Rabu, 20 Januari 2010

PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI SIKLUS

PERUBAHAN SOSIAL DALAM TEORI SIKLUS
Oleh: Burhan, Mhs S2 UID Kelas, Palu

A. Latar Belakang.
Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu
Perubahan sosial selalu terjadi disetiap masyarakat. Perubahan terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia itu saendiri. Manusia selalu berubah dan menginginkan perubahan dalam hidupnya. Manusia adalah makhluk yang selalu berubah, aktif, kreatif, inovatif, agresif, selalu berkembang dan responsif terhadap perubahan yang terjadi disekitar lingkungan sosial mereka. Di dalam masyarakat, nilai-nilai sosial tertentu yang lama dan sudah tidak memenuhi tuntutan zaman akan hilang dan diganti dengan nilai-nili baru. Kemudian, nilai-nilai itu diperbaharui lagi dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih baru lagi. Nilai tradisional diganti dengan nilai modern, nilai modern diganti dan diperbaharui lagi dengan yang lebih baru lagi, yaitu post modern, dan seterusnya. Sejalan dengan perubahan nilai sosial itu, berubah pula pikiran dan perilaku anggota masyarakatnya. Di dalam masyarakat berkembang perilaku sosial dan pemikiran yang baru.
Perubahan dan interaksi sosial adalah merupakan gejala perubahan dari suatu keadaan sosial tertentu ke keadaan sosial lain. Teori siklus menjelaskan, bahwa perubahan sosial bersifat siklus. Pandangan teori siklus sebenarnya telah dianut oleh bangsa Yunani, Romawi dan Cina Kuno jauh sebelum ilmu sosial modern lahir. Mereka membayangkan perjalanan hidup manusia yang pada dasarnya terperangkap dalam lingkaran sejarah yang tidak menentu. Menurut orang Cina, alam semesta dibayangkan berada dalam perubahan yang berkepanjangan. Namun perubahan itu mengikuti ayunan abadi gerakan melingkarnya perubahan itu sendiri.
Masyarakat mempunyai sifat yang dinamis, ia selalu ingin berkembang dan berubah. Irama perubahan tersebut ada yang lambat, ada yang sedang, ada yang cepat karena dipacu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Akibatnya pola-pola interaksi yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kompleks.
B. Tujuan
Segala sesuatu yang dikerjakan pasti mempunyai suatu tujuan, begitu pula dalam penulisan makalah ini diharapkan memperoleh suatu tujuan dan manfaat, baik untuk kepentingan ilmiah maupun non ilmiah. Sejalan dengan itu, ada suatu hal yang urgensi dalam penulisan makalah ini, yakni ingin mengungkap nilai-nilai perubahan sosial masyarakat ditinjau dari aspek penerapan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara di dalam masyarakat
C. Manfaat/Kegunaan
Sekecil dan segampang apapun yang kita kerjakan dalam hidup dan kehidupan ini, tentu kita berharap apa yang dikerjakan itu dapat bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, masyarakat, bangsa bahkan negara. Jangan pernah anda bertanya apa yang negara berikan kepadamu, akan tetapi tanyalah kepada diri anda sendiri, apa yang anda sumbangkan kepada bangsa dan negaramu (baca : John F Kennedi) Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini, penulis ingin memberikan suatu kontribusi ilmiah dengan formulasi hukum dan perubahan nilai-nilai sosial dalam perspektif interaksi antara hukum dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
D. Permasalahan
1.Apakah hukum dan perubahan itu ?
2.Bagaimana perubahan sosial itu ?
3.Bagaimana interaksi antara hukum dan masyarakat ?
4.Kegunaan apa yang dapat diperoleh dengan hukum dan perubahan sosial serta interaksi antara hukum dan negara ?

PEMBAHASAN
A. Penerapan Hukum dan Perubahan Masyarakat
Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ”bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.
B. Konflik dan Perubahan Hukum
Timbulnya konflik adalah berangkat dari kondisi kemajemukan struktur masyarakat dan konflik merupakan fenomena yang sering terjadi sepanjang proses kehidupan manusia. Dari sudut mana pun kita melihat konflik, bahwa ”konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial”.
Di dalam kenyataan hidup manusia dimana pun dan kapan pun selalu saja ada bentrokan sikap-sikap, pendapat-pendapat, tujuan-tujuan, dan kebutuhan-kebutuhan yang selalu bertentangan sehingga proses yang demikian itulah mengarah kepada perubahan hukum.
Relf Dahrendorf (1976:162) dalam Sunarto mengatakan bahwa setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan yang ada di mana-mana, disensus dan konflik terdapat di mana-mana, setiap unsur masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan masyarakat, setiap perubahan masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Konflik yang membawa perubahan bagi masyarakat di Indonesia bisa saja kita lihat sejak penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan (masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi ).
Berangkat dari pemikiran bangkitnya kekuasaan bourgeoisie, secara cermat sasarannya adalah perjuangan mereka untuk merombak sistem-sistem hukum yang berlawanan dengan kepentingannya, sebagaimana halnya penjajahan antara bangsa-bangsa di dunia ini sangat jelas membawa perubahan termasuk perubahan sistem hukum. W.Kusuma menyatakan bahwa ”perubahan hukum adalah termasuk produk konflik antara kelas-kelas sosial yang menghendaki suatu pranata-pranata pengadilan sosial terkuasai demi tercapainya tujuan-tujuan mereka serta untuk memaksakan dan mempertahankan sistem hubungan sosial yang khusus.
Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata Cuma seperangkat aturan statis melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat moderen, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat. Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakteristik sosial, maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu adalah senantiasa produk konflik.
C. Peranan Hukum Sebagai Alat untuk Mengubah Masyarakat
Hukum sebagai sarana rekayasa (social engineering by law) atau biasa juga disebut sebagai alat oleh ” agent of change.” Yang dimaksud “ agent of change” di sini adalah seseorang atau beberapa orang sebagai bagian dari anggota masyarakat yang diberi amanah untuk memimpin lembaga kemasyarakatan sehingga mempunyai kesempatan untuk mengolah sistem sosial yang bersangkutan secara teratur dan terencana (social engineering atau social planning) dan perubahan tersebut selalu dalam pengawasan agent of change.
Sebagai bukti suatu keputusan hukum secara langsung dan atau tidak langsung mengubah masyarakat dapat kita lihat lahirnya undang-undang No.22 Tahun 1961 mengubah dari 14 buah Univesitas Negeri dengan 65.000 Mahasiswanya setelah keluarnya peraturan tersebut.
Sebagaimana diungkapkan Soekanto:
Sebelum Undang-undag No.22/1961 ditetapkan, terdapat 14 buah Universitas Negeri degan Mahasiswa 65.000 orang. Terlepas dari segi baik buruknya, sejak Undang-undang tersebut ditetapkan, jumlah Universitas Negeri naik sampai menjadi 34 buah dengan 158.000 Mahasiswa.
Contoh lain yang mudah kita ingat yaitu sejak lahirnya UUD 1945 bulan Agustus 1945 yang sebelumnya didahului konflik baik tertutup maupun terbuka, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dan bermartabat dengan segala tata aturan yang ditetapkan oleh pelopor kemerdekaan pada saat itu. Kalau dibandingkan setelah lahirnya UUD 45 maka sebelum lahirnya Undang-Undang dasar 1945 atau sebelum diproklamasikannya kemerdekaan 1945 bangsa indonesia adalah bangsa terjajah dan hak-hak kemerdekaannya dirampas para penjajah antara lain bangsa Belanda dan Jepang.
Dari sedikit contoh diatas, paling tidak ada sedikit gambaran mengenai peranan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dan atau masyarakat mengubah hukum. Secara umum paling tidak ada tiga peranan atau fungsi hukum sehingga mewarnai proses perubahan masyarakat yaitu, pemberi bentuk (Pedoman perilaku dan pengendali sosial,serta sebagai landasan proses integrasi), hukum juga sebagai penentu prosedur dari tujuan masyarakat (Contoh kelahiran GBHN di Indonesia), kemudian respektif pembangunan tidak lepas dari rekayasa dan hukum juga sebagai alat atu sarana rekayasa masyarakat (Social engineering by law).
Hukum yang efektif sebagai alat mengubah masyarakat, hendaklah dalam proses pembuatannya memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sehingga betul-betul masyarakat tersebut merasakan keterlibatannya secara baik. Adapun syarat-syarat peraturan perundangan, paling tidak memenuhi apa yang sering dikemukakan para ahli sosiolagi hukum yaitu : Fisiologis atau Ideologi, yuridis, dan sosiolagis.
Di samping hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, tetapi hukum juga bisa tertinggal jauh kebelakang dari perubahan–perubahan sosial dalam masyarakat apabila ternyata hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Selain hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat, hukum juga diketahui masyarakat. Bagaimana mempengaruhi tingkah laku masyarakat setelah hukum itu diketahuinya serta mengalami proses pelembagaan (Institutionalization) dalam diri warga atau bahkan tatanan jiwa masyarakat ( internalized ).
Hukum sebagai alat atau sarana untuk mengubah masyarakat, maka jangan mengurangi asas-asas keadilan. Adil secara sederhana bisa saja kita artikan bahwa menempatkan sesuatu pada tempatnya, namun harus juga mengutamakan asas-asas keadilan yang kongkrit antara lain; asas kesamaratan, asas kesebandingan, asas kualifikasi, asas objektif (misalkan melihat sudut prestasi seseorang), dan asas subjektif.
Aristoteles (384 SM-332 SM) dalam Beny Bosu, membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan Vindikatif dan keadilan Absolut. Keadilan Vindikatif adalah keadilan hukum, menjatuhkan hukum kepada seseorang menurut prosedur hukum serta alasan yang mendasar. Sedangkan keadilan Absolut adalah menjatuhkan hukuman pembalasan kepada seseorang yang bersalah seimbang dengan kejahatannya serta ada praktik main hakim sendiri.
D. Interaksi dan Arti Hukum Negara dalam Sosiologi
Pengertian hukum Negara menurut Van Apeldoorn dalam Kusnardi dan Ibrahim (1998) adalah Hukum Negara dalam arti sempit menunjukan orang-orang yang memegang kekuasaan pemerintahan dan batas-batas kekuasaannya. Apeldoorn juga memakai istilah Hukum Negara dalam arti sempit sama artinya dengan istilah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, kecuali Hukum Tata Negara dalam arti luas adalah termasuk dalam Hukum Negara yang hanya Apeldroon maksudkan ialah tentang tugas, hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan negara, dia tidak menyinggung tentang kewarganegaraan dan hak asasi manusia.
Hukum sebenarnya adalah bagian keajekan pergaulan hidup, namun terdapat dua personal pokok, yaitu apakah perilaku ( behavior ) yang ajek atau hanya berupa kebiasaan sekali saja sudah merupakan hukum dan bagaimanapula kita membedakan keduanya sebagaimana dikatakan Hoebel dalam Purnadi Purbacaraka dan Soekanto(1982). ” law is obvionsly a complex of human behavior.
Hal ini oleh L.J. van Apeldoorn (1966) dalam Purnadi Purwacaraka & Soekanto (1983)26 menyatakan: ” Zo zijn er dus voor het onstaan van gewoontercht twee vereisten; een van materiele aard; een constant gebruik: een van psychologischen (niet individueel maar grouppsycho-logischen) aard; de overtuiging van rechtsplicht (opinio necessitatis)”.
Menurut Apeldoorn tersebut terdapat dua syarat bagi timbulnya hukum kebiasaan, yaitu: bersifat materiil; kebiasaan yang ajek, dan yang bersifat spikologis sosial (bukan psikologis individual): kesadaran akan adanya suatu kewajiban menurut hukum. Jadi sikap tindak (social action) atau perilaku yang ajek dan keyakinan ataupun kesadaran akan kewajiban hukum adalah unsur dari hukum. Sedangkan hukum itu sendiri adalah proses untuk keteraturan dan aturan kedamaian sebagaimana pandangan Apeldoorn bahwa ” Het rech Wil den Vrede” (tujuan hukum adalah kedamaian).
Hubungan hukum dengan negara, kaitannya dengan kajian sosiologis, berangkat dari pemikiran bahwa sosiologi hukum bukanlah hanya hukum sebuah cita-cita atau suatu keharusan belaka (law in book), tetapi lebih kepada proses hukum yang senyatanya hidup berkembang di masyarakat (law in action). Begitu pula halnya hukum dan negara dalam tinjauan sosiologis.
Pandangan sosiologis, negara adalah bagian dari kelompok politik. Samidjo (1986)27 membagi atas ”politik teoritis” dan ”politik praktis” (thearictical and apllied politics) sehingga kalau dirinci:
1.Politik Teoritis; mengenai keseluruhan dari asas-asas dan ciri-ciri yang khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh negara.
2.Politik Praktis; mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu, yaitu negara sebagai lembaga yang dinamis.
Negara adalah juga bagian dari politik dan berarti pula tentang masyarakat, kalau berbicara hukum dan negara secara sosiologis, maka berkaitan erat dengan proses pembuatan hukum dalam suatu negara. F.C.von Savigny berkebangsaan Jerman (1779-1881) bukunya ” Gewohn Heitsrecht” dalam Samidjo (1986)28 mengemukakan ” Das Recht Wird nicht gemacht, ober es ist und wird mit dem valke.” Inti dari pendapat tersebut bahwa hukum tidak dapat dibuat, kecuali terjadi atau diproses bersama-sama dengan masyarakat. P.J. Bouman (1950) dalam bukunya ” Sociologie” menegaskan bahwa:
...( de siciologische beschouwingswijre vat de star (in ruisme zin)als politicke groep op d.w.z.als een levensgemeenschap van een groat oantal personen die door een zeer speciaal saamhorighlid sgefoed zyin verbonden. (terjemahan bebasnya....pandangan sosiologis menganggap negara dalam arti luas sebagai kelompok politik, artinya sebagai kebersamaan hidup dari sejumlah besar pribadi yang terkait oleh perasaan kebersamaan yang sangat khusus).29
Ahli pikir pertama tentang negara dan hukum dari dari Prancis Charles Secondet, baron de labrede et de Montesquien yang bisa disebut Montesquien (1688-1755) dalam Samidjo30 menyatakan dalam ajarannya yang bersifat ”empiris realistis” bahwa di dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan tersebut kalau dirinci lagi:
a.Kekuasaan Legislatif; dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlement);
b.Kekuasaan Eksekutif; dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau Raja dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet);
c.Kekuasaan Yudikatif; dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
Adapun isi ajaran Monesquien ini adalah tentang pemisahan kekuasaan negara (thesepration of powers) yang terkenal dengan istilah ”Trias Politika” istilah tersebut berasal dari Immanuel Kant31. ditambahkan samidjo bahwa ajaran tersebut berkeinginann agar proses menjalankan kekuasaan oleh para raja atau para pimpinan suatu negara terhindar dari sikap sewenang-wenang terhadap masyarakatnya. Sehingga mampu menentang feodalisme, yang mana pada saat itu (sampai abad XVIII) pemegang kekuasaan dalam negara adalah seorang raja, yang mana membuat sendiri undang-undang, menjalankannya sendiri, termasuk menerapkan sanksinya ditentukan sendiri oleh sang raja. Sebagai gambaran bagaimana fakta sejarah tentang kesewenangan sistem hukum pada zaman kerajaan di Indonesia. Soepomo menyatakan:
Pada zaman perbudakan para budak itu sebagai milik orang lain, hidup-matinya di tangan orang yang memilikinya. Soepomo mencontohkan, pada tahun 1877 pada waktu meninggalnya seorang raja di Sumbawa, seratus orang budak rela dibunuh agar raja itu di dunia baka nanti akan mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan dan pekerja lainnya.32
Jadi dari berbagai pendapat atau pemikiran tersebut di atas sangat jelas bahwa sosiologis adalah harus adanya keseimbangan dan kualitas proses dalam membuat, sosialisasi, dan penerapan suatu peraturan perundang-undangan serta perlunya pemikiran ”Trias Politika” sehingga tejadinya hak-hak dasar dalam sikap tindakan masyarakat senyatanya merupakan hukum yang hidup (law in action).
E. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok.
Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorang pun yang hidup penyendiri, terpisah terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanya untuk sementara waktu.
Hidup menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin terjadi pada alam khayal belaka, namun kenyataan hal itu tak mungkin terjadi. seperti tarsan, Robinson cruso dan sebagainya. Sejak manusia itu ada sudah terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam satu kelompok yaitu hasrat untuk bermasyarakat ( baca Aristoteles )
F. Golongan golongan dalam masyarakat
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan misalnya kelompok-kelompok Pelajar, mahasiswa diwaktu istirahat di sekolah, kampus, kelompok-kelompok yang timbul itu disebabkan :
a.Merasa tertarik terhadap orang lain
b.Merasa mempunyai kesukaan yang sama dengan orang lain
c.Merasa memerlukan bantuan orang lain
d.Mempunyai hubungan daerah dengan orang lain
e.Mempunyai hubungan kerja dengan orang lain
G. Hukum dan Stratifikasi Sosial
Jika dalam suatu negara adanya pengakuan persamaan derajat para warganegaranya di depan hukum dan pemerintahan, maka suatu hari mungkin kita bertanya jika terjadi diskriminasi dalam proses penerapan hukum. Jika hukum yang dimaksud berlaku untuk semua orang, apakah pernah terjadi seorang yang mempunyai kedudukan ” kuat ” dalam masyarakat ?.
Dewasa ini di indonesia perlu diadakan suatu pemikiran untuk mendapatkan suatu kejelasan mengenai hubungan timbalbalik antara hukum dan masyarakat. Negara indonesia adalah warga-warga masyarakat yang terorganisir untuk hukum di dalam suatu wilayah tertentu.

PENUTUP
A. Kesimpulan
1.Perubahan sosial didalam kehidupan masyarakat adalah merupakan gejala umum yang terjadi disetiap masyarakat kapan dan di mana saja. Perubahan sosial juga merupakan gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Tidak ada satu pun masyarakat di muka bumi ini yang tidak mengalami suatu perubahan dari waktu ke waktu. Karena melekatnya gejala perubahan sosial di dalam masyarakat itu, sampai sampai ada yang mengatakan bahwa semua yang ada di masyarakat mengalami perubahan, kecuali satu hal yakni perubahan itu sendiri. Artinya perubahan itu sendiri yang tidak mengalami perubahan, tidak surut atau berhenti seiring dengan berputarnya waktu.
2. Pada dasarnya manusia adalah sebagai makhluk bertindak yang bukan saja merespon, tetapi juga beraksi dan dengan aksinya itu, maka terciptalah satuan-satuan kegiatan untuk menghilangkan kebimbangan, kecemasan, dan membangun percaya diri, serta gairah dalam kehidupan. Namun, semuanya berjalan dengan kekerasan, kekotoran, kesendirian, prinsip hidup yang pendek, diliputi rasa takut, manakala tidak adanya sistem sosial (aturan sosial) untuk menertibkan dan mengorganisir, maka keberadaan peraturan-perundangan, maka hukumlah sebagai alat kontrolnya (hukum sebagai kontrol sosial dan sistem sosial).
3. Sesuai struktur hukum dalam suatu Negara bahwa hukum yang paling tinggi dalam suatu Negara adalah hukum Negara dalam hal peraturan perundangan atau hukum yang berada di bawahnya harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Negara. Plato, T. Hobbes, dan Hegel, bahwa hukum Negara lebih tinggi dari hukum yang lain yang bertentangan dengan hukum Negara.
4. Warga Negara adalah sama di depan hukum, di sisi lain warga Negara juga berkewajiban mematuhi hukum sepanjang dalam proses pembuatan hukum tersebut, masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga adanya hukum dengan segala peraturan organik dan perangkat sanksinya diketahui, dimaknai, dan disetujui masyarakat serta hukum dijadikan kesedapan hidup (wellevendheid atau kesedapan pergaulan hidup). Harold J. Laksi dalam Sabian Usman (2005) menyatakan ” bahwa negara berkewajiban mematuhi hukum, jika hukum itu memuaskan rasa keadilan”.

B. Saran-Saran
1. Sosiologi Hukum adalah merupakan mata kuliah yang mengajarkan kepada Mahasiswa terutama Mahasiswa Program Pasca Sarjana untuk memiliki pengetahuan tentang hukum. Oleh karena itu, sebagai Mahasiswa yang pengetahuan sosiologi hukumnya masih kurang agar dapat mengembangkan dengan cara autodidak ataupun dengan pendekatan metode ”sosial kultural Law ”.
2. Perkuliahan Sosiologi Hukum akan mencapai tujuan maksimal bagi Mahasiswanya apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan sehingga menimbulkan semangat dan kecintaan terhadap mata kuliah sosiologi hukum. Oleh karena itu, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta dapat mendidik Mahasiswa Pasca Sarjananya untuk membekali dan mengembangkan budaya cinta akan kesadaran hukum di masyarakat
2.Perkuliahan Sosiologi Hukum akan mencapai tujuan maksimal bagi Mahasiswanya apabila ditekuni dengan sungguh-sungguh dan penuh keseriusan sehingga menimbulkan semangat dan kecintaan terhadap mata kuliah sosiologi hukum. Oleh karena itu, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta dapat mendidik Mahasiswa Pasca Sarjananya untuk membekali dan mengembangkan budaya cinta akan kesadaran hukum di masyarakat
Daftar Pustaka
Chambliss, William, J.& Seidmam, Robert B., law oeder and Pawer, reding,mass: Addison, Mass : Addison-Wesly.1971
Doyle Paul Jhonson, di indonesiakan oleh Robert MZ. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Moderen (2), Gramedia Jakarta, 1986.
Durkheim, emile., De la division du travail Social : Etudesur I ’ oraganisation des societes superi eureures, De Can, paris, 1983.
Durkheim, emile., The rules The rules of sociological Method. by Sarah A Solovay and Jhon A. Mueleer and Edited by George E. G. latin, Free Press, New York 1964
Fridman, Lawrence M The legal System, A Socience Pers ective Russelsage Foundation, New York,1975
Fridman woltgang, legal teory, Steven & Sons, london, 1953
Gillin, Jhon Lewis – Gillin, Jhon Philip, Cultural sociology, the mac Millian Compony, New York,1954
Gurvitch, Georges, terjemahan Soematrik Mertodipuro dan Moh. Radjab, Sosiologi Hukum, Bharatara, jakarta, 1962.
Koentjoroiningrat, Rintangan-rintangn Mental Dalam Pembangun ekonomi di Indinesia, Bharatra, Djakarta, 1962
L. Leyendecker., Tata Perubahan Dan Ketimbangan, PT. Gramedia, Jakarta, 1983
O’ dhea, tomas, F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, CV. Rajawali, Jakarta, 1985.
Peters, A.A.G dan Koesriani Siswaosoebroto, Hukum dan Perkembangan Social, Buku teks sosiologi hukum Buku I, sinarharapan, Jakarta, 1988
Podgorecki, Adam dan Christopher J. Whelan (ed), terjemahan Rnc. Widyanningsih, SH., dan G. Kartasapoetra, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina aksara, Jakarta,1987.
Ronny hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni. Bandung,1986
http/www.gogle
Schur, Edwin. M., Law and Society, A sociological View, Random Haouse, New York, 1968.
Small, Albion, W dan George E Vincent, Introduction to The Study of society, American Book co, New York, 1984.
Soebekti, Kumpulan-kumpulan Hukum Perikatan, Arbitrase dan Peradilan, Alumni, Bandung,1980.
Soerjono soekanto, Emile Durkheim, Aturan-aturan Methode Sosiologis (seri pengenalan Sosiologi 2), Rajawali Press, Jakarta. 1985.
Timasheff, N, SH., What is”sociology of Law?” dalam, American journal of sociology, Vol 43. September 1937.
Young, Kimball., Social Psychology, Alfred A knopt, New York.

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM.

KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA DITINJAU DARI
ASPEK SOSIOLOGI HUKUM.
Oleh : ALFIAH YULIASTUTI
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta
Angkatan XI Tahun 2009/2010
A. Latar Belakan Masalah

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh kedalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk memngembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara – perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas. Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.
Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara – perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap sarat dengan nuansa koruptif dan kolutif.
Secara umum anggapan itu adalah sah – sah saja, setidaknya ada alas an dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim.
Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Didalam memutus sebuah perkara dan mempertimbangkan layak tidaknya seseorang dijatuhi pidana seorang hakim didasarkan oleh keyakinan hakim dan tidak hanya berdasarkan bukti – bukti yang ada.

Secara normatif, pengadilan adalah tempat untuk mendapatkan keadilan. Hal itu tersandang dari namanya “pengadilan” dan dari irah-irah putusan Hakim yang menjadi gawangnya. Menurut irah-irah itu, dalam menyelesaikan perkara Hakim tidak bekerja “demi hukum” atau “demi undang-undang”, melainkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.Frase “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi simbol bahwa Hakim bekerja mewakili Tuhan Yang Maha Esa. Frase itu juga menjadi jaminan bahwa Hakim dalam menyelesaikan perkara akan bekerja secara jujur, bersih, dan adil karena ia mengatas namakan Tuhan. Sebab jika tidak demikian, maka Hakim yang tidak berlaku jujur, bersih, dan adil, kelak di “pengadilan terakhir” ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan dan perilakunya di hadapan Tuhan Yang Maha Adil.
Putusan pengadilan adalah penyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara. Putusan dapat dijatuhkan setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin dikemukakan.Putusan pengadilan merupakan suatu yang sangat diharapkan oleh pihak-pihak yang berperkara, sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dalam perkara yang mereka hadapi.Untuk memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis dalam hukum adat.
Namun kenyataannya tidak selalu sejalan dengan gagasan normatifnya. Tidak selamanya Hakim memiliki kesadaran di dalam hatinya bahwa kelak ia akan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya tidak jarang terdapat putusan-putusan Hakim yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Tidak semua Hakim memiliki rasa takut bahwa kelak ia akan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa tentang apa yang telah diputuskannya.
Memang sulit untuk mengukur secara matematis, putusan Hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu. Akan tetapi tentu saja ada indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Indikator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang digunakan Hakim. Pertimbangan hukum merupakan dasar argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.
Pertimbangan hukum yang tidak benar dapat terjadi karena berbagai kemungkinan:
1.Hakim tidak mempunyai cukup pengetahuan hukum tentang masalah yang sedang ditangani. Namun secara normatif seharusnya hal ini tidak boleh terjadi, karena Hakim dapat memerintahkan setiap pihak untuk menyediakan ahli yang akan memberikan keterangan dan menjelaskan pokok persoalannya di dalam persidangan.
2.Hakim sengaja menggunakan dalil hukum yang tidak benar atau tidak semestinya karena adanya faktor lain seperti adanya tekanan pihak-pihak tertentu, suap, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi indepensi Hakim yang bersangkutan.
3.Hakim tidak memiliki cukup waktu untuk menuliskan semua argumen hukum yang baik disebabkan karena terlalu banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang relatif singkat.
4.Hakim malas untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasannya, sehingga berpengaruh terhadap kualitas putusan yang dibuatnya. Faktor ini merupakan faktor yang pengaruhnya tidak langsung, namun cukup menentukan kualitas putusan.
Secara ideal, semua kemungkinan yang disebutkan di atas tidak boleh terjadi dalam lembaga peradilan. Jika hal itu terjadi, maka bukan tidak mungkin lembaga peradilan yang seharusnya menjadi gerbang keadilan, justru menjadi tempat terjadinya ketidakadilan. Tidak terkecuali Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi di negeri ini. Hakim-hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga gawang keadilan terakhir, boleh jadi justru menjadi pihak yang menciptakan ketidakadilan.
Seharusnya fakta persidangan merupakan dasar/bahan untuk menyusun pertimbangan majelis hakim sebelum majelis hakim membuat analisa hukum yang kemudian digunakan oleh hakim tersebut untuk menilai apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas suatu peristiwa yang terungkap di persidangan untuk memperoleh keyakinan apakah terdakwa patut dipersalahkan, patut dihukum atas perbuatannya sebagaimana yang terungkap dipersidangan.singkatnya, suatu putusan harus didasarkan pada fakta persidangan dan dibarengi dengan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
B.Permasalahan
Dalam makalah ini akan diajukan dengan perumusan masalah sebagai berikut;
1.Bagaimanakah dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara?
2.Bagaimana sebuah putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat memenuhi unsur rasa keadilan bagi masyarakat?
C.Tujuan
Bedasarkan permasalahan di atas, tujuan pembuatan makalah ini adalah;
1.Untuk mengetahui dasar pertimbangan dan legal standing yang diterapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara.
D. Manfaat yang diharapkan
Luaran yang diharapkan dalam pembuatan makalah ini adalah;
Mampu memberikan perhatian kepada para hakim dalam mengeluarkan suatu putusan harus selalu berlandaskan asas kepastian hukum dan keadilan masyarakat
E. Pembahasan
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).
Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan). Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subyektif dan individualistis.
Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap unsure-unsur tersebut.
Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsure yuridis (kepastian hukum) dengan unsure filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan hukum acara, yang mengatur sejak memerisa dan memutus. Dan hasil pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan. Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan. Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya rasa keadilan bagi masyarakat.
F.Kesimpulan
Seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan – keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.
Kebebasan Hakim terutama di Indonesia hanya dalam batas persidangan dalam memutus perkara namun yang penting rasa keadilan dan hati nurani yang adil yang perlu ditanamkan pada setiap insan hakim. Jangan takut memutus sebuah perkara meskipun telah mempunyai polisi hakim (KY). Kalau menurut keyakinan seorang hakim dan menurut rasa keadilan hati nurani dan hukumnya telah sesuai dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya Aparat hukum terutama aparat Pengadilan khusus hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.

Selasa, 12 Januari 2010

HUKUM BERFUNGSI DALAM MASYARAKAT

HUKUM BERFUNGSI DALAM MASYARAKAT
Oleh Sahri, MHS S2 Hukum Univ 17 Agustus 1945
Dosen: Prof Dr H Zainuddin Ali MA

1.Latar Belakang
Sejak manusia lahir di dunia, ia telah bergaul dengan manusia-manusia lain didalam suatu wadah yang bernama masyarakat. Mula-mula ia berhubungan dengan orang tuanya, dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulannya dengan manusia lain didalam masyarakat tersebut. Lama kelamaan dia mulai menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya, merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam. Secara sepintas lalu dia pun mengetahui bahwa dalam berbagai hal dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal-hal lain dia mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri. Sementara semakin meningkat usianya manusia mulai mengetahui bahwa dalam hubungannya dengan warga-warga lain dari masyarakat dia bebas, namun dia tidak boleh berbuat semau-maunya. Hal itu sebenarnya telah dialaminya sejak kecil, walaupun dalam arti yang sangat terbatas. Dari ayah, ibu dan saudara-saudaranya dia belajar tentang tindakan-tindakan apa yang boleh dilakukan dan tindakan-tindakan apa yang terlarang baginya. Hal ini semuanya lama kelamaan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa kehidupan didalam masyarakat sebetulnya berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian terbesar masyarakat tersebut dipatuhi dan ditaati oleh karena merupakan pegangan baginya.
Hubungan-hubungan antar manusia serta manusia dengan masyarakat dengan kelompoknya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah dan peri kelakuannya lama-kelamaan melembaga menjadi pola-pola. Jadi, sejak dilahirkan didunia ini manusia telah mulai sadar bahwa dia meruapakan bagian dari kesatuan manusia yang lebih besar dan lebih luas lagi dan bahwa kesatuan manusia tadi memiliki kebudayaan. Selain daripada itu, manusia telah mengetahui bahwa kehidupannya dalam masyarakat pada hakikatnya diatur oleh bermacam-macam aturan atau pedoman. Dengan demikian seorang awam, secara tidak sadar dan dalam batas-batas tertentu dapat mengetahui apa yang sebenarnya menjadi obyek atau ruang lingkup dari sosiologi dan ilmu hukum, yang merupakan induk-induk dari sosiologi hukum,[1]Apabila seseorang membicarakan masalah berfungsinya hokum dalam masyarakat, maka biasanya pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Masalahnya kelihatannya sangat sederhana padahal, dibalik kesederhanaan tersebut ada hal-hal yang cukup merumitkan.
Didalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan anatara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Hal berlakunya kaedah-kaedah hukum tersebut disebut “gelding” (bahasa Belanda). Tentang hal berlakunya kaedah hukum ada anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibat.
2. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
3. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya, sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kalau ditelaah secara lebih mendalam, maka agar supaya berfungsi, maka suatu kaedah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut ditas.[2] Jika tidak terpenuhinya salah satu unsure tidak akan berfungsi seperti yang dikehendaki oleh hukum itu sendiri. Contohnya kasus Bibit dan Candra yang mendapat tantangan begitu luas dari masyarakat

2. permasalahan

Tidak selalu kehendak hukum selalu sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat , maka dalam kehidupan nyata dalam mayarakat kadang-kadang berbeda dengan kenyataan yang dikehendaki oleh masyarakat dan apa yang menjadi kenyataan hukum. Contoh kasus yang paling baru adalah kasus Bibit dan Candra yang melibatkan banyak para petinggi penegak hukum di Indonesia . Namun kenyataannya kasus tersebut mendapat tantangan dari masyarakat, walaupun kasus tersebut memenuhi unsur pidana, namun dalam prakteknya mendapat tantangan dari msyarakat, padahal sangat mungkin kasus tesebut memenuhi semua unsur, namun ternyata tidak memenuhi salah satu unsur sosiologi hukumnya. Oleh karena itu dari ketiga unsur tersebut harus berjalan bersama-sama jika salah satunya tidak terpenuhi akan melahirkan ketidak adilan seperti yang terjadi dengan kasusnya Bibit dan Candra contoh diatas.

3. Analisis kasus
Seperti yang katakan oleh Soeryono Soekanto hukum yang baik adalah yang memenuhi ketiga unsure tersebut di atas, dan ketiganya harus berjalan berbarengan jika salah satu unsure ditinggalkan ada kemungkinan tidak akan menghasilkan rasa keadilam dimasyarakat, dengan dasar salah satu unsure sosiologis diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar oleh masyarakat akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Soeryono Soekanto-Pornadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu:
(1) Teori kekuasaan (Machttheorie), secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat.
(2) Teori pengakuan, (Annerkennungstheorie). Kaedah hukum berlaku berdasarkan penerimaan masyarakan tempat hukum itu berlaku.

Tetapi satu hal yang harus diingat bahwa keyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis harus termasuk pula kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memesukkan faktor-faktor kecenderungan dan harapan masyarakat maka perturan perundangan-undangan hanya sekedar merekam keadaan seketika. Keadaan seperti itu akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika masyarak. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolah-olah mengukuhkan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan keperkembangan masyarakat.[3] Jika teori diatas dikaitkan dengan kasus Bibit dan Candra para penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasaan, namun tidak sesuai dengan harapan-harapan masyarakat. Oleh karena itu banyak mendapat tangtangan dari para tokoh dan para ahli hukum di Indonesia . Suatu perbuatan hukum yang dilakukan tanpa memperhatikan pendapat umum mengandung risiko untuk tidak bisa dijalankan dengan baik. Keadaan yang ini lebih-lebih akan terjadi, manakala perbuatan hukum itu melibatkan pendapat-pendapat yang bertentangan dalam masyarakat. Apa bila Negara dalam hal ini Jaksa Agung tetap memaksakan kehendaknya untuk meloloskan hukum atau undang-undang yang isinya mendapat tentangan dari masyarakat, maka ongkos sosial yang harus dikeluarkannya bisa tinggi.[4] Oleh karena itu Kejaksaan Agung tidak melanjutkan kasus Bibit dan Candra sudang seharusnya demikian, jadi disamping melihat hukum secara formal juga melihatnya hukum sosialnya. Namun demikian masih ada lagi yang masih menjadi pertanyaan di masyarakat, awalnya Kejaksaan Agung kasus Bibit dan Candra berulang kali mengatakan sudah cukup bukti untuk dilanjutkan kepenuntutan dan dikelurkan lah P21 namun terahir kasus tersebut tidak dilanjutkan dengan alasan demi hukum, nah alasan inilah yang masih menyisakan pertanyaan dimasyarakat. Semestinya Kejaksaan Agung menggunakan wewenang yang diberikan oleh undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kajaksaan yaitu pasal 35 Huruf c , Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (hak oportinitas. Dengan demikian, oportunitas Jaksa Agung memiliki wewenang mengesampingkan perkara Bibit dan Candra demi kepentingan umum.[5]
Penegakan hukum harus mengutamakan rasa keadilan dan berlasdaskan hati nurani. Karena itu, ketika penerapan tidak menunjukkan rasa keadilan dan hati nurani, peraturan itu dapat dilanggar. Saat proses hukum secara formalitas sudah dilaksanakan dengan benar, tetapi dalam penerapannya ternyata juga melanggar hak-hak asasi manusia, maka hak asasi manusia harus menjadi preoritas keputusan.[6] Artnya selain pendekatan yuridis nomatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisi yang lainnya, yaitu hukum dalam kenyataanya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum dalam kenyataan dimaksud, bukan bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioprasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.[7]Satulagi contoh kasus yang sangat menghebohkan masyarakat tentang sengketa antara Frita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional Tangerang Banten , dilihat dari sisi hukum formal sudah sangat memenuhi semua unsure delik yang dituduhkan kepadanya, namun dari dilihat sisi keadilan masyarakat sangat tidak adil. Artinya hukum tidak cukup hanya diliha dari sisi formalnya saja akan tetapi harus dilihat dari keadilannya, jika tidak akan mendapat perlawanan yang cukup keras dari masyarakat. Oleh karena itu untuk memberlakukan hukum (Undang-Undang) tidak mungkin meninggalkan rasa keadilan karena antara keadilan dan hukum sama dengan dua sisi mata ung.

Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa ambil dari penulisan ini pertama untuk menerapkan suatu peraturan Perundang-Undangan tidak cukup hanya merapkan fasal-fasal yang ada akan tetapi tidak kalah pengtingnya melihat keadilan di masyarakat, artinya kalau suatu peraturan Perundang-Undangan mau diterapkan dilihat dulu akan menghasilkan keadilan dimayarakat atau tidak kalau tidak kalau tidak menghasilkan keadilan tidak perlu diterapkan. Yang kedua penegak hukum hanya menggunakan teori kekuasan belaka tidak perduli diterima atau di tolak dan ini sangat berbahaya karena akan menjadi penegak hukum yang sangat otoriter bukan penegak hukum yang memberi rasa keadilan.

Saran

Bagi para penegak hukum unntuk menerapkan peraturan Perundang-Undangan harus melihat dari sisi tersebut diatas dari sisi formalnya supaya ada kepastian dan yang kedua dari sisi keadilannya.



Penulis
Sahri mahasisa Pasca semester1
Kelas Sunter Untag 1945 Jakarta


________________________________________
[1] Soejono soekanto. Pokokpokok sosiologi hokum, PT.Raja Grafindo. Jakarta 1980. hlm. 1-2.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakt. CV Rajawali Jakarta , 1980. hlm. 15.
[3] Bagir Manan, Dasar-Dasar perundang-undangan Indonesia . IND-HILL.L.CO Jakarta 1992. hlm ,16.
[4] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti Bandung th 2000. hlm, 147.
[5] Indrianto Senoadji.Humanisme dan pembaruan Penegakan Hukum. Penerbit buku Kompas, Jakarta 2009. hlm. 152.
[6] Mahfud MD, Kompas tgl7 Januari 2010. hlm 2.
[7] H. Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Sinar Grafika Jakarta 2005. hlm, 13.

Kamis, 07 Januari 2010

KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya

KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya
Disusun oleh :
Sumantap M. Simorangkir, SH
NPM : 090310174101098
Program Study : S2 - Hukum Bisnis
Mata Kuliah :
SOSIOLOGI HUKUM
( Prof. Zainuddin Ali, SH, MH )
PENDAHULUAN

Mata kuliah Sosiologi Hukum adalah mata kuliah yang sangat perlu dan haruslah diketahui bagi setiap akademisi dan atau para praktisi maupun intelektual guna melihat dan atau menjadi pertimbangan dan pemahaman dari aspek sosial kemasyarakatan sebelum melakukan suatu tindakan maupun mengeluarkan produk hasil keputusan yang akan diterapkan/dilaksanakan kemudian.

Dalam hal ini, Penulis sependapat dengan Prof. Satjipto Rahardjo dalam pengartian definisi Sosiologi Hukum yaitu “Sosiologi Hukum (Sociology of Law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks sosialnya” (Ref. 1 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006)


LATAR BELAKANG MASALAH

Penulis mengangkat permasalahan “KPK vs POLRI” atau “cicak melawan buaya” sebagai judul dalam makalah ini. Adapun alasan penulis adalah kasus / masalah ini sangatlah menarik untuk dibahas dan dicermati sehubungan : sedemikian rupa desakan yang dilakukan mengatasnamakan masyarakat / rakyat Indonesia dalam mempertahankan dan membela Pimpinan (Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah) di KPK yang dikenakan pasal tindak pidana maupun tindakan penahanan oleh Kepolisian RI.

Tersebut, terjadi karena masyarakat luas telah memperoleh akses siaran televisi (TV One maupun Metro TV) dengan melihat maupun mendengar secara langsung jalannya persidangan di Mahkamah Konstitusi RI (MK). Dimana segala hasil pembicaraan yang diperoleh KPK dalam rangka penyelidikan terhadap oknum / orang yang dicurigai melakukan tindak pidanan korupsi melalui “penyadapan” diperdengarkan dalam persidangan untuk umum MK sebagai bukti adanya “kriminalisasi hukum terhadap KPK”.

Selanjutnya, menjadi pertanyaan dan pembahasan adalah :

1. Kenapa masyarakat / rakyat sekarang ini begitu peduli dengan apa yang terjadi di KPK ?

2. Kenapa perilaku Aparat Penegak Hukum (i.c. Kepolisian dan Kejaksaan) di negara kita ini sekarang menjadi sorotan masyarakat ?


PEMBAHASAN

Atas apa yang hendak penulis uraikan dan jelaskan dalam menjawab pertanyaan di atas, selanjutnya akan diuraikan berdasarkan :

1. TEORI HUKUM

HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL

Sosial Kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistim kaidah dan nilai yang berlaku.
Selanjutnya, dapat berwujud berupa pemidanaan, konpensasi, terapi maupun konsiliasi. Yang mempunyai standar/patokan adalah larangan yang apabila dilanggar mengakibatkan penderitaan (sangsi negative) bagi pelanggarnya. (Ref. 2 ; Sosiologi Hukum, Prof.Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Sinar Grafika, Cetakan pertama - Maret 2006 ; hal 22)

Fungsi hukum dimaksud adalah “penerapan mekanisme control sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu”.

Adapun pengertian dimaksud adalah benar dan kini telah terjadi di masyarakat kita. Dimana kelompok masyarakat sedemikian rupa melakukan ”pembangkangan” atas tindakan dan upaya yang sedang dilakukan oleh Kepolisian RI dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan terhadap Lembaga KPK. Dan wujud dari itu semakin deras diupayakan kelompok masyarakat dikarenakan Pimpinan Kepolisian menyebut dengan istilah : Cicak (KPK) vs Buaya (Kepolisian RI).

Masyarakat marah karena Kepolisian menyatakan diri sebagai Buaya yang akan memakan Cicak yang kecil ? Jelas marah dan keberatan !! Bahkan karena pernyataan itu pula maka masyarakat semakin terbuka “unek-uneknya” melihat lembaga Kepolisian yang dikenal sangat korup dan arogan.

Kenapa korup dan arogan ? Karena masyarakat apabila berurusan dengan Kepolisian selalu dipersulit dengan istilah “segala sesuatu bisa diatur” dengan uang. Sedangkan ketidakadilan dapat dilihat dengan adanya proses penyidikan dan penyelidikan yang berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari perbedaan sosial ekonomi orang yang bermasalah, yaitu di tingkat penyidikan maupun penyelidikan (Kepolisian) apabila yang mengalami persoalan hukum itu orang mampu selalu tidak ada masalah. Tetapi apabila yang mengalami masalah orang kecil selalu dipersulit. Keadaan ini jelas seperti adanya ketidak seimbangan maupun perbedaan perlakuan dan atau desebut diskriminasi hukum.

Disebut arogan karena klaim adanya ketindakadilan dan tindak perbuatan Kepolisian yang menekan atau memaksa dan atau memberlakukan prosedur seperti aturan yang ada hanya terhadap orang kecil saja (orang yang tidak mampu). Misalnya pemukulan atau penganiayaan sehingga mendapatkan bukti adanya pengakuan tersangka.

Ketidakadilan yang terjadi itu dirasakan dan dialami masyarakat kecil. Contoh yang terjadi adalah kasus Prita vs RS Omni atau kasus pencurian 3 buah coklat maupun kasus pencurian 1 buah semangka.

Selanjutnya apakah asas kepastian hukum harus dikesampingkan saja dengan melihat perubahan masyarakat kini yaitu dengan pengertian “keadilan” ? Memang Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Persamaan Hak belum dapat berjalan beriringan dalam penerapan hukum di Indonesia.

MANFAAT SOSIOLOGI HUKUM

Manfaat Sosiologi Hukum untuk dapat memahami bekerjanya hukum di dalam masyarakat yang diuraikan sebagai :

1. Sosial Kontrol di dalam masyarakat

Sosial kontrol mempunyai arti bahwa segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk mendidik dan mengajak warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. (Ref. 3 ; Menguak Tabir Hukum : Suatu kajian Filosofis dan Sosiologis, Ahmad Ali, Jakarta, Gunung Agung, 2002, hal. 88)

2. Alat untuk mengubah masyarakat

Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakata yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of social engeneering (Ref. 4 ; Interpretation of Legal History, Roscoe Pound, USA, Holmes Beach, Florida, 1986, hal. 147). Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dimana langsung tersangkut tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan, dan mungkin pula menyebabkan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga lainnya.

3. Simbol pengetahuan

Fungsi hukum sebagai symbol merupakan makna yang sudah dipahami dan diketahui oleh seseorang atau warga masyarakat tentang hukum yang mengatur perilaku yang menyimpang (mengambil barang orang lain disebut pencurian).

4. Instrumen Politik

Fungsi hukum sebagai alat politik diketahui dari produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Bahkan, Hukum dan politik di mata masyarakat semakin sulit dipisahkan sehubungan kadang kala ke dua aspek tersebut selalu menjadi rantai pokok suatui persoalan yang muncul bersamaan. Misalnya pada kondisi sekarang adalah perkara Bank Centuri.

5. Alat Integrasi

Hukum dapat diciptakan sebelum terjadinya suatu konflik yang mengatur maupun sesudah terjadi konflik. Sebelum dan setelah terjadi konflik ini dilihat dari adanya perbedaan aspirasi golongan suatu masyarakat yang ada di suatu daerah/wilayah sesuai dengan kepentingannya.


Dari apa yang diuraikan di atas, dapatlah diketahui manfaat kajian sosiologi hukum terhadap bekerjanya hukum di dalam masyarakat sehingga ditemukan fungsi-fungsi hukum dalam mengtur warga masyarakat dalam berinteraksi antara seseorang/kelompok dengan orang/kelompok lainnya.


2. PENDAPAT PENULIS

DUDUK PERKARA

Membahas mengenai perkara KPK vs Kepolisian haruslah memahami dan melihat perkembangan kasus itu dari awal terjadinya hingga perjalanannya.

Adapun pasal-pasal tindak pidana yang dijeratkan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah berubah-ubah. Awalnya adalah penyalahgunaan wewenang dan kemudian muncul penguapan, dan terakhir yang dibidikkan yaitu pemerasan. Pasal pemerasan ini membawa konsekwensi berupa ancaman hukuman penjara untuk mereka semakin berat, yang mana Anggoro dan Anggodo selaku pemilik uang dapat lolos dari hukum karena posisinya sebagai korban.

Atas pasal yang dituduhkan kepada Bibit dan Chandra adalah :

1. PENYALAHGUNAAN WEWENANG

Pasal 421 KUHP :
“Seorang pejabat menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.

Pasal 23 UU No. 31/2009 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
“Dalam perkara korupsi, pelanggaran ketentuan Pasal 421 KUHP, dipidanakan dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama enam tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp 300 juta”.


2. TINDAK PIDANA PENYUAPAN

Pasal 12-b juncto Pasal 5 ayat 1 huruf b UU tentang Tindak Pidana Korupsi

Pasal 12 b :
“Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”.

Ancaman hukuman : Penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 5 ayat 1 huruf b :
“Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya”.
Ancaman hukuman : penjara maksimal lima tahun dan atau denda maksimal Rp 250 juta.

Keterangan : pemberi menawarkan imbalan yang selanjutnya Pemberi seharusnya menjadi pelaku dan dapat dipidanakan.

3. PEMERASAN

Pasal 12 huruf e juncto Pasal 15 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 12 huruf e :
“Pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.
Ancaman hukuman : penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 15 :
“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.
Ancaman hukuman : penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun dengan denda maksimal Rp 1 miliar.
Keterangan : penerima dengan meminta imbalan. Pemberi dianggap korban, sehingga tidak dipidana.

Hukum pidana kita adalah benar masih menggunakan KUHP yang merupakan produk jaman Belanda. Dan aturan dan peraturan sebagaimana pasal yang mengatur untuk kondisi sekarang ini sudah sangat perlu untuk direvisi. Belum lagi banyaknya aturan-aturan (UU) yang mengatur secara khusus dan menjadi bertentangan dan atau adanya pasal-pasal yang tumpang tindih dengan aturan umum di KUHP.


Berdasarkan apa yang telah dituduhkan kepada 2 0rang pimpinan KPK tersebut sebagaimana pasal-pasal yang mengaturnya, maka terjadi pro maupun kontra dikalangan masyarakat dan praktisi hukum maupun sosial. Akibat tersebut pula, maka pemerintahan menganggap perlu untuk mengambil sikap dengan membentuk Tim Delapan dalam rangka memberikan bahan dan masukan berupa rekomendasi kepada Pemerinah.

Bekerjanya Tim Delapan sebagai tim ad hook di dunia penyelidikan dan penyidikan mengundang dukungan yang sangat besar dari masyarakat luas. Karena bekerjanya tim senantiasa mendapat sorotan dan liputan media maupun televise. Akses inilah yang diterima masyarakat sehingga siapapun tokoh dan atau yang berkepentingan didalam permasalahan KPK vs POLRI dapat dilakukan dengan marathon oleh Tim Delapan.

Selanjutnya atas usulan Tim 8 yaitu agar polisi melakukan penghentyian penyidikan dalam kasus Bibit dan Cahndra yang dinilai dasar pembuktiannya amat lemah ternyata tak diindahkan oleh Kepala Kepolisian RI. Secara formal hukum, penyidik polisi memang memiliki independensi dalam menjalankan kewenangannya. Namun mengingata Tim 8 beranggotakan para pakare hukum terhormat yang integritasnya di mata public amat tinggi, penolakan polisi atas rekomendasi ini semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa terjadi rekayasa pemberkasan kedua pimpinan KPK.

Bahwa kasus ini sebenarnya merupakan ranah / wilayah hukum, tetapi karena sudah sedemikian rupa memasuki ranah : kekuasaan / birokrasi, privasi maupun politik, maka opsi yang diberikan oleh Tim 8 dalam proses hukum selanjutnya kasus Bibit dan Chandra adalah mengacu kepada ketentuan (UU/Peraturan) yang mengaturnya, yaitu :

1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

Defenisi :
Kewenangan peniyidik untuk menghentikan perkara karena tak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum. Merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian “dihentikan demi hukum” adalah jika perkara itu terkait dengan seseorang yang tak dapat dituntut lebih dari satu kali dengan perkara sama, atau terdakwa meninggal dunia.

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi hukum
2. Pemulihan nama baik dan di kembalikan hak-haknya
3. Tidak menghapus tindak pidana
4. Kasus bisa dibuka kembali kalau ditemukan alat bukti baru

Dasar Hukum :

1. Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 7i :
Penyidik mempunyai wewenang mengadakan penghentian penyidikan.

Pasal 109 :
(2) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakam tindak pidana atau penyidikan di hentikan demi hukum.

2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia

Pasal 16 ayat 1h:
Kepolisian memiliki wewenag mengadakan penghentian penyidikan.

Contoh :

- Kejaksaan mengeluarkan SP3 kepada sejumlah Konglomerat seperti Sjamsul Nursalim karena dianggap kooperatif dan menyodorkan bukti surat keterangan lunas.

- Polisi mengeluarkan SP3 untuk kasus Lapindo, karena dinilai banyak kelemahan dalam berkas perkara

2. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)

Defenisi :
Kewenangan Penuntut untuk menghentikan perkara karena tak ditemukan alat bukti memadai, peristiwa tersebut tindak pidana, perkara ditutup demi hukum. Surat ketetapan ini dikeluarkan setelah jaksa mengambil alih perkara dari Penyidik, Penghentian penuntutan merupakan kewenangan penuh Jaksa

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi hukum
2. Pemulihan nama baik dan dikembalikan hak-haknya
3. Tidak menghapus Tindak Pidana
4. Kasus bisa dibuka kembali kalau ditemukan alat bukti baru

Dasar Hukum :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hkum Acara Pidana

Pasal 140
(2) dalam hal Penuntut Umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan Tindak pidana atau perkara ditutup dfemi hukum, Penuntutan umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan

Contoh :

Kejaksaan mengeluarkan SKPP untuk Soeharto pada 11 Mei 2006 karena Jaksa Penuntut umum tidaj dapat menghadirkan Soeharto ke Pengadilan dengan alasan kesehatan, sehungga tidak mungkin diadili

3. Deponir

Defenisi :
Deponir merupakan wewenang Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara Pidana demi Kepentingan umum meski sudah cukup bukti. Dalam membuat keputusan ini, Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut

Konsekuensi :
1. Terdakwa bebas demi kepentingan umum
2. Perbuatan tindak pidana dianggap ada
3. Keputusan berlaku permanent

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Pasal 35 c :
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum

Penjelasan Pasal 35 :
Yang dimaksud dengan “Kepentingan Umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara dalam ketentuan ini merupakan pelaksaanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut

Contoh :

1. Kejaksaan Agung pernah menerbitkan deponering, yaitu kepada Letnan Jenderal (Purn) Mochamad Jasin, Karena dituduh menghina Kepala Negara dengan menandatangani Petisi 50 di era kepimpinan Presiden soeharto, saat itu, Jaksa Agung adalah Ismail Saleh

2. Pada tanggal 15 Agustus 1953 R. Soeprapto mengesampingkan kasus wartawan Pemandangan, Asa Bafagih. Asa dituduh membocorkan rahasia Negara karena menulis rencana Pemerintah membuka keran Investasi Asing dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan, Asa menolak menyebut sumber beritanya. Tekanan Publik kepada Pemerintah dating bertubi-tubi. Atas nama kepentingan umum, kasus ini dideponir


PENDAPAT PENULIS

Kenapa masyarakat / rakyat sekarang ini begitu peduli dengan apa yang terjadi di KPK ?

Sebelum kami menjawab pertanyaan di atas, sebelumnya kami menguraikan adanya kekecewaan masyarakat Indonesia yang sudah menumpuk akibat dari :

1. Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998 dijatuhkan oleh rakyat melalui pergerakan mahasiswa turun ke jalan yang selanjutnya disebut sebagai era Reformasi. Di jaman itu, timbul pergolakan untuk menuju kebangkitan bangsa untuk memberantas : kolusi, korupsi serta nepotisme (KKN) sampai ke keluarga cendana (Soeharto) sekalipun.

Selanjutnya apakah harapan masyarakat / rakyat sudah tercapai pada masa itu ? Ternyata dengan alasan sulitnya pembuktian harta kekayaan atas sejumlah Yayasan dan sakitnya Soeharto atas perkara pidana tersebut tidak dapat dilanjutkan. Bahkan, Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPP (Surat Keterangan Penghentian Penyidikan) atas nama Tersangka Soeharto.

2. Penuntasan atas perkara-perkara BLBI yang tidak pernah dapat diselesaikan (melalui lembaga peradilan), termasuk tidak jelasnya maupun tidak transparannya kasus pengembalian kerugian keuangan Negara yang sangat merugikan dan membebankan masyarakat di tangan Para Penyidik (Kepolisian maupun Kejaksaan) ;

Selanjutnya, adanya perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia, yang meliputi :

- Kondisi gejolak politik ;

- Good Goverman (Pemerintahan yang baik) ;

- Krisis perekonomian di dalam negeri dan luar negeri ;

- Buruknya penegakan hukum yang dialami & dilihat masyarakat ;

yang mana ternyata, semua itu belum sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat atau rakyat Indonesia dalam arti yang sebenarnya.

Demikian adanya akses informasi maupun media elektronik yang telah dapat dijangkau dan diakses oleh seluruh lapisan masyarakat luas ;

Dan khusus perkara ini pula, tidak dapat dilepaskan adanya penyidikan dan penyelidikan dalam perkara pembunuhan Direktur RNA yang ditangani oleh Kepolisian RI atas nama tersangka AA yang diketahui adalah selaku Pimpinan KPK. Yang mana sedemikian berlanjut, dengan dikeluarkannya “testimoni” oleh Tersangka AA dihadapan Penyidik Kepolisian. Dengan di “ekspose” nya surat tersebut di media massa maupun elektronik, berlanjutlah dengan di periksanya B dan CH yang juga adalah Wakil Pimpinan KPK dengan tuduhan atau sangkaan yang berubah - ubah diantaranya yaitu : pemerasan atau penyalahgunaan wewenang maupun korupsi.

Ternyata, semua ini terakumulasi didalam sendi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Yang pada akhirnya belum juga sebagaimana yang diharapkan dan diidamkan masyarakat.

Apalagi dengan melihat, mencari dan mendapatkan “keadilan” yang sampai dengan sekarang ini dirasakan sekali oleh masyarakat bahwa KPK sudah banyak menindak dan membawa para koruptor ke dalam “bui”. KPK bagi masyarakat sebenarnya dapat dikatakan obat pusing yang bisa menyembuhkan penyakit. Sehingga adanya dukungan secara global dari masyarakat sebenarnya lebih melihat dan merasakan adanya “intervensi” kepentingan politik maupun hukum dari pemerintah atau aparat hukum maupun seseorang oknum yang menginginkan agar KPK ditiadakan / dihapuskan.

Masyarakat membela dan melihat ketidakadilan terjadi pada diri Bibit dan Chandra. Dituduh dengan dasar hukum yang lemah, diperiksa dengan alasan yang berubah-ubah. Dilakukan “penahanan” oleh kepolisian karena terlalu banyak meng-ekpose perkara yang dialami demikian mengajukan uji materi dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Dan “terbukanya” pembicaraan-pembicaraan hasil rekaman di Mahkamah Konstitusi tentang “Kriminalisasi” KPK.

Dan selanjutnya penulis dapat mengatakan bahwa “Masyarakat memang telah peduli dengan adanya permasalahan di dalam tubuh KPK”. Karena masyarakat tidak mau KPK hilang dan tidak berfungsi. Masyarakat menginginkan KPK terus berlanjut untuk menindaklanjuti pemeriksaan para koruptor yang telah banyak menggerogoti keuangan Negara dan yang telah merugikan masyarakat selama ini.

Masyarakat memang sudah tanggap dan peduli atas “hukum dan keadilan” yang terjadi di Negara kita ini. Juga masyarakat sangat mendambakan perubahan dan perbaikan dari institusi Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai penegakan hukum.


Kenapa sistim hukum maupun perilaku Aparat Penegak Hukum (i.c. Kepolisian dan Kejaksaan) di negara kita ini sekarang menjadi sorotan masyarakat ?

Untuk apa sebenarnya hukum diciptakan ? Suatu pertanyaan yang sudah basi dan ternyata untuk kondisi sekarang itu memang menjadi perlu untuk kembali di pertegas. Keterkaitan hukum yang mengatur dan perilaku dari aparat penegak hukum ternyata menjadi dominan. Dominan untuk suatu kepentingan dari pelaksananya.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan setiap warganegara mempunyai hak dan kewajiban didalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara RI. Kepedulian masyarakat kini ternyata sudah dapat mendekati apa yang dimaksud. Demikian Negara terus menerus berupaya meningkatkan perbaikan dan peningkatan dari sisi kwalitas maupun kwantitas mewujudkan apa yang diamanatkan pendiri Negara.


KESIMPULAN

PENUTUP

Bahwa penulis menyimpulkan perkara KPK vs POLRI sepanjang yang diketahui adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Penyelidikan dan Penyidikan oleh Kepolisian RI dalam perkara “Pemerasan yang dilakukan oleh 2 orang Pimpinan KPK” sebagaimana yang dilaporkan oleh Anggodo (selaku Korban) adalah masih bersifat sepihak dan belum memenuhi unsur-unsur yang dipersangkakan. Dimana salah seorang saksi dari korban dalam keterangannya belumlah ada persesuaian dengan keterangan yang sudah dibuat oleh saksi korban (Anggodo). Dan disinilah peran Anggodo yang dominan sekali mempengaruhi Penyidik Kepolisian dalam rangka menyesuaikan keterangannya.

2. Tindakan Kepolisian dalam rangka tersebut jelas sekali kelihatan sekali terlalu dipaksakan. Dimana atas pasal yang telah dipersangkakan, ternyata masih dapat berubah-ubah sebagaimana bukti surat panggilan Kepolisian yang telah diterima oleh 2 orang Pimpinan KPK.

3. Akibat tersebut, ada dugaan telah terjadi “Kriminalisasi KPK” sebagaimana bukti rekaman percakapan yang diperoleh KPK dari hasil penyadapan selama ini. Berdasarkan hasil percakapan tersebutlah, dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dibuka dan diperdengarkan kepada publik.

Karena KPK memenangkan sebagian gugatan di Mahkamah Konstitusi dan banyaknya dukungan moriil masyarakat terhadap perkara yang menimpa ke 2 Pimpinan KPK, maka Kepolisian dalam salah satu butir pertimbangannya menyebut bahwa penahanan dilakukan sehubungan tindakan atau upaya ke 2 orang Pimpinan KPK tersebut (Gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan Konfrensi Pers) yang bersifat mempengaruhi dan merugikan penyidikan maupun penyelidikan selama ini.

4. Tindakan dan kebijakan Pemerintah dalam rangka mengatasi krisis KPK vs POLRI dengan membentuk Tim 8 yang hasilnya telah menjadi rekomendasi Presiden mengatasi kemelut tersebut berdasarkan aturan maupun peraturan yang ada dan mengaturnya.

5. Pelaksanaan birokrasi dan peningkatan SDM di Institusi Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangka reformasi atau pembenahan dari kwalitas maupun kwntitas yang profesional serta mandiri.


SARAN

Yang dapat disimpulkan sebagai saran kami adalah sebagai berikut :

1. Bahwa dalam rangka “Persamaan hak dimuka hukum” haruslah menjadi pedoman tugas pokok para penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Polisi) didalam menjalankan fungsi, peranan dan pelaksanaan institusi yang terkait.

2. Bahwa “Hukum diciptakan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat” haruslah benar-benar dirasakan dan dinikmati oleh semua kalangan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, golongan maupun ekonomi. Sehingga tercipta kondisi suatu masyarakat yang diidam-idamkan selama ini yaitu masyarakat adil dan beradab.

3. Bahwa “Tujuan hukum untuk mencapai kebenaran dan keadilan bagi rakyat” tidak boleh dipengaruhi dan dipaksakan oleh seseorang, golongan tertentu, sebagaian masyarakat. Tersebut haruslah diciptakan benar-benar dalam rangka penegakan hukum dari mulai system hukum atau produk peraturan perundang-undangan, para penegak hukum sebagai pelaksanan maupun pemerintahan yang baik / good government sebagaimana adanya pemisahan kekuasaan (trias politika) yang berguna memisahkan dan membatasi serta mem-balance / menyeimbangkan kehidupan suatu masyarakat berbangsa dan bernegara.


Demikian makalah ini dibuat dari hasil pemikiran penulis dan untuk disampaikan dalam rangka memenuhi tugas SOSIOLOGI HUKUM yang telah diajarkan oleh Dosen Pembimbing.

KIranya bahan dan pemikiran ini dapat digunakan dan bisa berguna dalam rangka pengembangan pola penguasaan penulis atas adanya kasus-kasus yang menonjol di kehidupan masyarakat kita.

Atas segala bimbingan yang telah diberikan, penulis ucapkan banyak terima kasih. - FIAT YUSTITIA RUAT COELUM -

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

PERAN WARGA MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENEGAKAN HUKUM DIBIDANG UNDANG-UNDANG NO. 38 TAHUN 1999 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
Oleh: DYAH YULIANTI, Mhs S2 Hukum UID, NPM: 7109179, Angkatan: XI
Dosen : Prof Dr H Zainuddin Ali, MA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatutan. Derajat kepatutan masyarakat hukum merupakan salah satu indicator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya apabila kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatutannya juga rendah. Pernyataan ini berkaitan dengan fungsi hukum dalam masyarakat atau efektifitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam masyarakat.
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami dan mentaatinya. Artinya ia dapat benar-benar merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari manusia akan tetapi juga dari segi batiniah.
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berkaitan dengan rukun Islam yang dapat menentramkan batin bagi yang melaksanakannya dan dapat membantu memenuhi kebutuhan mendesak bagi yang menerimanya. Oleh karena itu perlu diungkapkan bahwa status hukum Zakat merupakan ibadah wajib yang termasuk Rukun Islam yang ketiga. Perintah Zakat yang terdapat dalam Alqur’an sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali perintah itu bergandengan dengan perintah Shalat. ( A.M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam,(Jakarta, Rajawali,1987) halaman 113.
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban Zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan Ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat dalam Zakat, ialah :
1. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan hidup serta penderitaan.
2. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para Gharimin, Ibnu Sabil dan Mustahik lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesame Ummat Islam dan Manusia pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemilik harta.
5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri (kecemburuan social) dalam arti orang-orang miskin.
6. Menjembatani jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu masyarakat.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab social pada diri seseorang terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan.
8. Mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
9. Sarana pemerataan pendapatan (rejeki) untuk mewujudkan keadilan social. (Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat, Wakaf (Jakarta, UI Press, 1988) halaman 40.
Berdasarkan fungsi Zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah wajib kepada Tuhan maupun fungsinya dalam masyarakat dapat diketahui bahwa ditetapkannya zakat sebagai rukun Islam mengandung hikmah bagi pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah bagi pemberi dan penerima dan hikmah bagi harta itu sendiri.

B. Permasalahan
Dari rumusan masalah tersebut di atas dapat ditentukan permasalahan sebagai berikurt: Aspek hukum apa saja yang melingkupi bidang Zakat ditinjau dari segi Sosiologi Hukum?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas mata Kuliah Sosiologi Hukum peserta Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta , Angkatan ke XI Tahun 2009.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Warga Masyarakat dalam Konteks Penegakan Hukum dibidang Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Zakat adalah ibadah Maliyah Ijtima’iyah (Ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan kemasyarakatan), dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang mempunyai status dan fungsi yang penting dalam Syariat Islam. Zakat mempunyai dua fungsi, pertama adalah untuk membersihkan harta benda dan jiwa manusia supaya senantiasa dalam keadaan fitrah, kedua zakat itu juga berfungsi sebagai dana masyarakat yang dimanfaatkan untuk kepentingan social guna mengurangi kemiskinan.
Untuk memberikan zakat yang bersifat konsumtif harus melalui syarat yang mana mampu melaksanakan pembinaan dan pendampingan pada mustahiq agar usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq dalam kegiatan usahanya, juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya, agar semakin meningkat ke-Imanan dan k e-Islamannya.
Zakat bisa menjadi sumber dana tetap yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, terutama golongan fakir miskin, sehingga mereka bisa hidup layak secara mandiri tanpa menggantungkan nasipnya atas belas kasihan orang lain. Hal ini sejalan dengan hikmah diwajibkannya Zakat sebagai Umat Islam yang mampu, yang antara lain adalah sebagai berikut :
a. Untuk membersihkan/menyucikan jiwa si Muzakki (orang yang yang mengeluarkan Zakat) dari sifat-sifat tercela seperti kikir, mementingkan diri sendiri (individualism) dan sebagainya.
b. Untuk membersihkan harta bendanya dari kemungkinan bercampur dengan harta benda yang tidak 100 % halal, misalnya “Syuhat” atau diperoleh kurang wajar.
c. Untuk mencegah berputarnya harta kekayaan berada di tangan orang kaya saja, demi mewujudkan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.
d. Untuk memenuhi kepentingan umum, sepoerti jembatan dan untuk kepentingan agar seperti Masjid/Musholla dan lain sebagainya.
e. Untuk meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan manusia.
Menurut Dawam Raharjo, dkk dalam bukunya “Islam dan Kemiskinan” mengatakan, dalam gugatan strategi yang baru, yang disebut Basic Strategy timbul gagasan untuk melakukan sesuatu yang disebut pengalihan konsumtif” (transfer of consumption), Pengalihan Pendapatan (transfer of income), Pengalihan Kekayaan (transfer of wealt), Pengalihan Investasi (transfer of invest) ataupun pembagian kembali kekuasaan (redistribution of powers). Maksudnya adalah bahwa hendaknya program-program pembangunan itu ditujukan dan dapat diambil manfaatnya secara langsung oleh golongan yang paling miskin dan paling lemah.
Imam Nawawi berkata dalam Kitab Al’Mauri : “Masalah kedua adalah dalam menentukan bagian zakat untuk orang fakir dan miskin. Sahabat-sahabat kami orang-orang Irak dan Khuratan telah berkata : Apa yang diberikan kepada orang fakir dan miskin hendaklah dapat mengeluarkan mereka dari lembah kemiskinan kepada taraf hidup yang layak. Ini berarti ia mesti menerima sejumlah barang atau uang tunai yang dapat memenuhi semua kebutuhannya.
Untuk melepaskan mereka dari kemiskinan dan ketergantungan mereka dengan bantuan orang lain. Untuk itu perlunya penggunaan Zakat produktif tradisional dan Zakat produktif kreatif. Sebenarnya berdasarkan pengamatan dan bacaan kepustakaan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan Zakat ada 4 katagori, selain Zakat Produktif tradisional dan kreatif ada juga konsumtif tradisional dan kreatif. Akan tetapi zakat konsumtif tradisional sifatnya dalam katagori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti Zakat Fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, atau Zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam katagori kedua adalah Zakat konsumtif kreatif, maksudnya adalah Zakat yang diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti misalnya diwujudkan dalam bentuk alat sekolah, beasiswa dan lain-lain. Katagori ke tiga Zakat produktif tradisional adalah Zakat yang diberikan dalam bentuk barang-barang produktif misalnya kambing, sapi, mesin jahit, dan lain-lain. Pemberian Zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir miskin. Selanjutnya yaitu katagori terakhir, Zakat Produktif kreatif ke dalam bentuk ini dimaksudkan semua pendayagunaan Zakat yang diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan untuk membangun suatu proyek social maupun untuk mambantu atau menambah modal seseorang pedagang atau pengusaha kecil. Penggunaan katagori ketiga dan keempat ini perlu dikembangkan karena pendayagunaan Zakat yang demikian mendekati hakekat Zakat, baik yang terkandung dalam fungsinya sebagai ibadah dalam kedudukannya sebagai dana masyarakat. Akan tetapi disyaratkan bahwa yang memberikan Zakat yang bersifat produktif adalah yang mampu melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para Mustahiq Zakat dalam kegiatan usahanya juga harus memberikan pembinaan rohani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas ke-Imanan dan k e- Islamannya.
Bahtsul Masail Diniyah Mandlutiyyah atau pembahasan masalah keagamaan penting dalam Mukatamar ke-28 Nahkdatul Ulama memberikan arahan bahwa dua hal di atas diperbolehkan dengan maksud untuk meningkatkan kehidupan kehidupan ekonomi para Mutahiq Zakat. Namun ada persyaratan penting bahwa harta Zakat yang seandainya mereka terima akan disalurkan secara produktif atau atau didayagunakan dan mereka member ijin atas penyaluran Zakat dengan cara seperti itu.
Adapun langkah-langkah pendistribusian Zakat produktif tersebut berupa sebagai berikut :
a. Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.
b. Pengelompokan peserta ke dalam kelompok kecil, homogeny baik dari sisi gender, pendidik, ekonomi dan usia dan kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.
c. Pemberian pelatihan dasar, pada pendidikan dalam perlatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, managemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggungjawab.
d. Pemberian dana, dana diberikan setelah materi tercapai dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah direncanakanpun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.
B. Dasar Hukum tentang Pengelolaan Zakat
Memajukan kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara Republik Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatnya peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan berbagai upaya, antara lain dengan menggali dan memanfaatkan dana melalui zakat.
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
Agar sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial, perlu adanya pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzzaki, mustahiq, dan pengelola zakat. Untuk maksud tersebut, maka Pemerintah atas persetujuan DPR membuat Undang-Undang tentang pengelolaan zakat yaitu No. 38 Tahun 1999 yang berasaskan keimanan dan takwa dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, kemaslahatan, keterbukaan, dan kepastian hukum sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zakat sebagai ibadah wajib kepada Allah SWT, mencerminkan hubungan manusia sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban zakat terhadap orang yang memiliki harta kekayaan. Lembaga Zakat mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman dan ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat ketakwaan seseorang di samping memiliki fungsi kemasyarakatan.
Tujuan pengelolaan zakat adalah meningkatkannya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat, meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

B. SARAN
Dengan dibentuknya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat , diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzzaki untuk menunaikan kewajiban zakat dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya, mengangkat derajat mustahiq, dan meningkatnya keprofesionalan pengelola zakat, yang semuanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Ali,H. Mohammad Daud.1991. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.
Ali, Zainuddin, 2008. Sosiologi Hukum. Cet. Ke-4; Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Fuady Munir, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
_______________, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Saefuddin, 1987. Ekonomi dan Masyarakat dalam Prespektif Islam. Rajawali
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1999
UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat

Selasa, 05 Januari 2010

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERATURAN DAERAH

Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Peraturan Daerah
Oleh: PUTU SURYA BHAKTI, Mhs S2 Ilmu Hukum UID Kls Palu
Dosen Prof Dr H Zainuddin Ali MA

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prinsip dasar demokrasi selalu menuntut dan mengharuskan adanya distribusi kekuasaan, agar kekuasaan tidak terpusat di satu tangan. Kekuasaan yang berpusat satu tangan bertentangan dengan prinsip demokrasi karena ia membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan dan korupsi.
Distribusi kekuasaan terdiri atas dua macam yakni distribusi secara horisontal dan distribusi vertikal. Distribusi kekuasaan horizontal adalah distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga yang kedudukannya sejajar yang masing-masing diberi fungsi dan diberi checks and balances yakni distribusi kekuasaan, membuat undang-undang dan melaksanakan undang-undang dan yudikatif menegakkan undang-undang melalui peradilan, sedangkan distribusi kekuasaan vertikal adalah melahirkan bentuk negara kesatuan dan federal.
Negara kesatuan adalah yang kekuasaannya dibagi ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangga sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentralisasi. Ini berarti bahwa, daerah itu mendapat hak yang datang dari pemerintah pusat berdasarkan konstitusi, sedangkan negara federal adalah negara negara yang terdiri dari negara bagian yang merdeka ke dalam, tetapi dengan kedaulatan keluar dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat berdasarkan penyerahan kekuasaan yang diberikan oleh negara-negara bagian yang dimuat dalam konstitusi. Ada empat hal yang tidak bisa diatur oleh pemerintah daerah bagian yakni moneter, hubungan luar negeri, peradilan, dan pertahanan nasional.
Seiring dengan pergeseran dan perubahan politik hukum dan otonomi daerah telah membawah pengaruh dalam sistem pemerintahan indonesia. Hal ini dapat diliha dari kerja BPUPKI yang disusul oleh PPKI untuk membentuk suatu negara indonesia yang justru memilih sistem pemerintahan dengan prinsip demokrasi dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik (baca : Pasal 1 Ayat (1) Dalam UUD 1945), dan pada saat yang bersamaan, masih ada juga yang menginginkan untuk membentuk negara kerajaan, akan tetapi usul itu tidak mendapatkan suatu peluang dan kesempatan.
Pada saat memilih prinsip demokrasi itu, Hatta selaku anggota BPUPKI, dipandang cenderung memilih bentuk federal yang dianggapnya lebih demokrasi untuk indonesia yang wilayahnya sangat luas dan penduduknya plural. Kecebderungan Hatta ini ditulis dengan luas oleh YB Mangunwijaya dalam bukunya Menuju Negara Republik Indonesia Serikat. Akan tetapi sebagian besar anggota BPUPKI menghendaki negara kesatuan, maka bentuk itulah yang disepakati. Dan hasil voting di BPUPKI telah menunjukkan 80 % menghendaki negara kesatuan dan hanya 17 % yang menghendaki negara federal. Pada awal Era Reformasi muncul wacana federalisme yang digagas oleh arsitektur era reformasi Amin Rais. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan judul makalah ini pada bab pembahasan yakni politik hukum dan otonomi daerah.
B. Rumusan Masalah
Di sadari atau tidak oleh pemerintah selama ini masih menekankan pada sistem pemerintahan yang semi parlementer dan bukan pada pembagian kekuasaan yang murni. Melalui sistem ini dibuatlah suatu pertanyaan :
1.Bagaimana sebenarnya sistem pemerintahan yang ideal bagi bangsa indonesia ?
2.Apakah bentuk pemerintahan indonesia sesuai budaya bangsa ?
C. Tujuan
Untuk mengkaji dan menganalisi perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai formulasi dan fenomena keterkaitan politik hukum
Mengembangkan politik hukum di kalangan mahasiswa baik untuk Strata satu (S1) maupun Strata dua (S2) di seluruh Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta
Menyusun intrumen dan format pokok bahasan agar menjadi matakuliah wajib bagi mahasiswa.
Menambah pengetahuan tentang poltik hukum
D. Manfaat penulisan Makalah
Diharapkan pada penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pemahaman politik hukum untuk mengekselerasikan dan menyadari betapa pentingnya politik hukum bagi warga masyarakat, warga negara indonesia pada umumnya dan warga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada khususnya. Hal ini sangat tepat bagi kita sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum untuk mengembangkan tentang ilmu politik hukum.

BAB 2
KERANGKA TEORETIS
1. Awal Kemerdekaan.
Sejak awal kemerdekaan politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang sepertinya tidak akan pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi seperti aspek formal, materil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan lain sebagainya yang dalam praktik di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak tarik di kalangan elit politik dan massa.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yan kini berlaku seolah-olah adalah merupakan uji coba karena ia pun tetap menimbulkan masalah sehingga dianggap belum selesai dan memerlukan perbaikan kembali walaupun hanya menyangkut bahagian-bahagian tertentu saja.
Sebagaimana yang dikemukaan di atas tadi, politik hukum otonomi daerah senantiasa berubah sesuai dengan perubahan-perubahan politik sebagai wujud dari tolak-tarik kekuatan politik. Undang-Undang pertama lahir dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1945 adalah undang-undang otonomi daerah. UU ini dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan untuk menggelorakan semangat kebebasan.
Undang-Undang tersebut lebih menganut asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan kepada daerah tanpa secara spesifik menyebutkan jenis bidang urusannya. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang masih dirasakan dualistik. UU No 22 Tahun 1948 menganut asas otonomi formal dan sekaligus otonomi materiil. Hal ini dapat dilihat dan penerapannya dari pasal 23 ayat (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.
Di era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga melahirkan UU No 1 Tahun 1957. Secara undang-undang pemilihan kepala daerah secara langsung belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan Pemerintah Daerah)
Pada era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik yang menganggap otonomi luas mengancam keutuhan bangsa, oleh karena itu disesuaikan konsepsi demokrasi terpimpin yang mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya dalam sistem pemerintahan justru pengekangan terhadap daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan wewenang mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, bahkan wewenang menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis tidak mempunyai peran.
Penpres ini kemudian diberi kemudian diberi baju hukum dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 yang sama sekali tidak mengubah substansi dan sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut. Perubahannya adalah lebih didasarkan pada upaya menempelkan Manipol-Usdek di dalam UU tersebut dan didasarkan pada pemikiran bahwa, sebaiknya Penpres itu diganti dengan UU mengingat konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya Penpres.
Setelah Demokrasi Terpimpin diganti oleh Sistem Politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali dirubah. Melalui Tap MPRS No. XXI / MPRS / 1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah kembali guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Namun sebelum UU tsb diubah telah terjadi perubahan konfigurasi politik orde baru dan langgam demokratis ke langgam otoritarian. Perubahan ini ditandai lahirnya UU No. 15 dan 16 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Susduk MPR/DPR/DPRD. Kedua UU ini memberi energi luar biasa besar kepada eksekutif sehingga sistem politik indonesia menjadi benar-benar exekutive heavy.
Dengan kekuatan politiknya yang dominant, pemerintah orde baru kemudian mencabut Tap MPRS No. XXI/ MPRS/1966 tentang otonomi daerah memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPRS No. IV/ MPR/ 1973 tentang GBHN yang menyangkut politik hukum otonomi daerah yang penentuan asasnya diubah dari otonomi ”nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab” ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik menciptakan ketidakadilan politik seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah dan cara penetapan kepala daerrah dan ketidadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar menawar politik.
2. Era Reformasi
Era Reformasi Tahun 1998, politik hukum otonomi daerah di masa orde baru tertuang dalam UU No. 5 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang kembali meletakkan prinsip otonomi luas antara Pusat dan Daerah seperti yang diwacanakan oleh Amin Rais yang kemudian ditolak.
Gagasan federalisme ditentang keras oleh banyak kalangan karena selain bertendensi membuang warisan berharga dan pesan sejarah yang sangat luhur dari para pendiri negara yang sangat arif dan juga bertentangan dengan ketentuan Pembukaan UUD 1945 pada Sila Ketiga Pancasila yang dipandang menganut bentuk negara kesatuan. Padahal yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah persatuan dan bukan kesatuan.
Dengan demikian baik bentuk negara kesatuan maupun bentuk negara federal tidak terkait langsung kuat atau lemahnya ”persatuan” suatu bangsa. Istilah persatuan dan kesatuan masing-masing mempunyai makna yang berbeda. Kata persatuan merujuk pada ”psiko-politik” artinya rakyat ingin bersatu dalam satu ikatan kebangsaan, sedangkan kesatuan merujuk pada ”struktur politik” yang di dalam UUD 1945 sebagai bentuk negara. Dalam istilah Persatuan dan Kesatuan tetap menimbulkan perdebatan. Dan dari perdebatan itulah lahir UU Pemerintah Daerah di era reformasi yakni UU No, 22 Tahun 1999
3. Perubahan Paradigma Otonomi Daerah
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 merupakan wujud dari paradigma yang dianut pada era reformasi yang berbeda dengan paradigma di masa orde baru. Paradigma UU tentang pemerintahan daerah di era reformasi dimaksudkan untuk membongkar paradigma UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan patronase politik yang sistemnya yang sentralistik. Paradigma orde baru adalah pardigma pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, integritas dan pengendalian secara sentralistik melalui perencanaan yang terpusat. Hal ini menimbulkan kebijakan penyeragaman dan patronase politik.Oleh sebab itu, paradigma yang harus dianut adalah dari paradigma pembangunan menjadi paradigma pelayanan dan pemberdayaan dengan pola kemitraan yang desentralistik.
4. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang No.32 Tahun 2004
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ternyata juga dirasa kurang memuaskan dan dipandang perlu untuk diubah lagi. Maka lahirlah undang-undang nomor 32 tahun 2004 tetap relevan dengan UU No. 22 Tahun 1999, namun pada praktiknya di lapangan oknum anggota DPR ikut melakukan KKN
Adapun isi hasil perubahan kedua UUD 1945 dituangkan dalam Pasal 18, 18 A dan 18 B yang selengkapnya : (lihat pada hal. 92 modul politik hukum)
1.Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi dibagi lagi ke dalam Kabupaten dan Kota yang diatur dengan Undang-Undang
2.Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
3.Pemerintah Daerah Provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu
4.Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah yang dipilih secara demokrassi
5.Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintah pusat
6.Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
7.Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam undang-undang
Perubahan isi pasal 18 UUD 1945 menghendaki pengaturan yang lebih ketat dari
Undang-undang nomor 22 tahun 1999, yang dituangkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagai berikut :
1.Prinsip Otonomi Daerah, Pembagian Urusan, dan Hubungan Hirarkis Sesuai dengan ketentuan pasal 18 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945 UU No.32 Tahun 2004 menganut asas otonomi luas
2.Pemilihan Kepala Daerah, dengan menganut sistem pemilihan lansung memberi kesempatan luas kepada rakyat untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya
3.Pertanggungjawaban Kepala Daerah, UU No, 32 Tahun 2004 menggariskan bahwa pemerintah daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD adalah (hubungan kemitraan)
4.Sistem Pengawasan, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ketentuan tentang pengawasan diseimbangkan dengan pembinaan melalui pengawasan represif yakni pengawasan berupa produk-produk daerah dengan cara dan sampai waktu tertentu. Seperti Perda, kepkeda, khususnya retribusi, pemungutan pajak
5.Keuangan Daerah, berdasarkan pasal 79 UU Tahun 1999 digariskan bahwa sumber pendapatan daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan pendapatan lain yang sah. Sedangkan dana perimbangan terdiri dari DAU dan DAK
6.Kepegawaian Daerah, UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa kebijakan kepegawaian dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan manajemen kepegawaian di daerah menyangkut mutasi dan pengangkatan dalam jabatan dilaksanakan oleh kepala daerah tanpa ada keharusan untuk berkonsultasi dengan gubernur atau pemerintah pusat. Pada pasal 129 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen PNS di daeran dalam satu kesetaraan penyelenggaraan manajemen PNS secara nasional. Dan di dalam pasal 130 disebutkan bahwa pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pada jabatan eselon II pada pemerintah provinsi ditetapkan oleh gubernur dan eselon II pada pemerintah kabupaten dan kota ditetapkan oleh bupati dan walikota setelah berkonsultasi dengan gubernur.
7.Pemberhentian Kepala Daerah. (baca pemberhentian hal 98 modul ini)
8.KKN di Daerah (baca hal 104 modul ini)
9.Penyebab KKN

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prinsip dasar negara demokrasi ada dua yakni pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan
Indonesia adalah bentuk negara kesatuan
Pada era berlakunya UUDS 1950 gagasan otonomi nyata sudah dikenal adanya pemilihan kepala daeah secara langsung meskipun belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik
Di era demokrasi terpimpin politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi luas yang menganggap mengancam keutuhan bangsa dan negara dengan konsep pengekangan daerah
Di era orde baru otonomi ”nyata yang seluas-luasnya” berubah menjadi otonomi ”nyata dan bertanggungjawab”.
Di era reformasi undang-undang nomor 5 tahun 1974 kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat, kemudian melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 22 Tahun 1999 juga masih dianggap belum sempurna sehingga melahirkan UU No. 32 Tahun 2004 dan kemungkinan besar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 akan mengalami suatu perubahan seiring dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat.
B. saran-saran
Bahwa dengan desentralisasi yang semakin luas, maka semakin besar terjadinya otonomi dalam KKN yang meluas dari pusat ke daerah (legislatif dan eksekutif)
KKN tidak akan pernah habis sampai pada akar-akarnya karena hanya menyentuh pada puncak gunung es dari KKN dan Birokrasi menjadi steril dari upaya penegakan hukum karena terjadinya saling blocking antara orang yang terlibat kasus dengan penegak hukum. Penegak hukum harus dibekali Imtaq kepada Tuhan Yang Maha Esa
Jangan bersembunyi dibalik topeng atas nama rakyat kecil untuk melahirkan produk-produk hukum yang justru menyengsarakan rakyat....
Biarkan fenomena politik yang serba abu-abu dan ketidak-pastian penegakan hukum menjadi suatu dinamika euforia

Daftar Bacaan
Abdulgani Roeslan, 1998, Pancasila dan Reformasi, makalah seminar nasional KAGAMA, 8 Juli 1998 di Yogyakarta
Besar Abdulkadir, 1995 dalam Cita Negara Persatuan Indonesia, BP-7 Pusat, Jakarta
.................., 1998, Pancasila Dalam Perspektif Gerakan Reformasi
Modul Politik Hukum, Materi –Bahan Kuliah Pasca Sarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta oleh H. Idham Chalid SH, MH.