Minggu, 14 Maret 2010

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Sidik
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

A. Pendahuluan
Ada dua sistem hukum di dunia ini, pertama adalah sistem hukum Eropa dan Inggris yang sering disebut dengan Common Law System, yang ke dua adalah sistem hukum Romawi-Jerman yang sering disebut dengan Civil Law System. Di Indonesia cenderung menganut sistem Civil Law System karena sistem ini lebih membuka diri untuk mengadakan perubahan-perubahan agar selalu bisa menampung gerak dinamika masyarakat. Di dalam sistem Civil Law System ini yang sangat menonjol yaitu adanya perbedaan antara Hukum Publik dan Hukum Perdata.
Hukum merupakan suatu sistem kaidah, dan salah satu sumber hukum materiil adalah kaidah atau norma, kaidah atau norma adalah ketentuan-ketentuan tentang baik buruk perilaku manusia di tengah pergaulan hidupnya, dengan menentukan perangkat-perangkat atau penggalan-penggalan aturan yang bersifat perintah dan anjuran serta larangan-larangan. Ketentuan mengenai larangan diperuntukan untuk mencegah perbuatan-perbuatan manusia yang apabila dilakukan akan membahayakan kehidupan bersama, sedangkan perintah-perintah diperuntukan agar dilakukan perbuatan-perbuatan yang dapat memberikan kebaikan bagi kehidupan bersama.
Norma-norma yang hidup dalam masyarakat ada empat, antara lain norma kesopanan, Norma Kesusilaan, Norma Agama dan Norma Hukum. Norma tersebut harus berjalan serasi agar tercipta kehidupan yang baik, tidak ada gangguan-gangguan diantara kepentingan individu satu dengan individu lain, maupun antar kelompok masyarakat. Dipandang dari sudut sosiologis, maka hukum mempunyai dua aspek yang berlainan, sekalipun keduanya berhubungan erat satu sama yang lain. Aspek yang satu, ialah sebagai sistem norma-norma dan aspek yang lain adalah sebagai sistem kontrol sosial (RS J.B.A.F. Maijor Polak Sosiologi suatu buku Pengantar Ringkas,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964),).
Soerjono Soekamto, membedakan dengan tepatnya suatu aspek ketiga, ialah sebagai Sosial engineering. Hukum, merupakan kongkretisasi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Itulah sifatnya sebagai suatu sistem norma-norma. Bilamana penguasa mengadakan pengkaidahan untuk menegaskan hukum telah ada, maka apa yang dilakukan adalah pengendalian sosial atau sosial kontrol, tetapi bila mana pemegang kekuasaan dan wibawa memelopori proses pengkaidahan tersebut, maka terjadilah proses sosial engineering.
Disini adalah hukum sebagai sosial kontrol. Sosial kontrol diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,SH.,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 22). Hukum bukanlah suatu sistem norma-norma yang kaku untuk selama-lamanya, melainkan pula suatu peninjauan kembali norma-norma dan penciptaan norma-norma baru yang lebih sesuai dengan nilai-nilai yang baru selalu berubah. Perubahan-perubahan ini yang akan menimbulkan hukum-hukum baru untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat agar tercipta kehidupan masyarakat yang stabil dan harmonis.
Hukum bersifat memaksa, dimana bagi siapa yang melanggar hukum dapat diadili di Pengadilan dan dapat dipenjarakan, dicabut hak-haknya, di kenakan denda dan sebagainya. Hal ini menjelaskan bahwa hukum suatu jenis kontrol sosial tertentu. Kejadian-kejadian tersebut akan membuat orang yang lain akan merasa takut untuk melanggar hukum. Dan tentunya akan menjadikan rasa adil bagi yang mentaati peraturan.
Erat kaitanya pengertian perilaku hukum, misal di beberapa jalan di DKI Jakarta ada aturan bahwa di jam-jam tertentu kendaraan roda empat harus berisi minimal 3 orang, misal ada sebuah kendaraan roda empat yang akan melewati jalan tersebut hanya berpenumpang satu dan sopir, sopir melihat ada Polisi lalu lintas, kemudian sebelum masuk di jalan tersebut di pengedara mobil mengambil joki dipinggir jalan untuk masuk di mobil sehingga mobil berisi 3 orang. Hal itu adalah contoh bentuk perilaku hukum, ada hukum yang berlaku dan ditaati bila ada penjaganya ( - Polisi).
B. Permasalahan
Bagaimana peran ilmu sosiologi hukum dalam upaya meningkatkan kesadaran hukum yang positif bagi warga masyarakat secara keseluruhan?

C. Hhukum Sebagai pengubah perilaku masyarakat
Indonesia adalah negara hukum, hukum bukan identik dengan undang-undang, hukum adalah untuk keadilan. Bagaimana hukum bisa memberi rasa adil bagi warganya. Sebagaimana diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam, pertama kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum dan kedua kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum. Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, yang merupakan sebagai tolok ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup dalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sanksinya. Peraturan hukum positif yang berlaku akan memaksa orang untuk mentaati, dan apabila ini dilanggar maka ada konsekuensinya.
Hukum itu ada juga karena dari masyarakat, diambil contoh peristiwa reformasi tahun 1998, tidak secara langsung mahasiswa telah menulis konstitusi untuk menurunkan orde baru Soeharto.

1. Pengertian Sosiologi Hukum
Pengertian Sosiologi Hukum dari definisi para ahli Sosiologi Hukum, antara lain :
a. Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum adalah suatu cabang Ilmu pengetahuan yang secara analistis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik anatara hukum dengan gejalan-gejala sosial lainya.
b. Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam kontek sosial.
c. R. Otje Salaman, Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejalan-gejala sosial lainnya sacara empiris analistis. (Prof.DR.H. Zainuddin Ali,SH.,MA, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 1)
d. Sedangkan Sosiologi itu sendiri menurut De Saint Simon (1760-1825) Sosiologi itu mempelajari masyarakat dalam aksi-aksinya, dalam segala usaha kolektifnya, baik spiritual maupu material, yang mangatasi aksi-aksi para peserta individuil dan saling tembus-menembus (RS J.B.A.F. Maijor Polak Sosiologi suatu buku Pengantar Ringkas,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964), hal. 2).
Ruang lingkup Sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analistis dan disiplin hukum. Disiplin analistis contohnya sosiologis, psikologis, antropologis, sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi ilmu-ilmu hukum yang terpecah menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang perilaku yang sepantasnya, seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan sistem dari pada hukum dan lain-lain.
Karakteristik kajian sosiologi hukum, adalah fenomena hukum dalam masyarakat dalam mewujudkan : deskripsi, penjelasan, pengungkapan dan prediksi.
2. Prilaku Sosial dalam Masyarakat
Perubahan perilaku sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan juga faktor ekonomi pelaku. Saat ini dijaman demokrasi yang sangat bebas, menimbulkan perubahan-perubahan besar, misal, setiap warga negara bebas untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan berbagai cara, di era sebelum reformasi, dimana demokrasi yang saat itu dibungkam dengan kekuatan kekuasaan, maka tidak dapat dengan bebas untuk melakukan penyampaian pendapat. Perubahan perilaku tersebut terwujud atas dorongan dari interaksi masyarakat yang sangat kuat untuk menginginkan adanya perubahan. Interaksi yang sangat kuat antar masyarakat dan lembaga-lembaga sosial pada waktu itu mencapai puncaknya dan melahirkan demokrasi yang sampai saat ini ada.
Perilaku individu dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda dan melakukan saling berhubungan, kadang kala bekerjasama kadang juga saling bertentangan, pola perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang dan tidak dapat diramalkan. Hubungan tersebut pada saatnya menelorkan hukum, peraturan yang akan mengatur hubungan. Jadi hubungan atau interaksi yang dilakukan secara berulang-ulang yang tidak dapat diramalkan sebelumnya akan melahirkan peraturan.
Di DKI Jakarta mengenai peraturan lalu lintas misalnya, kemacetan kendaraan yang tiap hari terjadi di Jakarta, yang berdampak besar, misal, muncul kriminalitas, mudah emosi dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan lahirnya peraturan lalu lintas di tempat atau jalan-jalan tertentu yaitu kendaraan roda empat wajib perpenumpang lebih dari tiga orang.
Peraturan untuk mengatur perilaku masyarakat akan selalu lahir searah atau sejajar dengan pola perkembangan perilaku masyarakat itu sendiri. Di Jakarta penggunaaan kenadaraan roda empat (mobil pribadi) sangat tinggi, orang cenderung lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding menggunakan angkutan umum (masal). Hal ini dapat disebabkan banyak alasan, misal, Jarak rumah terlalu jauh dengan akses angkutan umum, alasan keamanan, alasan gaya hidup, alasan praktis, karena penerimtah menyediakan infrastruktur jalan dan lain sebagainya. Mungkin ini akan lain kejadianya apabila pemerintah tidak menyediakan infrastruktur jalan umum atau tol, misal pemerintah lebih menfokuskan penyediaan rel kereta, sehingga semua akses menggunakan kereta api, secara otomatis masyarakat kehilangan peluang untuk membeli mobil dan menggunakan angkutan kereta.
Banyaknya peraturan yang dibuat pemerintah dengan top down, mengakibatkan tidak berjalannya dengan baik peraturan tersebut, seharusnya peraturan dibuat secara batton up, apa yang terjadi dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di tuangkan dalam peraturan, hal ini akan lebih efektif. Salah satu contoh peraturan untuk menyalakan lampu di siang hari bagi kendaraan bermotor di Jakarta, peraturan ini tidak efektif berjalan, dan masih banyak peraturan yang dibuat pemerintah namun tidak berajalan dengan baik.

3.Kesadaran Hukum
Timbulnya hukum, hukum sebagai peraturan bagi hidup bersama sudah ditemukan pada bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purbakala, entah berdasarkan suatu perjanjian bersama entah berdasarkan kehendak seseorang yang berwibawa. Hukum itu kemudian disebut hukum rakyat, hukum kebiasaan atau hukum adat. Manusia adalah subyek hukum, bukan sebab ia berpautan dengan sekelompok orang lain berkat keturunan, warna kulit, agama dan sebagainya, melainkan hanya sebab ia manusia.
Praktek kehakiman oleh rakyat seringkali dipandang sebagai penerapan undang-undang pada perkara-perkara kongkrit secara rasional belaka, pandangan ini disebut Legalisme atau legisme, dalam pandangan legalisme itu undang-undang dianggap atau kramat, yakni sebagai peraturan yang dikukuhkan Allah itu sendiri, atau sebagai suatu sistem logis yang berlaku bagi semua perkara, karena bersifaf rasional. (DR. Theo Uijbers, Filsafat Hukum, Cet. Ke-II, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 119).
Bagi “Ewick dan Silbey”, kesadaran hukum terbentuk dalam tindakan dan karenanya merupakan persoalan praktik untuk dikaji secara empiris. Dengan kata lain, kesadaran hukum adalah persoalan ‘Hukum sebagai perilaku”, bukan “hukum sebagai aturan, norma, atau asas” (Prof.DR.Achamad Ali,SH.,M.H Menguak Teori Hukum dan Tepri Peradilan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hal. 298). Kesadaran hukum erat kaitannya dengan ketaatan hukum dan efektivitas hukum, ketinganya unsur yang saling berhubungan. Kesadaran hukum berbeda dengan ketaatan hukum, kesadaran hukum adalah kesadaran yang lair secara alamiah, ada aturan maupun tidak baginya perilaku yang di anggap tidak baik makan tidak akan dilakukan. Menurut Krabble kesadarn hukum sebenarnya merupakan kesadaran nilai yang terdapat didalam diri manusia, tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Kesadaran hukum yang dimiliki warga masyarakat, belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan mentaati suatu aturan hukum atau perundang-undangan. Kesadaran bahwa mencuri itu salah atau jahat, belum tentu menyebabkan orang itu tidak melakukan pencurian, jika pada saat dimana ada tuntutan mendesak, misalnya, kalau dia tidak mencuri, maka anak satu-satunya yang sedang sakin keras akan meninggal, karena tida ada biaya pengobatan. Contoh lain yang lebih dijelas adalah apa yang telah saya paparkan diatas, dimana pengendara mobil hanya akan menaati bila ada polisi. Ini sangatlah jelas untuk menjelaskan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum. Bahwa kesadaran hukum dan ketaatan hukum akan sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan didalam masyarakat.
Kesadaran hukum tidak selalu baik, kesadaran hukum yang buruk juga ada, kesadaran hukum yang buruk adalah jika seseorang yang semakin memiliki pengetahuan hukum mengetahui kemungkinan menggunakan proses banding dan kasasi, meskipun ia sebenarnya sudah tahu bawah dirinya berada dipihak yang salah. Kesadaran hukum yang buruk ini, menjadikan salah satu penyebab semakin menumpuknya perkara di Mahakamah Agung Republik Indonesia. Dalam kesadaran hukum, gagasan dan tindakan menginformasikan satu sama lain dengan suatu kedekatan yang mengalahkan setiap upaya untuk memisahkan keduanya. Dan kesadaran itu bukanya hanya merupakan milik para “lawyer”, tetapi juga milik warga negara yang menghadap institusi-institusi hukum dan peroses-proses hukum.

4.Hukum dan Perubahan Sosial
Hukum adalah perangkat-perangkat peraturan tertulis yang dubuat oleh pemerintah, melalui badan-badan yang berwenang membentuk berbagi peraturan tertulis seperti berturut-turut : Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu), Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah (Perda). Peraturan perundang-undangan adalah produk politik, kadang peraturan yang bersifat pelaksana dari undang-undang lahir karena dipaksakan, hal ini terjadi misal beberapa kali program 100 hari presiden, yang beberapa departemen menargetkan kerja 100 hari adalah pembuatan Kepres maupun Peraturan Pemerintah.
Peraturan-peraturan hukum beserta akibat-akibatnya bagi manusia dalam masyarakat, adalah menjadi pokok peninjauan dalam mempelajari hukum. Hukum yang terjadi didalam masyarakat manusia, mengatur perhubungan-perhubungan yang tak terbilang jumlahnya yakni perhubungan-perhubungan anatara manusia-manusia didalam pergaulan hidup mereka. Perhubungan-perhubungan ini ada yang muncul dari keturunan, kekeluargaan, perkawinan, tempat kediaman, kebangsaan, ada pula yang timbul sebagai akibat dari pergaulan hidup antara orang-orang bila terjadi jual-beli, sewa-menyewa dan lain-lain. Perhubungan antara manusia didalam masyarakat, sekedar yang diatur oleh hukum, dinamakan hubungan hukum (Mudjiono,SH, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. Ke-2 (Yogyakarta : Liberty, 2000), hal. 12).
Menurut Max Weber, Ia mengatakan bahwa “perkembangan hukum materil dan hukum acara, mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistimatis, serta dijalankan oleh orang-orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan-latihan dibidang hukum”. Tahap-tahap perkembangan hukum ini oleh Max Weber lebih banyak merupakan bentuk-bentuk yang dicita-citakan dan menonjolkan kekuatan-kekuatan sosial manakah yang berpengaruh dalam pembentukan hukum pada tahap-tahap yang bersangkutan. Hal yang sama juga ditafsirkan terhadap teorinya tentang nilai-nilai ideal dari sistem hukum, yaitu rasional dan irrasional. ( diakses pada tanggal 1 Pebruari 2010).
Menurut Emile Durkheim, pada pokoknya teori dari Durkheim ini menyatakan hukum merupakan refleksi dari pada solidaritas sosial dalam masyarakat. Menurutnya didalam masyarakat terdapat dua macam solidaritas, yaitu yang bersifat mekanis (mechanical solidarity), dan yang bersifat organis (organic solidarity). Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan pada warganya didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Sedangkan solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat-masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks. ( diakses pada tanggal 1 Pebruari 2010).
Hukum tidak dapat diciptakan atas dasar kehendak pribadi atau golongan etile atau penguasa, jika hukum tersebut hendak diterapkan secara konsekuen dan efektif. Hukum lazimnya di ciptakan atas dasar pemikiraan-pemikiran kearah mana suatu masyarakat berkembang. Perlu diketahui bahwa kecenderungan perubahan hukum senantiasa menantikan dan tergantung pada perubahan yang terjadi pada tubuh masyarakat; lagi pula masyarakat tidak ubahnya seperti sistem yang dinamik yang secara terus menerus mengalami perubahan-perubahan. Sementara itu hukum dibentuk atau diciptakan sebagai alat pengendali yang relatif statis, inilah sebabnya maka perkembangan hukum selalu nampak tertinggal dari perubahan masyarakat, jika tidak keberadaan hukum yang dibuat atas dasar kehendak penguasa tadi tidak akan bermanfaat, bahkan dapat meresahkan masyarakat.
Perubahan sosial juga terjadi karena pertumbuhan penduduk, di Indonesia laju pertumbuhan penduduk sangat cepat, dan pemerataannya pun tidak berimbang. Pulau Jawa menjadi pulau terpadat, sedangkan lahan untuk peluang ekonomi sangat terbatas. Perubahan sosial juga terjadi karena faktor luar. Perdagangan bebas Asean dan Cina yang dimulai tahun 2010 akan menimbulkan perubahan-perubahan sosial.

D. Penutup
Sosiologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang secara analistis dan impiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya. Peraturan perundang-undangan di undangkan dan setelah di tulis dalam lembaran negara, setiap warga negara di anggap tahu. Yang pada selanjutnya, sangat rendah departemen dan kementerian terkait terhadap peraturan perundang-undangan tersebut dalam mensosialisasikan adanya peraturan baru tersebut. Hal ini yang menimbulkan ketidaktahuan masyarakat terhadap adanya aturan hukum tersebut. Warga masyarakat dirugikan. Ini adalah bentuk-bentuk proses yang bersifat top down, dan tanpa keterlibatan masyarakat peraturan tersebut akan sulit dijalankan, dan pada akhirnya peraturan tersebut hanya ada keberadaannya. Lahirnya peraturan sebaiknya muncul dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat, sehingga akan berjalan selaras dengan kemauan masyarakat.
Ketaatan masyarakat terhadap suatu peraturan di Indonesia sangat kurang, terbukti banyak peraturan yang telah di undangkan banyak yang tidak berjalan dengan baik. Keinginan masyarakat untuk sadar terhadap hukum cukup besar, namun hal ini terganjal dengan kurang adanya perhatian dari pemerintah untuk mengakomodir. Sampai sekarang semua peraturan yang ada sangat ideal dan semua baik. Adanya peraturan juga kadang karena tekanan dan paksaan dari asing. Hal ini bisa dari hasil-hasil kesepakatan international. Contohnya adalah undang-undang di bidang hak kekayaan intelektual, lingkungan hidup, investasi dan seterusnya. Undang-undang ini kurang berjalan dengan baik, dikarenakan adanya undang-undang ini karena dipaksakan dan tidak sesuai dengan status dan struktur serta budaya masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cet Ke 4, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Polak, Maijor. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve,1964.
Uijbers, Theo. Filsafat Hukum. Cet. Ke-II. Yogyakarta: Kanisius,2005.
Mudjiono. Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet. Ke-II. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Ali, Achamad. Menguak Teori Hukum dan Tepri Peradilan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009.

2. Internet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar