya, keempat kritik yang ditujukan pada demokrasi elektoral bukan sesuatu yang berlebihan. Karena pengabaian terhadap dimensi liberalisasi, budaya politik dan legitimasi demokrasi ini menimbulkan kosekuensi terbangunnya model demokrasi semu (pseudo democracy). Juan Linz mendefinisikan demokrasi semu sebagai sebuah kecenderungan dimana "keberadaan lembaga-lembaga politik demokratis secara formal, seperti pemilu multi partai menyebabkan dominasi kekuatan otoriter menjadi tidak karat mata".
Dalam tipologi yang berbeda demokrasi semu berawal dari konsensus diantara para pemain-pemain politik untuk menggunakan prosedural dan institusi demokrasi secara formal, namun substansi permainan berada di luar skenario yang diinginkan oleh penganjur demokrasi elektoral. Sehingga akhirnya masyarakat menjadi kehilangan kontrol pada substansi maupun proses perumusan kebijakan publik.

B. Indikator Keberhasilan Pilkada Langsung
Belajar dari kelemahan dan kritik dari demokrasi elektoral maka ukuran tentang kualitas Pilkada langsung seharusnya tidak diletakkan semata-mata pada ukuran formal-prosedural, melainkan jauh lebih dalam pada ukuran-ukuran kualitatif dan substantif. Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara ukuran formal-procedural dengan ukuran substantive.
Dengan demikian, indikator pertama keberhasil Pilkada, adalah Pilkada seharusnya memberi ruang kebebasan bagi warga negara dalam mengekspresikan hak-hak dasar. Kedua, pilkada berlangsung melalui kompetisi yang fair. Ketiga, pilkada, seharusnya menciptakan kepemimpinan politik yang berkualitas dan memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Dalam mewujudkan pilkada yang berkualitas, ketiga indikator tersebut di atas, seharusnya teraktualisasi dalam setiap tahap penyelenggaraan pilkada , mulai dari tahap pendaftaran pemilih, sampai pada pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Akhirnya, untuk mencapai demokrasi yang lebih substantif berdasarkan indikator di atas, maka cara melihat keberhasilan Pilkada, langsung harus diletakkan pada sejauhmana pencapaian dari sisi proses dan hasil. Dalam demensi proses, Pilkada langsung seharusnya dibaca sebagai sarana, untuk memperdalam dan memperluas proses konsolidasi demokrasi di Indonesia secara kualitatif.
Sedangkan dalam demensi hasil; pilkada, langsung seharusnya ditempatkan sebagai instrumen untuk mendapatkan kepemimpinan politik yang lebih akuntabel dan responsif dalam mengantarkan pelayanan publik dan kesejahteraan bersama yang lebih baik bagi warga-masyarakat di daerah.

C. Pilkada Sebagai Proses Sosial
Partisipasi warga negara, dalam pilkada memiliki kontribusi bagi pengembangan kualitas demokrasi kalau para partisipan memiliki kesadaran kritis dalam menggunakan hak-haknya. Ada beberapa poin penting dalam isu partisipasi politik ini: Pertama, kemungkinan tingkat partisipasi politik yang rendah dalam Pilkada. Langsung. Indikasi kerah ini setidaknya bisa bersandar pada data hasil pemilu legislatif pada bulan April 2004 dan Pilpres putaran pertama dan kedua.
Apa yang terjadi dalam pemilu legislatif dan Pilpres bisa saja akan berulang kembali dalam Pilkada. Langsung. Dalam tiga putaran pemilu itu, terlihat dengan jelas bagaimana, tingkat partisipasi pemilih di Indonesia secara kuantitatif clan kualitatif.
Salah satu yang menarik dari data itu adalah tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya dalam pemilu legislatif 2004. Bahkan beberapa, media pernah membuat pernyataan bahwasanya partai politik yang memenangkan pemilu adalah partai Golongan Putih (Golput) karena jumlah golongan masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai angka 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat.. Sebuah angka yang cukup besar dibandingkan dengan perolehan partai Golkar- yang memenangkan pemilu dengan 24,48 juta suara. Data statistik menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam pemilu 2004 hanya mencapai 84,07 % dari total 148 juta pemilih yang terdaftar. Sementara, suara tidak sah mencapai 8,81 % dari total 124,42 juta pemilih yang mencoblos.
Dari 34, 5 juta yang tidak menggunakan hak pilih itu, 23,5 juta diantaranya tidak datang ke tampat pemungutan suara. Pilpres putaran kedua juga ditandai dengan meningkatnya jumlah suara golput. Kalau dalam pemilu legislatif, jumlah pemilih yang mengambil sikap golput 23,34 persen maka dalam pemilihan presiden putaran kedua mencapai angka 35.583.483 (23,37 persen).
Memang tingginya jumlah pemilih yang tidak menggunakan haknya tidak selalu bisa dibaca sebagai sikap Golput karena mungkin saja kesalahan administrasi-pencatatan maupun lemahnya sosialisasi pemilu (kesalahan dalam mencoblos). Namun, melihat prolog pemilu 2004 yang ditandai dengan semakin besarnya tingkat ketidak percayaan (distrust) masyarakat pada partai politik, parlemen dan pemilu, maka tingginya angka pemilih yang tidak menggunakan haknya bisa dirasakan sebagai sebuah fenomena protes Kedua, kemungkinan kembalinya pola-pola partisipasi semu dalam Pilkada langsung; melalui instrumen mobilisasi massa pemilih dan buying votters. Keduanya bisa saling menguatkan, munculnya pemilih "siluman" sangat dekat dengan penggunaan uang dalam memperoleh dukungan.
Modus mobilisasi massa pemilih dalam Pilkada langsung ini setidaknya akan mirip dengan cara-cara yang digunakan pada pemilu Presiden putaran pertama- dimana seorang kandidat Presiden (walaupun tidak pernah dibuktikan) memobilsasi massa dari luar daerah ke sebuah Pesantren Al Zaitun di Jawa Barat. Dalam Pilkada langsung modus semacam bisa saja berulang, dimana kandidat yang bersaing akan memobilisasi massa dari luar Provinsi/ Kabupaten/ daerah dimana pilkadal itu berlangsung. Peluang mobilisasi pemilih ini menjadi kuat di tengah "kelemahan historis" sistem administrasi kependudukan, karena mudah "disogok" sehingga memudahkan seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan KTP ganda.
Ketiga, kemungkinan munculnya diskriminasi terhadap pemilih berdasarkan etnisitas. Pentingnya faktor komposisi demografik berbasikan etnisitas dalam perhitungan politik masing kandidat yang bersaing dalam Pilkada langsung mengakibatkan akan ada upaya yang sistematik untuk memilah ¬milahkan Kedua, kemungkinan kembalinya pola-pola partisipasi semu dalam Pilkada langsung; melalui instrumen mobilisasi massa pemilih dan buying votters.
Keduanya bisa saling menguatkan, munculnya pemilih "siluman" sangat dekat dengan penggunaan uang dalam memperoleh dukungan. Bagaimana modusnya? Modus mobilisasi massa pemilih dalam Pilkada langsung ini setidaknya akan mirip dengan cara-cara yang digunakan pada pemilu Presiden putaran pertama- dimana seorang kandidat Presiden (walaupun tidak pernah dibuktikan) memobilsasi massa dari luar daerah ke sebuah Pesantren Al Zaitun di Jawa Barat.
Dalam Pilkada langsung modus semacam bisa Baja berulang, dimana kandidat yang bersaing akan memobilisasi massa dari luar Provinsi/ Kabupaten/ daerah dimana pilkada itu berlangsung. Peluang mobilisasi pemilih ini menjadi kuat di tengah "kelemahan historis" sistem administrasi kependudukan, karena mudah "disogok" sehingga memudahkan seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan KTP ganda.
Ketiga,kemungkinan munculnya diskriminasi terhadap pemilih berdasarkan etnisitas.pentingnya factor komposisi demografik berbasikan etnisitas dalam perhitungan politik masing kandidat yang bersaing dalam pilkada langsung menghakibatkan aka nada upaya yang sistematik untuk memilahkan langsung tidak berjalan dengan berkualitas ketika lembaga penyelenggara pemilu tidak kompeten dan kredibel.
Kedua hal tersebut seringkali dipertanyakan ketika dalam pasal 37 UU no. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pemilihan Kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD.
Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal 67 ayat (1) butir c yang menyatakan KPUD berkewajiban menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahpa pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat. Atau butir e dalam pawl yang sama dimana KPUD berkewajiban mempertanggujawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD. Pertanggungjawaban penyelenggaraan pilkada langsung oleh KPUD ke DPRD tentu menimbulkan sejumlah kontroversi ketika UU No. 12 tahun 2003 secara jelas menempatkan KPU sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Ketika UU No. 32 Tahun 2004 menempatkan KPUD dibawah dan bertanggung jawab pada DPRD maka sudah dipastikan akan muncul problematika dari sisi independensi-nya. Karena KPUD akan sangat mudah diintervensi atau juga "dikerjai " oleh kekuatan politik dominan yang menguasai DPRD.
Disamping itu, ada beberapa pasal dalam UU no. 32 tahun 2004 yang juga"mengebiri" kewenangan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung. Misalnya, pasal 82 ayat (2) dimana DPRD mempunyai kewenangan untuk memberikan sanksi pembatalan sebagai calon apabila melakukan money politics.
Selain itu, amanat UU no. 32 tahun 2004 yang menyerahkan kewenangan tata cara persiapan dan semua tata pelaksanaan pilkada kepada pemerintah dalam bentuk PP akan memungkinkan intervensi kepentingan politik Jakarta (pemerintah pusat) dan akhirnya KPUD menjadi tidak kredibel. Diluar itu, intervensi pemerintah pusat juga dimungkinkan oleh pasal 109 dalam pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur; Bupati maupun wakil bupati.
Faktor kopetensi juga menjadi pertanyaan karena KPUD belum berpengalaman dalam membuat perencanaan teknis pelaksanaan pemilihan umum, padahal menurut UU no. 32 tahun 2004, tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada sangat besar. Kewenangan yang besar tanpa diimbangi oleh supervise, asistensi teknis tentu akan menimbulkan problematika serius dalam teknis penyelenggaraan pilkada di daerah.
Problematika kedua adalah kredibilitas dan kopetensi Panitia Pengawas. Belajar dari pengalaman pemilu legislatif dan Pilpres, keberadaan lembaga pengawas seringkali tidak bisa berjalan dengan maksimal. Tidak maksimal-nya fungsi pengawasan ini salah satunya karena lembaga pengawas tidak bisa menjadi lembaga yang independen. Peluang ke arah berkurangnya kemandirian lembaga pengawas ini semakin besar ketika UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan Panitia Pengawas dibentuk oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan laporannya.
Problematika ketiga adalah netralitas birokrasi-pemerintahan daerah. Netralitas ini menjadi persoalan krusial ketika beberapa minggu ini di beberapa tempat sudah mulai muncul indikasi aparat birokrasi didayagunakan dan dikerahkan untuk mendukung kandidat yang ingin mencalonkan diri kembali. Kasus penolakan Penjabat Bupati di Kabupaten Kutai kertanegara menunjukkan bagaimana rentannya posisi birokrat dalam persaingan politik di daerah. Problematika ini terkait dengan beberapa isu; langkah-langkah politik dari Gubemur/ Bupati/ Walikota yang berakhir masa jabatannnya terutama dalam kasus pembiayaan Pilkada; dan posisi politik dari penjabat kepala daerah.
Problematika keempat adalah mengenai pembiayaan Pilkada. Persoalan di seputar pembiayaan akan terkait dengan kerdibilitas dan kapasitas KPUD dalam menyelenggarakan Pilkada. Ada beberapa isu yang berkaitan dengan pembiayaan Pilkada: (a). keterbatasan anggaran ketika terjadi kesenjangan antara kebutuhan anggaran yang diajukan oleh KPUD dengan realisasi yang disetujui oleh DPRD. (b). politisasi pembiayaan Pilkada, dimana posisi tawar yang dimiliki oleh kekuatan politik dominan atau Kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sangat besar dalam menentukan anggaran dan posisi itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. (c). problem transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran oleh KPUD.
Problematika kelima berkaitan dengan kemandirian dan kopetensi Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada. Seperti yang diamanatkan oleh pasal 106 UU No. 32 Tahun 2004, bahwa Mahkamah Agung berwenang memutuskan sengketa hasil pilkada yang bersifat final dan mengikat. Pemberian kewenangan bagi Mahkamah Agung untuk memutus sengketa hasil pemilu disamping kontroversial kalau disandingkan dengan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, juga karena MA diragukan kredibilitasnya oleh publik (dengan munculnya isu Mafia peradilan) dan dari sisi kemampuannya, terutama dalam memutuskan dengan kurun waktu maksimal 14 hari (bagaimanapun MA dikenal mempunyai tumpukkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan).
Problematika keenam, menyangkut political equality (persamaan kesempatan untuk berkompetisi) ketika UU No. 32 tahun 2004 dalam pasal 56 ayat 2 menyatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu legislatif di daerah bersangkutan. Pembatasan pasangan calon Kada yang hanya berasal dari Parpol atau gabungan parpol akan menimbulkan beberapa konsekuensi:
a. Makin terbatasnya preferensi dari pemilih dalam mendapatkan figur-figur yang berkualitas. Karena banyak figur-figur yang memiliki kompetensi tinggi¬ justru pilihan politik mereka berada diluar –dan tidak bersedia masuk menjadi partisan partai politik. Kalaupun calon independen ini akhirnya masuk dalam bursa kompetisi intrenal partai politik maka posisi tawar mereka cenderung sangat lemah.
b. Politik satu pintu membuat pintu menjadi sesak dan selanjutnya akan memperluas konflik internal dalam partai politik. Dalam pertarungan internal sudah dapat dipastikan akan digunakan segala cara untuk memenangkan pertarungan; seperti penggunaan kekuatan uang, mobilisasi dukungan, premanisme dan jugs manipulasi wacana (isu kader dan non kader/ kutu loncat/ anak kos dan sebagainya).
c. Hal di atas diperparah dengan fakta empirik yang menyatakan bahwa tidak semua parpol mau dan mampu mengembangkan mekanisme yang demokratis dalam menominasi calon yang diajukan. Seringkali yang justru muncul adalah cara-cara oligarkis yang memungkinkan segelintir elite memanfaatkan kesempatan untuk mendominasi proses pencalonan Kada.
Dimensi selanjutnya adalah Civil Liberties, dalam demensi kebebasan sipil ada dua hal yang bisa menjadi problem krusial: Pertama, munculnya ketakutan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena penggunaan cara ¬cara kekerasan; premanisme, intimidasi secara fisik dan teror.
Kedua, munculnya ketakutan dari pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena menguatnya penggunaan wacana anti pluralisme- dimana orang takut memilih pilihan yang berbeda. Wacana anti pluralisme ini misalnya berbasiskan pada isu pribumi-pendatang; kekerabatan; maupun agama. Ketiga, adanya pembatasan kebebasan pada warga pemilih dalam memperoleh informasi tentang kandidat yang bersaing. Atau bahkan munculnya manipulasi informasi, dalam bentuk politik pencitraan tanpa ada ruang bagi pemilih untuk mengetahui track record calon Kada.
Ada beberapa bentuk kebebasan informasi yang dibutuhkan dalam Pilkada: adanya transparansi dari pendanaan politik (political financing), transparansi dalam rekruitmen politik dalam partai, dan kecukupan informasi mengenai kandidat yang berkompetisi dalam pemilu. Para pemilih dalam pemilihan umum tidak semestinya disuruh "membeli kucing dalam karung".
Selanjutnya adalah kepemimpinan yang akuntabel. Proses demokrasi di aras lokal tidak berhenti sampai dengan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah, melainkan harus lebih luas dan dalam termasuk menyangkut apakah kepimpinan politik-pemerintahan yang terpilih melalui pilkada bisa berorientasi parka kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak. Pilkada langsung bisa dianggap "gagal" apabila kepemimpinan politik-pemerintahan yang terbangun justru merepresentasikan kepentingan segelintir elite politik (oligarkis) yang berkuasa.
Oleh karena, pilkada langsung- yang memungkinkan warga memilih pemimpin mereka secara langsung- harus diikuti oleh perluasan voice, akses dan kontrol masyarkat untuk terlibat secara partisipatoris dalam proses-proses kebijakan. Karena melalui model demokrasi partisipatoris itulah warga — masyarakat akan mempunyai kesempatan untuk mengimbangi model demokrasi perwakilan dan perwalian.
BAB III
PENUTUP

Tentu, jalan menuju demokrasi yang lebih substantif dan berkualitas bukanlah jalan yang mudah melainkan penuh dengan perangkap, tikungan tajam dan mungkin juga berputar-putar. Pilkada yang berkualitas tidak hanya tergantung pada penyelenggara, melainkan juga Pengawas, pemain dan masyarakat-pemilih.
Oleh karena itu, kemajuan politik yang telah dicapai sehingga sampai di Sistem Pilkada langsung harus diimbangi dengan kerja keras untuk memastikan prinsip-prinsip demokrasi benar-benar sudah, sedang dan akan bekerja. Tanpa bekerjanya prinsip-prinsip demokrasi maka Pilkada sama saja dengan "buang-buang uang" untuk sesuatu yang tidak bermakna.


DAFTAR PUSTAKA
Topo Santoso: "Reformasi Perundang-Undangan Terkait Penegakan Hukum Pemilu", (Makalah tanpa tempat dan tanggal)
Soejono Soekanto, Uraian, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989)
AA GN Ari Dwipayana, makalah berjudul " Pemilu 2004: Masa. Depart kebijakan Publik" disampaikan dalam seminar Forum LSM, 2004.
Larry Diamond, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations, (Princenton: Princenton University Press, 1963).
Satjipto.R. Ilmu. Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu. Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992)hal.13. dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961)



FAKTOR – FAKTOR YANG MELAHIRKAN “PERADILAN MASA”
DI LIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Sumaryamti
Angkatan XI
DAFTAR ISI



A. Definisi-definisi Mediasi dari beberapa pakar
B. Definisi-definisi ADR (Alternative Dispute Resolution) Alternatif Penyelesaian Sengketa dari beberapa pakar
C. Definisi-definisi Sengketa dari beberapa pakar
D. Definisi-definisi Kaukus dari beberapa pakar
E. Definisi-definisi Negosiasi dari beberapa pakar

Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. Pendekatan yuridis empiris (pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat). Bahwa keputusan seorang hakim dalam memvonis perkara (selain bersandar pada peraturan hukum positif) harus pula didasarkan/memperhatikan perasaan keadilan yang berkembang di masyarakat. Dimaklumatkan dalam doktrin hukum yang sudah masyhur, bahwa dalam mengetok palu vonis, hakim memang dapat membuat hukum baru (inovasi yang kemudian dapat menjadi preseden baru) sesuai perkembangan perasaan keadilan masyarakat.
Kemunculan inovasi dan preseden baru, tentu sangat jarang terjadi dalam sejarah peradilan di balik tembok gedung pengadilan. Bagaimanapun juga, bersikap konservatif, yakni berpegangan pada hukum positif yang ada, dan atau preseden sudah ada, adalah sikap umum dari insan penegak hukum. Mungkin dalam rangka menjaga equilibrium di tengah perkembangan masyarakat. Memang sudah menjadi keniscayaan, bahwa hukum positif selalu tertinggal satu langkah dari perkembangan masyarakat.
Hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Tertinggalnya hukum terhadap bidang-bidang lainnya baru terjadi apabila hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada suatu ketika, apalagi perubahan-perubahan dibidang lainnya telah melembaga serta menunjukan suatu kemantapan.
Prinsip ketertinggalan hukum positif dari perkembangan sosial ini, seharus disadari oleh setiap insan penegakan hukum. Tetapi selama ini, tidak pernah jelas : Bagaimanakah methodologi (bagi seorang hakim) dalam menyerap dan kemudian mengimplikasikan rasa keadilan masyarakat, untuk dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan (vonis)?. Apa indikator perkembangan sosial masyarakat yang dapat dijadikan pegangan dalam membuat “perkembangan hukum” alias cukup kuat untuk menjadi landasan sebuah preseden hukum baru?. Kemudian : kepekaan dan perasaan kemanusiaan seperti apa yang harus dimiliki oleh seorang hakim (jaksa serta pengacara) sehingga mereka mampu berpikir dan merasakan keadilan yang lebih luas dari batasan pasal-pasal hukum positif?.
Contoh kasus Prita vs RS Omni, kasus pengadilan Prita (vonis dilawan dengan pengumpulan koin) harusnya menjadi cambuk yang melecut hati dan kesadaran setiap insan peradilan. Bahwa akhirnya masyarakat melawan tindakan orang-orang di balik tembok peradilan (yang tidak mampu mengartikulasi perkembangan sosial). Masyarakat melawan “vonis yang buta perkembangan sosial” dengan sebuah aksi sosial. Bahkan vonis pengadilan (yang sekadar berpegang pada pasal di atas kertas peraturan hukum positif, dan tidak lagi peduli pada perkembangan sosial real masyarakat, karena insan hukum yang tidak mampu/tidak peduli terhadap perkembangan masyarakat), dalam kasus Pritha ini telah langsung “naik banding” ke pengadilan tertinggi di dunia, yakni pengadilan rakyat. Kemudian vonis hakim pada peradilan yang “lebih rendah” itu, oleh pengadilan rakyat ini “disempurnakan” dengan sumbangan uang koin.
Pro Justicia, demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa..., ternyata khalayak awam telah sukses menggantikan vonis hakim pengadilan dengan vonis mereka sendiri. Apakah kemudian insan di balik meja hijau peradilan, jadi tersentak?, jadi tersinggung?, menjadi tersadar?, menjadi malu? ataukah menjadi tercerahkan? Umumnya insan peradilan tidak akan merasakan perasaan apa-apa. Seolah perkembangan ini, segala fenomena sosial ini, belum berarti apa-apa. Bahkan sangat mungkin, tidak akan dianggap terkait, dengan profesi penegakan hukum dan sistem peradilan kita. Banyak sekali aspek-aspek keputusan pengadilan yang belum mendapat penelitian yang sebenarnya akan berguna bagi perkembangan hukum di Indonesia serta proses peradilan pada khususnya.
Suatu penelitian yang juga akan berguna adalah penelitian terhadap peranan hakim dalam mengubah masyarakat melalui keputusan-keputusannya. Hukum positif tertulis tak akan selalu dapat mengikuti perubahan atau mengubah masyarakat, karena sifatnya yang relatif kaku. Oleh karena itu, maka peranan hakim adalah penting, untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada hukum positif tertulis dalam konteks perubahan masyarakat.
Dengan keputusan-keputusannya diharapkan bahwa seorang hakim memperkuat kehidupan norma hukum yang bersangkutan. Masyarakat selalu bergerak dan rasa keadilanpun berubah-rubah, sehingga pada suatu waktu hakim dapat memberikan keputusan yang menyimpang dari keputusan-keputusan yang diambil pada waktu yang lampau mengenai hal-hal yang serupa, oleh sebab itu kenyataan sosial di dalam masyarakat berubah, sehingaa keadaan yang baru tersebut menghendaki penetapan-penetapan baru.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kehidupan sosial dalam masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam mencapai tujuannya. Terhadap perubahan norma hukum sehingga fungsi hukum sebagai social control dan social engineering dapat terwujud. Social control biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Sedangkan social engineering diartikan hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Engineering adalah perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat seiring denga terjadinya perubahan (perkembangan) kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dalam hal penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum
2. Melakukan studi sosiologi dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan serta dampak yang ditimbulkan dari undang-undang itu.
3. Melakukan studi tentang peraturan perundang-undangan yang efektif.
4. Memperhatikan sejarah hukum tentang bagaimana suatu hukum itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat dapat terjadi karena bermacam-macam sebab. Suatu perubahan lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain atau telah mempunyai sistem pendidikan yang lebih maju. Sebagai sarana sosial engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. 33, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Cet. 17, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum, Cet. 4, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar