Minggu, 14 Maret 2010

Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Oleh: MUSAL KODIMl, NPM : 7109125, Mahasiswa S2 UID
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menggerogoti dan menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat modern dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penaggulangan maupun pemberantasannya.
Kesulitan tersebut terutama terjadi dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasi yang memiliki intelektualitas tinggi (white collar crime). Korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia; Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata laksana pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan telah menandatangani United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003).
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya.
Pada konvensi Perserikatan bangsa-bangsa untuk menentang korupsi dalam pembukaannya menyatakan;
1. Concerned about the seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law. (Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum).
2. Concerned also about the links between corruption and other forms of crime, in particular organized crime and economic crime, including money-laundering. (Prihatin juga atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang)
3. Concerned further about cases of corruption that involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of the resources of States, and that threaten the political stability and sustainable development of those States. (Prihatin lebih lanjut atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber-daya Negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara tersebut).
4. Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential (Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerja sama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting).
Memerangi kejahatan korupsi tidak mudah karena harus dipelajari juga faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi terutama mengenai penegakan hukum. Kejahatan korupsi sampai sekarang masih sangat sulit diungkap pada ranah penegakan hukum karena tidak dipelajarinya apakah faktor-faktor penyebab tidak tegaknya hukum yang berkenaan korupsi. Oleh karena itu, dengan bertitik tolak dari latar belakang tersebut penulis menulis makalah yang berjudul faktor-faktor penyebab tidak tegaknya hukum yang berkenaan korupsi.

B. Identifikasi Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penulisan makalah ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka membatasi ruang lingkup pembahasan dan penelitiannya pada optimalisasi faktor-faktor penyebab tidak tegaknya hukum yang berkenaan korupsi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah faktor penghambat pelaksanaan pemberantasan tindak pidana korupsi?
b. Bagaimanakah strategi untuk menyelesaikan masalah korupsi?

C. Maksud dan Tujuan
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses penegakan hukum perkara korupsi.

D. Kegunaan Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana.
2. Bagi aparat penegak hukum yaitu untuk mengetahui secara mendalam dan tuntas permasalahan-permasalahan yang diteliti, demi perbaikan-perbaikan dan pengembangan hukum dan agar supaya aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan yang tegas dan tepat.

E. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Teoritis
a. Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
2. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni:
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi
3. Kerangka Konseptual
a. Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. (Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan korupsi)
b. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 1 ayat (3) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)




BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor Penyebab Tidak Tegaknya Hukum Yang Berkenaan Korupsi
Hambatan-Hambatan yang Dihadapi dalam pemberantasan korupsi
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime—Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah. Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi. Hal ini mengindikasikan rendahnya komitmen pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi dan bahwa selama ini pemberantasan korupsi belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah, yang mencerminkan masih lemahnya political will pemerintah bagi upaya pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi. Minimnya bantuan luar negeri ini merupakan cerminan rendahnya tingkat kepercayaan negara-negara donor terhadap komitmen dan keseriusan pemerintah di dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi. Dan, berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. Insentif dan gaji yang rendah ini berpotensi mengancam profesionalisme, kapabilitas dan independensi hakim maupun aparat-aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain dari keempat “berita buruk” seperti telah diuraikan di atas, keadaan di Indonesia menjadi bertambah rumit karena terjadinya perdebatan tiada henti tentang posisi dan kedudukan hukum dari kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara. Beberapa pihak berpendapat bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah dapat disentuh oleh hukum pidana, sehingga pejabat negara yang korup adalah dapat digugat secara hukum, baik hukum pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain berpendirian bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pejabat negara adalah tidak tersentuh oleh hukum, sehingga pejabat-pejabat negara yang korup tersebut adalah tidak dapat digugat secara hukum, baik pidana maupun perdata. Sedangkan, beberapa pihak yang lain lagi berpendapat bahwa hukum administrasi negara merupakan satu-satunya perangkat hukum yang dapat menyentuh kebijakan-kebijakan publik yang dilaksanakan oleh para pejabat negara. Sayangnya, perdebatan tentang permasalahan tersebut cenderung berlarut-larut tanpa dapat memberikan solusi yang efektif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Hambatan yang pertama berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menyangkut upaya pemberantasan korupsi mempunyai beberapa kelemahan yang terletak pada substansi peraturan perundang-undangan, baik dari aspek isi maupun aspek teknik pelaksanaannya, sehingga memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam pemberantasan korupsi. Diantara kelemahan-kelemahan tersebut adalah:
1. tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi;
2. lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian.
Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

B. Strategi Menangani Masalah Korupsi
Pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut : (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies), (5) media, (6) sektor swasta, (7) masyarakat sipil, dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto Senoadji berpendapat bahwa untuk meminimalisasi korupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji memiliki tiga lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan (3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legalculture.
Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas), pemberantasan korupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi, koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan suatu upaya pemberantasan korupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi/ legal substance dan budaya hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum yang dimaksudkan oleh Indriyanto Senoadji adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidana korupsi tersebut.
Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingat korupsi telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.
Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasan korupsi.
Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasan korupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnya korupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye anti korupsi diharapkan menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi juga dapat menjadi bagian dari usaha ini.
Salah satu penyebab yang paling utama dan sangat mendasar terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut masalah keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri.
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni:
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
c. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain:
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
d. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
e. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak Pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan; Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi
Pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi,Jakarta: Sinar Grafika, 2005
Saleh, K, WAntijik, Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: Ghalia Indonesia
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969

Artikel
Kilas balik 6 tahun Komisi Hukum Nasional; Menguak misi KHN dan kinerjanya / Komisi Hukum Nasional . -- Jakarta : KHN, 2006

Internet
http://www.idebagus.com
http:www.korupstion.com
Copyright @ indoskripsi.com 2009

Peraturan
Undang-undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1 komentar: