Minggu, 14 Maret 2010

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN POLITIK DALAM PENEGAKKAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTARA HUKUM DAN POLITIK DALAM PENEGAKKAN HUKUM DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: ZULFA ASMA VIKRA, S.H, NPM: 7109099, S2 UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

Bab I Pendahuluan

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Menurut Prof, Zainuddin Ali, M.A, Hukum adalah pelembagaan aturan. Ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu di control oleh hukum maka hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa, melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Adapun Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam Masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendah pun, politik tetap ada. Di dalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Menurut prof. Subekti, Politik juga bisa di artikan segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.
Sebelum kita membahas lebih dalam, mengenai hubungan timbal balik antara hukum dan politik dalam penegakkan hukum di lihat dari aspek sosiologi hukum sebaiknya kita perlu mengetahui definisi Sosiologi Hukum menurut Soerjono Soekanto yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala – gejala social lainnya. Satjipto Rahardjo menyatakan sosiologi hokum (sociology of law) adalah pengetahuan hokum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya. Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah diatur dalam Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)” Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan & perlindungan terhadap “fundamental rights” (tiada negara hukum tanpa pengakuan & perlindungan terhadap ‘fundamental rights’ Hukum Historis.
Adapun Pengertian Politik Hukum itu sendiri ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli diantar Satjipto Rahardjo poitik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus mendefinisikan Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum ). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hokum dan penerapannya.L. J. Van Apeldorn menyatkan, Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan menerapkan nilai – nilai.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :
a) Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.
b) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland
Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan baru didalam kehidupan masyarakat. Adapun hubungan antara hukum dan politik sangat erat sekali, bila kita ibaratkan seperti tubuh manusia, hukum tulangnya sedangkan politik dagingnya. Adapun menurut Gavin Drewery Menyatakan; Produk hukum lahir dari suatu proses politik lewat lembaga politik sedangkan hasil dari keputusan politik harus ada aturanya. LAW IS ESSENSIAL PART OF POLITICS...AT A MORE PRACTICAL LEVEL, WHEN POLITICAL DECISIONS COME TO BE TRANSLATED IN TO LEGAL RULES..
Kajian tentang politik di Indonesia berhubungan erat dengan kebijakan di bidang hukum, seperti sekeping mata uang yang sulit untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan bahwa hukum merupakan produk politik, yang diciptakan untuk mengatur tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum berkaitan pula dengan manusia, yang memenuhi tugasnya di dunia untuk menciptakan aturan hidup bersama yang baik, yakni secara rasional dan moral berpedoman kepada hak-hak azazi manusia. Sebagai produk politik hukum diciptakan oleh negara dan dianggap sah apabila dikukuhkan oleh negara.
Von Savigny berpendapat Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat yg terdiri dr kompleksitas individu dan perkumpulan. Pembuat undang- undang harus mendapat bahannya dr rakyat dan ahli hukum dg mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. Hal ini di pertegas pernyataan dari John Austin ,yang Menyatakan Hukum merupakan perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu Negara.
Mengenai politik dan hukum dalam suatu negara sebenarnya ada di tangan pemerintah, sebagai pihak yang berwenang menjalankan roda kenegaraan berhak untuk mengeluarkan produk hukum yang sesuai dengan corak politik yang berlaku pada saat itu, dengan tujuan untuk menciptakan suatu aturan yang mengarah kepada keadilan dan kesejahteraan. Namun kemauan politik pada tingkat nasional akan kurang berarti apabila tidak diteruskan sampai ke lapisan kehidupan yang lebih rendah. Bahkan tidak berlebihan kiranya, apabila dikatakan indikator untuk keberhasilan pelaksanaan kemauan tersebut sebaiknya dilihat pada tempat-tempat yang jauh dari pusat kekuasaan atau pemerintah. Bukan hanya di Jakarta, Bandung, Surabaya atau Semarang, melainkan harus menjangkau sampai ke pelosok desa yang terpencil di seluruh tanah air.1 Dengan demikian ukurannya bukan “sudah berapa jumlah undang-undang yang dibuat”, “berapa tambahan gedung pengadilan” dan sebagainya, melainkan apakah “jalan masuk kepada keadilan” itu telah dirasakan oleh kebanyakan orang di Indonesia, khususnya dari lapisan bawah yang ada di pedesaan.2 Hukum merupakan alat yang dipergunakan untuk menata kehidupan sosial yang penuh dengan gejolak dan dinamika.
Magnis Suseno mengatakan bahwa sifat manusia sebagai makhluk sosial berdimensi politik, dengan kata lain manusia adalah makhluk yang mengenal kepentingan bersama. Dalam kerangka demikian, maka hukum merupakan lembaga penata kehidupan bersama yang normatif, sedangkan negara dipandang sebagai lembaga penata kehidupan yang efektif.3 Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa negara selaku lembaga politik harus secara dinamis melakukan pengaturan terhadap manusia yang ada di dalam negara supaya tidak terjadi kekacauan dan pertentangan satu dengan yang lainnya. Apabila negara tidak mampu secara dinamis melakukan hal tersebut maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi pertentangan dan pertikaian yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu ketentuan hukum yang ditetapkan harus bernuansa memperjuangkan rakyat dan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi atau perbedaan.
Sehubungan dengan hal ini maka perlu diadakan penataan terhadap lembaga politik yang diarahkan untuk terciptanya suatu kepemimpinan yang berwibawa, aparat penegak hukum yang bersih, jujur, efisien dan bertanggungjawab, demokratis dan memiliki komitmen yang tinggi dengan nasib rakyat banyak. Dari gambaran di atas, maka penulis dalam tulisan ini ingin memberikan/ membagi permasalahan menjadi 3 pokok permasalahan


Bab. II Permasalahan
a. Apakah stabilitas politik dapat menciptakan kepastian Hukum ?
b. Bagaimana format kekuasaan politik dalam negara Hukum Indonesia ?
c. Apakah pendekatan sosiologi Hukum dapat menciptakan kepastian dan
penegakkan Hukum di Indonesia ?
Ketiga permasalah tersebut di atas dibahas secara sistematis melalui pendekatan sosiologis dan melihat kepada kenyataan-kenyataan yang terjadi di Indonesia.
Bab. III Pembahasan
A. Pentingnya Stabilitas Politik Guna Menciptakan Kepastian Hukum
Fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Ketiga tujuan ini tidak saling bertentangan, tetapi merupakan pengisian satu konsep dasar, yakni bahwa manusia harus hidup dalam suatu masyarakat, dan masyarakat itu harus diatur dengan baik. Apabila pembicaraan sudah sampai kepada tata hukum, maka ketertiban merupakan tujuan dari tata hukum itu. Hal ini tidak mengherankan, karena yang menjadi taruhan pada saat itu adalah bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat. Dengan demikian, ketertiban harus dipertahankan dengan mengesampingkan tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain.
Selanjutnya dapat direnungkan bahwa tiap-tiap manusia menginginkan ketentraman di tengah pergolakan-pergolakan hidup. Karenanya orang-orang selalu berusaha untuk mengamankan dirinya terhadap bahaya yang mungkin timbul. Salah satu upaya ke arah itu adalah mengatur kehidupan bersama sedemikian rupa sehingga tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Untuk itu hukum yang ditentukan oleh pemerintah, harus mempunyai kepastian berlaku (legalitas). Kepastian hukum merupakan hal yang penting karena berpengaruh kepada perkembangan pembangunan. Bagi mereka yang ingin berinvestasi tentunya menginginkan kepastian hukum, ketertiban, serta keadilan dalam masyarakat. Kondisi tersebut akan dapat menjamin kelangsungan serta keamanan dunia usaha dan pembangunan.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa melalui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Namun harus disadari, bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melalui hukum itu harus dapat dicapai dan dipertahankan secara dinamis melalui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses social yang diterima oleh masyarakat. Dari segi sosiologis sering dikatakan oleh para ahli sosiologi hukum, bahwa proses pembuatan undang-undang, pelaksanaan undang-undang, maupun peranan-peranan yang tersangkut di dalamnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Di Indonesia terlihat bahwa kekuatan politik sangat mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum, sehingga para pengamat hukum dan masyarakat berpendapat bahwa perkembangan struktur social di Indonesia tidak sesuai dengan hukumnya. Memang bisa dibayangkan bahwa akal yang bekerja berdasarkan kehendak bebas, dapat sampai kepada aneka keputusan yang berbeda atau bersilangan. Untuk itu perlu adanya patokan perilaku yang sedermikian rupa, sehingga dapat dibedakan mana perilaku yang dapat diterima oleh umum dan mana yang tidak. Oleh karena itu pemerintah selaku penyelenggara negara secara politis harus dapat memberikan patokan atau batasan terhadap produk hukum yang dikeluarkan, sehingga tidak terjadi salah tafsir antara berbagai pihak dan kalangan, demi terciptanya kepastian hukum.
Perubahan hukum muncul dari proses politik dan tidak dari tindakan kebijaksanaan oleh lembaga-lembaga hukum untuk memenuhi tuntutan para pejuang politik. Dalam hal ini pemisahan antara hukum dan politik harus jelas, dan pelanggaran hukum harus ditindak dengan tegas tanpa adanya perbedaan.
Kepastian hukum harus mempunyai bobot yang formal dan materil. Kinerja yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum. Rawls memberi nilai yang tinggi kepada kinerja formal dari hukum, sehingga hukum dapat memberi jaminan bagi keadilan yang substansial. Namun saat ini terlihat bahwa hukum memberikan desain institusional bagi tindakan otoritas politik negara. Pembentukan dan realitas kerja hukum sangat dipengaruhi oleh sifat serta karakter negara, dan terikat erat pada hubungan-hubungan kekuasaan politik serta proses perubahan tatanan sosial.
Dari kenyataan tersebut dapat dilihat bahwa stabilitas politik sangat perlu dijaga agar jangan sampai terjadinya kekacauan dan ketegangan politik, sehingga dapat menciptakan keresahan dalam masyarakat. Secara teoritis, stabilitas politik banyak ditentukan oleh tiga variabel yang berkaitan satu sama lain, yakni perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan perlembagaan baik struktur maupun proses politik, dan partisipasi politik. Adapun yang penting menurut tinjauan kebijakan strategis, ialah sejauh mana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum, secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis supaya setiap garis kebijakan dan aturan hukum yang tercipta, dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan cultural merupakan tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama, adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya.
Apabila stabilitas politik dan perhatian terhadap kultur masyarakat dapat dijaga, maka hukum senantiasa dapat ditegakkan secara pasti sesuai dengan prosedurnya, tetapi apabila sebaliknya maka tidak mungkin hal tersebut dapat dicapai dengan baik. Dalam kerangka ini perlu dikemukakan suatu peristiwa yang berlangsung pada tahun 1995, berkenaan dengan suatu keputusan pengadilan mengenai sengketa yang menyangkut sebidang tanah di Sentani Irian Jaya, yang memenangkan Hanoch Hebe Ohee yang mewakili suku-suku Ongge dan Hanoch. Namun keputusan yang mewajibkan Gubernur Propinsi Irian Jaya untuk membayar ganti rugi Rp.8.600.000.000,- (delapa milyar enam ratus juta) itu kemudian tidak dapat dilaksanakan, hanya karena surat dari Ketua Mahkamah Agung, yang penerbitannya juga di luar prosedur hukum. Tindakan Ketua Mahkamah Agung itu mencerminkan suatu sodokan berat terhadap kepastian hukum. Ketua Mahkamah Agung seharusnya merupakan benteng kepastian hukum yang terakhir. Andaikata keputusan pengadilan itu memang salah, revisi terhadapnya harus dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku, dan dengan surat sakti. Kasus diatas jelas tidak mencerminkan kepastian hukum, karena revisi yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung terhadap Keputusan Pengadilan Negeri tidak dilakukan menurut prosedur hukum. Dengan adanya perbedaan keputusan tersebut maka masyarakat jelas merasa tidak puas dan tidak terayomi oleh hukum. Oleh karena itu perlu adanya stabilitas politik dari pemerintah, agar hukum dapat dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Ada beberapa faktor yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menuju kepada kepastian hukum, yaitu:
a. Norma-norma yang jelas menetapkan apa yang diharuskan dan apa yang dilarang.
b. Transparansi hukum yang menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif.
c. Kesinambungan tertib hukum yang memberi acuan bagi perilaku di masa mendatang.
Penerapan faktor-faktor tersebut sebagai acuan bagi orientasi masyarakat maupun penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum harus dilakukan berdasarkan dua prinsip keadilan, agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat, yaitu prinsip daya laku hukum yang umum serta prinsip kesamaan di hadapan hukum. Sebagai contoh dapat dikemukakan, bahwa ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil keputusan dengan perimbangan suara 9 lawan 0 (nol), dan sepakat bahwa Presiden Amerika Serikat tidak lebih tinggi dari hukum, dan bahwa Paula Jones yang menggugat William Jefferson Clinton (yang sedang menjabat sebagai presiden) dapat melanjutkan gugatannya di pengadilan. Di sini kelihatan adanya konsekuensi terhadap penerapan azas kesamaan di depan hukum, bahwa seorang Presiden Amerika Serikat dapat dituntut melalui pengadilan. Bagaiman pula halnya dibandingkan dengan Negara Indonesia, yang sampai saat ini belum satupun Presiden Indonesia yang dapat diajukan ke pengadilan, kasus Haji Muhammad Soeharto (HMS) masih maju mundur, juga kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara sebanyak ratusan trilyun rupiah tidak diapa-apakan, puluhan perkara korupsi dibebaskan oleh hakim, korupsi Bank Bali sebelum diperiksa substansinya pagi-pagi sudah dinyatakan perdata oleh hakim Soenarto.
Jika ada orang tertentu harus dihadapkan ke muka pengadilan karena suatu indikasi pelanggaran hukum, namun karena ada aneka kelebihan dan dengan alasan politis, maka terhadap orang tersebut melekat semacam kekebalan hukum, sehingga dia dibebaskan dari indikasi pelanggaran hukum itu secara politis. Dalam hal ini akan didapat suatu kasus, dimana prinsip daya laku hukum yang umum sudah dilanggar, hukum tidak lagi berlaku secara umum dan telah melakukan pilih kasih, sehingga hukum yang seperti itu akan segera memperoleh citra seorang ibu tiri. Dari kenyataan tersebut tertumpu harapan, baik dari komponen-komponen penegak hukum maupun dari masyarakat sendiri, apalagi dari lembaga-lembaga kenegaraan yang menetapkan kaidah hukum, secara sadar mau melaksanakan atauran hukum tersebut demi terciptanya suatu perdamaian dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam negara hukum, sebagaimana halnya Indonesia kekuasaan pemerintah diselenggarakan berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan. Kesinambungan sikap, konsistensi dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menetukan kadar kepastian dan tindakan dari lembaga-lembaga kenegaraan itu sangat menentukan kadar kepastian hukum. Rapuhnya kesinambungan sikap dan konsistensi dalam tindakan akan mengakibatkan kaburnya kepastian hukum. Karena lembaga-lembaga kenegaraan senantiasa bertanggungjawab dan berwenang terhadap terhadap penyelenggaraan hukum, yang pada akhirnya merupakan produk dari proses politik. Kesinambungan sikap dan konsistensi tindakan mereka juga sangat tergantung dari stabilitas politik.

B. Format Kekuasaan Politik Dalam Negara Hukum Indonesia
Kriteria bagi suatu negara modern adalah apabila kekuasaan memerintah dalam suatu negara diselenggarakan berdasarkan hukum. Dengan pengertian bahwa suatu negara hukum, pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, maupun lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif selaku instrumen politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum. Namun hukum hanya memberikan kerangka idiologis dalam perubahan-perubahan social yang dikehendaki, yaitu jaminan orang akan diperlakukan sama. Hal ini sangat penting, karena tanpa jaminan tersebut, maka perubahan-perubahan social yang dikehendaki alam masyarakat hampir tidak mungkin, karena orang tidak percaya lagi kepada negara (pemerintah), kepada struktur dalam masyarakat, atau kepada siapa saja.
Keadaan tersebut dapat dilihat sekarang, bahwa sikap-sikap dari elit politik yang masih berperan pada kepentingan politik yang sempit dan partisan, daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Retorika populis yang disampaikan hanya sebatas pada mencari popularitas dan dukungan politik, bukan sebagai langkah untuk menciptakan budaya politik yang demokratis dan egaliter. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan krisis yang berkepanjangan di Indonesia, karena runtuhnya penghormatan institusi negara terhadap ketentuan hukum sebagai kerangka pengaturan kehidupan sebuah masyarakat modern. Akibatnya suhu politik meningkat terus, sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun dunia Internasional. Padahal secara normative UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan negara hukum, bukan negara kekuasaan. Segala sesuatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan institusi negara lainnya harus berdasarkan kepada hukum. Dengan demikian konstitusi yang telah diciptakan tersebut untuk mengatur dan membatasi tindakan-tindakan pemerintah dan rakyat dalam melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing. Tentunya konstitusi yang dibuat itu tidaklah statis namun dinamis, yaitu mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu konstitusi dapat saja diubah karena tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, sebagaimana yang telah dilakukan mulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, melalui perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat, hal ini dengan tujuan untuk menjaga stabilitas roda kenegaraan, agar tidak terjadi kekacauan. Sehubungan dengan itu maka pembentukan hukum harus memperlihatkan kesadaran hukum masyarakat. Di samping itu tidak tertutup kemungkinan bahwa hukum menciptakan pola-pola baru di dalam masyarakat, sehingga pada akhirnya menciptakan kesadaran hukum baru sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan.
Suatu sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi semua pihak dan sesuai dengan kondisi masyarakat. Hukum dibuat sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan, dan juga harus dimengerti atau dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan Supaya hukum benar-benar dapat mempengaruhi perilaku warga masyarakat, maka ketentuan hukum tersebut harus disebarluaskan sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat komunikasi merupakan salah satu syarat bagi penyebaran serta pelembagaan hukum, baik secara formal maupun informal, sehingga apa yang diinginkan oleh hukum dapat tercapai. Dari sini kelihatan bahwa jaminan terhadap negara hukum itu adalah ditentukan oleh dua persoalan, yaitu apakah hukumnya dibuat melalui proses yang sesuai dan kemudian diratifikasi secara demokratis, serta apakah hukum itu ditaati dan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh rakyat yang diperintahnya secara tersurat maupun tersirat. Jawaban positif terhadap kedua hal ini menentukan juga kadar keseimbangan politik yang dihasilkan oleh konstitusi (hukum) yang bersangkutan. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa konstitusi (hukum) suatu negara, harus dibuat berdasarkan keseimbangan politik yang ada. Sehingga hukum itu dapat mengakomodir semua kalangan dan tidak cenderung menguntungkan salah satu pihak. Disinilah perlu adanya kesamaan pandangan atau persepsi terhadap kandungan dari peraturan hukum yang diciptakan dari berbagai pihak, baik dari unsur masyarakat, partai politik, organisasi sosial maupun pemerintah dan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.

C. Pendekatan Sosiologi Hukum Dapat mewujudkan kepastian Hukum dan Penegakkan Hukum di Indonesia.
Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu. Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dilkritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif.
Dengan tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar natinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya dalam menuju suatu tatanan hukum modern. Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum akan kacau atau tidak tertib.
Perubahan pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yg berorientasi pada suatu tujuan atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori neo-evolusioner menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Teubner menggunakan mengarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif. Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Phillipe Nonet dan Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Selain itu, Nonet da Selznick juga menyatakan bahwa Hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo.
Namun demikian, dengan teori Nonet dan Selznick ini Tuebner melihat adanya perkembangan yang mengarah pada penggunaan dan pengembangan hukum represif secara meluas tanpa banyak memasukkan “campurtangan” yang memadai dari masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan masyarakat Evolusioner dalam Hukum dan Sosial
Dalam memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan dalam masyarakat, diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori perkembangan ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum tertentu dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner ini seharusnya mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasi-transformasi itu dapat terjadi. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).
Meskipun demikian, model dari Nonet dan Selznick ini bagaimanapun tidak seluruhnya hanya melihat pada aturan kekuatan sosial eksternal. Model ini secara eksplisit juga mengenal adanya faktor-faktor seperti sosial, ekonomi atau budaya yang berperan dalam perkembangan hukum, meskipun hanya sedikit. Tuebner mengatakan bahwa Lingkungan eksternal dari model ini nampaknya tidak banyak membawa perubahan pada hukum, karena pada prinsipnya menghambat atau memfasilitasi realisasi pembangunan yang dipicu oleh dinamika internal hukum. Struktur-struktur sosial yang lebih luas menstimulasi atau memperkuat peng-aktualisasian dari potensi hukum, menentukan stabilitas dari suatu tahapan evolusioner dan kemungkinan adanya kemajuan dan kemunduran. Oleh sebab itu oleh Tuebner ia mengkombinasikan model dari Nonet dan Selznik ini dengan model yang diberikan oleh Habermas-Luhman yang lebih mengarahkan masyarakat sebagai organisasi yang teratur secara bertingkat dalam memberikan model sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah model hukum-sosial (social-legal model).
Pada hakekatnya, Luhmann dan Habermas mendasarkan analisisnya pada teori-teori yang menyangkut evolusi struktur-struktur sosial dan proses-proses hukum dan ko-variasi sosial. Luhmann menggunakan skema evolusioner atau tiga tahapan perkembangan masyarakat yaitu:
1) Masyarakat tersegmentasi (segmented society) yang hidup secara berkelompok atau terpencar yang dihubungkan oleh kekerabatan yang kuat, meski tidak memiliki struktur kenegaraan;
2) Masyarakat yang terstrata (strartified society) secara bertingkat serta;
3) Masyarakat yang terdiferensiasi (differentiated society) secara fungsional.
Pada intinya Luhmann mengatakan masyarakat moderen berhadapan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungannya melalui proses diferensiasi, segmentasi, stratifikasi masyarakat yang merupakan gabungan antara segmentasi dan stratifikasi, serta fungsionalitas masyarakat. Sementara itu, Habermas mengidentifikasi tahapan-tahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapan-tahapan ini melalui perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan hukum dan masyarakat, yakni: Prekonvensional, Konvensional, Pascakonvensional. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan hukum yang ditawarkan oleh Nonet dan Selznick bersandar pada variabel-variabel internal sistem hokum, sementara Habermas dan Luhmann menekankan pada inter-relasi eksternal antara hukum dan struktur sosial.
Bentuk konkret dari model hukum sosial dapat terlihat dimana aturan-aturan hukum yang ada tersebut harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Namun demikian, bagaimana sistem itu dapat terbentuk dalam masyarakat, perlu terlebih dahulu di pahami bahwa dalam kehidupan bermasyarakat penggunaan istilah sistem biasa disalahpahami. Istilah sistem sering dipakai dan digunakan dalam berbagai perbincangan akademik seperti dalam perspektif sosiologi (misalnya istilah sistem sosial), dalam perspektif empirik dengan istilah sistem politik, antropologi dengan sistem nilai budaya, perspektif komunikasi seperti sistem komunikasi, maupun dalam perspektif administrasi dengan penggunaan sistem administarsi negara dan lain sebagainya. Dalam tradisi ilmu-ilmu sosial, istilah sistem tersebut sebenarnya sering digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem organik, atau sebuah sistem yang komponen-komponennya terdiri dari benda¬ yang berjiwa (animate). Sementara itu, dalam tradisi ilmu¬ alam, istilah sistem lebih sering digunakan untuk menjelaskan sistem anorganik, yaitu sebuah sistem yang komponen¬komponennya terdiri dari benda-benda yang tidak berjiwa (in-animate).
Penggunaan dan pembedaan ini sebenarnya tidak esensial karena secara umum dapat dikatakan bahwa dari kedua bentuk diatas, suatu sistem sebanrnya adalah sebuah himpunan yang terdiri dari bagaian-bagian yang saling berhubungan satu sarna lain secara teratur dan membentuk suatu keseluruhan. Untuk lebih jelasnya secara konkret, dapat dicontohkan pada sebuah sistem mekanik pada kendaraan dimana jika komponen-komponen tersebut dihubungkan secara teratur dan kemudian membentuk suatu kelengkapan, maka ia akan dapat berfungsi sebagai satu sistem yang dapat disebut sebagai kendaraan. Talcott Parsons mengartikan sistem sebagai sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya inter¬dependensi antara bagian-bagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut. Secara spesifik pengertian ini lebih menekankan pada interdependensi antar komponennya. Dengan demikian, maka pengertian sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah keseluruhan komponen-komponen dalam masyarakat dimana seluruh komponen dalam masyarakat ini berhubungan antara satu dengan lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang saling berkaitan. Secara rinci, karakteristik sebuah sistem dapat dilihat sebagai:
1. Terdiri dari beberapa komponen.
2. Saling berhubungan satu sama lain dalam suatu pola saling ketergantungan.
3. Keseluruhannya lebih dari sekadar penjumlahan dari komponen¬komponennya dimana yang terpenting bukanlah kuantitas komponen, melainkan kualitas komponen secara keseluruhan.
Selain itu, sebagai sebuah konsep sosial, Talcott Parsons, menyatakan bahwa masyarakat itu adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent) melebihi masa individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi penerusnya. Sementara Mariam Leve, mensyaratkan empat kritera agar sebuah kelompok bisa disebut sebagai masyarakat yakni:
1. kemampuan bertahan melebihi masa hidup individu;
2. rekruitmen sebuah atau sebagian anggota melalui reproduksi;
3. kesetian pada suatu sistem tindakan utama bersama;
4. adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.
Konsep yang demikian bila dihubungkan dengan hukum, akan memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus. Hal ini dapat terjadi karena hukum baik sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya. Secara umum, hukum sebagai aturan yang mengandung perintah dan larangan yang bila dikaitkan dengan proses modernisasi masyarakat ternyata sangat berpengaruh terhadap hukum itu sendiri.
Satjipto Raharjo, menyatakan bahwa apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan dalam masyarakat, dikenal dengan nama disiplin presriptif. Ruang lingkup disiplin presriptif adalah: Pertama, ilmu hukum. Ilmu hukum di sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan sistematik hukum; (2) ilmu pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari sistemhukum menakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap, tindak dan perilaku yang terdiri dari sosiologi hukum (hubungan timbal balik antara hukum dan gejolak sosial), antropologi hukum (pola-pola sengketa da penyelesaiannya), psikologi hukm (hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia), perbandingan hukum (membadingkan sistemhukum antar beberapa masyarakat, dan sejarah hukum (perkembangan dan asal usul daripada sistem hukum). Kedua, politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nila yang dipilih itu. Ketiga, filsafat hukum yang mencakup perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilai-nilai yang berpasangan dan kadangkala bersitegang atau berbenturan.

Bab. IV Kesimpulan Dan Saran
C. Kesimpulan
Dalam perkembangan hukum dan masyarakat yang semakin pesat, penekanan hukum pada kekuasaan mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas substansif yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, sehingga diperlukan rematerialisasi hukum.
Pendekatan neo-evolusioner dengan hukum refleksif oleh Teubner diarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial. Menurutnya, teori Nonet dan Selznick dalam menggunakan hukum represif tidak banyak memasukkan campurtangan masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa masyarakat. Melalui rematerialisasi hukum, perlu dilakukan perubahan dalam hukum dan masyarakat yang bersifat evolusioner dimana hukum dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial akan membantu untuk memahami transformasi dalam masyarakat.
Untuk mengetahui bentuk konkret model hukum dan sosial, dapat dilihat dilihat dari aturan-aturan hukum yang ada dimana ia juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Hukum sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya, baik secara preskriptif dimana hukum sebagai bertindak sebagai kaidah dalam pengertian dan kenyataan, maupun dalam secara politik dan philosopis yang menerapkan nilai-nilai dan perenungan dan perumusannya.

D. Saran
Negara sebagai lembaga yang akan mewujudkan harapan masyarakat kepada kehidupan yang tertib, adil dan sejahtera. Melalui pemerintahnya harus mampu menyelenggarakan roda kenegaraan berdasarkan hukum sebagai aturan main dalam mengeluarkan berbagai kebijakan. Dalam usaha untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut, maka pemerintah dalam suatu negara senantiasa menciptakan stabilitas politik, sehingga keputusan-keputusan hukum dapat dilaksanakan secara konsisten dalam upaya menuju kepada kepastian hukum, demi ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
Demikian juga halnya dengan kekuasaan politik yang dijalankan oleh pemerintah bersama lembaga-lembaga kenegaraan lainnya, harus sesuai dengan konstitusi yang telah disepakati bersama demi tegaknya negara hukum. Dalam hal ini semua komponen bangsa, baik masyarakat, organisasi sosial dan politik, harus secara sadar melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan aturan hukum.


Bab. V Daftar Pustaka

Sorjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum. (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1989),
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum. Penerbit : Yayasan Mayarakat Indonesia Baru. Palu.
Satjipto.R. Ilmu Hukum. (Bandung, Alumni, 1982),hal.310 dan R.Othe Salman, Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, (Bandung : Penerbit CV. ASrmico, 1992). dan H.L.A, The Consept of Law, (London Oxford University Pres, 1961),
Donald Black. Sociological Justice, (New York : Academic Pres, 1989)..
Ronny Hanitijo Soemitro, Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Remadja Karya, 1985).
—————-Donald Black.The Behavior of Law, ( New York,Academic Press, 1976)
Roscoe Pound, Interpretation Of Legal History. (USA : Hlmes Heaxh, Florida, 1986).
Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen. Jakaarta, 1950.
Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta, 1968,
Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil) Bandung, 1970,
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983).
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia, 1987),
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Sinar baru, 1985),
Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta: Djambatan, 2000),
Mulyana W. Kusumah, Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1981),
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1984),
Mulyana W.Kusumah, Tegaknya Supremasi Hukum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, (Jakarta: Grasindo, 1999),
Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum,
Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Bina Aksara, 1983),
Otje Salman, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, (Bandung: Alumni, 1989),
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
website
http://www.blogcatalog.com/group/blog-promotion-1/discuss/entry/analisa-sosiologi-hukum-berdasarkan-metode-pendekatan-dan-fungsi-hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar